Review A Haunting In Venice: Misteri Pembunuhan di Malam Halloween

Review A Haunting In Venice: Misteri Pembunuhan di Malam Halloween

Candra Aditya - detikHot
Kamis, 14 Sep 2023 08:25 WIB
Adegan dalam film A Haunting in Venice.
Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios
Jakarta -

Salah satu frame pertama yang muncul pertama dalam A Haunting In Venice adalah tangga yang miring. Pemilihan dutch angle dalam film memang bukan sesuatu yang aneh, tapi ini pemilihan angle yang unik ini adalah sebuah pemberitahuan yang keras. "Bersiaplah untuk menyaksikan sesuatu yang tidak nyaman!" mungkin begitu kira-kira isinya. Ditambah dengan adegan burung memangsa burung lain maka sudah jelas bahwa film ini tidak akan aman tentram seperti dua film Poirot sebelumnya.

Dalam A Haunting In Venice, Hercule Poirot (Kenneth Branagh) memutuskan untuk berhenti dari dunia detektif. Entah apakah ini untuk sementara atau selamanya tapi yang jelas dia tidak tertarik untuk membongkar misteri dunia. Dia bahkan tidak peduli kalau pun ada lusinan orang antre di depan pintu rumahnya, memohon agar dia bisa menyelesaikan kasus-kasus mereka. Tidak ada yang bisa membuatnya kembali lagi menyelami labirin gelap itu. Sampai pintunya diketuk oleh seseorang.

Namanya adalah Ariadne Oliver (Tina Fey), seorang penulis novel misteri yang akhir-akhir ini bukunya kurang gereget lagi. Tiga buku terakhirnya mendapatkan ulasan yang tidak begitu baik dari kritikus sehingga dia ingin menyeret Poirot ke dalam sebuah misteri yang baru. Jadi di malam Halloween tersebut, seorang penyanyi opera terkenal Rowena Drake (Kelly Reilly) akan mencoba berkomunikasi dengan roh putrinya yang sudah meninggal dunia. Drake mengundang Mrs. Reynolds (Michelle Yeoh), seorang medium yang sangat terkenal. Oliver berpendapat bahwa dirinya dan Poirot adalah orang terakhir yang percaya dengan ilmu sihir. Bukankah ini waktu yang menarik untuk menyelidiki apakah sihir benar ada?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di palazzo yang tua dan seperti mau hancur itu, sebuah legenda membisiki telinga Poirot dan pengunjung lainnya. Dulu, konon anak-anak kecil mendapatkan perlakuan yang tidak baik sehingga siapa pun perawat atau dokter yang menginjakkan kaki di tempat tersebut akan menemui ajal. Ini belum ditambah dengan langkah kaki dan bisikan-bisikan misterius yang menghantui. Ketika mayat pertama jatuh, Poirot pun tak memiliki pilihan lain untuk berhenti dari pensiun dininya.

Adegan dalam film A Haunting in Venice.Adegan dalam film A Haunting in Venice. Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios

A Haunting In Venice adalah sebuah kejutan yang menyenangkan bagi saya. Baik Murder on the Orient Express dan Death on the Nile menurut saya tidak mempunyai kanvas yang lebar untuk bermain-main. Fakta bahwa keduanya merupakan kisah Agatha Christie yang sangat populer juga membuat mereka menjadi agak sedikit lebih tertahan dengan keinginan untuk menyenangkan semua orang. Dalam A Haunting In Venice, yang diadaptasi dari buku berjudul Hallowe'en Party, Branagh lebih bersenang-senang dalam menciptakan wahana baru bagi Poirot.

ADVERTISEMENT

Bekerja sama dengan sinematografer Haris Zambarloukos, Branagh melukis A Haunting In Venice dengan coretan yang ekstrim. Low angle-nya benar-benar dari bawah dan high angle-nya benar-benar membuat mual. Semuanya diciptakan untuk memberikan nuansa tidak nyaman. Hasilnya lumayan efektif karena dari pembukaannya film ini langsung menghadirkan nuansa yang angker. Dan kita masih belum menginjakkan kaki di palazzo.

Ketika akhirnya Branagh mengajak kita ke dalam setting utamanya dan menjebak baik karakter dan penontonnya untuk stuck di dalamnya, A Haunting In Venice menjadi sebuah teror yang sangat lezat. Gerakan kameranya yang spesifik (diikuti dengan blocking pemain yang sangat baik), penggunaan lensa fish-eye dan tentu saja dutch angle yang asyik membuat kengerian malam Halloween tersebut terasa pekat. Dari desain produksi sampai suara-suara langkah kaki dan bisikan tawa anak kecil membuat A Haunting In Venice terasa seperti film horor. Apakah benar ada hantu di tempat ini?

Adegan dalam film A Haunting in Venice.Adegan dalam film A Haunting in Venice. Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios

Sebagai sebuah misteri, A Haunting In Venice jauh lebih menarik dalam mengurai teka-tekinya dibandingkan dua film sebelumnya. Mungkin karena elemen supernatural benar-benar dimainkan di sini. Atau bisa juga karena Michael Green, penulis skripnya, membuat Poirot dalam keadaan yang tidak biasanya sehingga misterinya jadi terasa lebih mencengkeram. Seperti dua film sebelumnya, A Haunting In Venice dihias dengan berbagai karakter pendukung yang siap membuat Anda berprasangka buruk.

Dari segi permainan, hampir semuanya bermain dengan baik meskipun mereka tidak mendapatkan ruang yang banyak untuk eksplor. Branagh seperti biasa terlihat sangat bersenang-senang. Jamie Dornan dan Jude Hill yang reuni setelah Belfast memiliki chemistry yang luar biasa bagus. Michelle Yeoh mampunyai kharisma yang besar untuk membuat saya percaya bahwa dia memang beneran bisa berkomunikasi dengan hantu. Tina Fey yang awalnya terasa seperti miscast nampak nyaman sekali menjadi comic relief tapi tetap grounded.

Yang juga patut dicatat adalah betapa A Haunting In Venice melenggang dengan mulus. Di-edit dengan baik oleh Lucy Donaldson, film ini terasa singkat dalam 103 menit perjalanannya. Ia menggunakan semua waktu yang ada untuk menjelaskan semua karakter, misteri dan masih memiliki kesempatan untuk mempermainkan Poirot. Kalau Anda pecinta Agatha Christie, ini jelas tidak bisa dilewatkan. Bagi Anda yang merasa bahwa dua film sebelumnya masih kurang memuaskan Anda, A Haunting In Venice bisa dijajal karena yang satu ini memiliki amunisi yang cukup untuk membuat Anda terjaga.

Adegan dalam film A Haunting in Venice.Poster film A Haunting in Venice. Foto: 20th Century Studios/20th Century Studios

A Haunting In Venice dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.

---

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.

(aay/aay)

Hide Ads