Penambahan nama Guillermo del Toro di depan judul Pinocchio yang baru saja dirilis di Netflix bukan kebetulan. Pasalnya beberapa bulan lalu, Disney juga merilis film berjudul sama meskipun pada akhirnya kedua produk ini sungguh berbeda. Jika versi Disney (yang disutradarai oleh Robert Zemeckis dan dibintangi oleh Tom Hanks) adalah film live action dengan bumbu CGI yang tebal, maka versi Guillermo del Toro dan Mark Gustafson adalah sebuah film stop-motion animasi yang keindahannya akan membuat Anda terperangah.
Dalam Pinocchio versi ini, kita bertemu dengan Gepetto (disuarakan oleh David Bradley) yang sedang berduka setelah anak semata wayangnya meninggal. Saking berdukanya, Gepetto tidak bisa move on meskipun dunia sudah lama melupakan perang dunia. Kemudian suatu hari duka memenuhi hatinya yang berlubang. Dalam keadaan marah dan mabuk, Gepetto membuat boneka dari kayu dan keesokannya boneka tersebut menjadi hidup.
Pinocchio (disuarakan oleh Gregory Mann) membuat Gepetto terkaget-kaget. Tapi tidak lama bagi keduanya untuk akhirnya mempunyai hubungan yang begitu baik. Pinocchio dan Gepetto akhirnya mempunyai bonding yang saking kuatnya kadang membuat satu sama lain terluka tapi juga bangkit lagi dari kesedihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditulis oleh Guillermo del Toro dan Patrick McHale, Pinocchio versi ini adalah sebuah film keluarga sekaligus film petualangan yang penuh dengan perasaan. Seperti halnya film Pixar yang pembukaannya sudah mencabik-cabik hati, Pinocchio versi ini juga memberikan intro yang sama-sama kuat. del Toro dan McHale berhasil memberikan pondasi yang sangat kuat sehingga sebelum penonton diajak berkelana, penonton sudah dibekali koneksi yang kuat dengan karakter utamanya.
Keputusan untuk menaruh Pinocchio di setting Italia selama era fasisme juga membuat cerita Pinocchio ini menjadi lebih menarik. Pesan anti-perang yang menjadi lebih nyata dengan Pinocchio di dalamnya. Terutama setelah penonton tahu bahwa ada korban yang jelas dalam perang ini. Tapi Guillermo del Toro dan Patrick McHale tidak berhenti sampai disana. Pinocchio juga membahas soal eksploitasi anak dan soal parenting.
Berbicara soal Guillermo del Toro tanpa membahas soal kemampuannya untuk mempersembahkan unsur fantasi tentu saja kurang. Pinocchio memang sudah terasa magis dengan konsep boneka yang menjadi nyata, lengkap dengan hidung yang memanjang ketika dia berbohong. Di tangan Guillermo del Toro, konsep ini menjadi berkali-kali lipat terasa lebih magis dan megah karena ia menaruh Pinocchio ke sebuah petualangan yang tiada duanya. Tunggu sampai Anda melihat pertemuan Pinocchio dan Gepetto di tengah laut. Anda akan terkesima.
Tentu saja kemudian cerita yang sudah apik ini diterjemahkan ke dalam animasi stop-motion yang luar biasa. Bukan del Toro namanya kalau dia tidak bisa mempersembahkan film dengan pencapaian teknis dan artistik yang luar biasa. Setiap jengkal frame dalam film ini sungguh detail. Perhatikan ekspresi karakter-karakternya atau bagaimana setiap lantai kayu di rumah Gepetto terasa nyata. Menyaksikan pembuatan film ini (yang juga tersedia di Netflix) membuat saya semakin tunduk hormat dengan si maestro.
Dengan karakter-karakter yang menarik dan pengisi suara yang jempolan (dari Cate Blanchett, Tilda Swinton sampai Ewan McGregor), Pinocchio adalah hadiah untuk kita semua pecinta film. Pinocchio adalah sebuah film keluarga yang menyenangkan, luar biasa menghibur dan sangat emosional. Tunggu sampai Anda mencapai di ujung film. Bukan kebetulan kalau Anda menemukan pipi Anda basah.
Pinocchio dapat disaksikan di Netflix.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(tia/tia)