Sekuel pertama Black Panther mempunyai tugas yang lumayan berat, bahkan sebelum aktor utamanya meninggal dunia dua tahun lalu. Black Panther tidak hanya mendatangkan penonton (1,3 miliar dolar hanya dari pendapatan tiket bioskop dari seluruh dunia), tapi juga puja-puji para kritik yang akhirnya membuatnya mendapatkan tujuh nominasi di Oscar, termasuk Film Terbaik. Signifikansi Black Panther juga tidak terbatas sebagai salah satu entry terbaik Marvel Cinematic Universe (MCU), tapi juga salah satu film dengan napas Afrika yang sangat kuat, sesuatu yang sudah ditunggu oleh banyak orang.
Lalu bagaimana cara Ryan Coogler, yang kembali duduk sebagai sutradara dan penulis (Joe Robert Cole kembali menemaninya menulis skrip), melanjutkan kisah ini tanpa si pemeran utamanya? Mereka akhirnya memutuskan untuk memasukkan tragedi nyata ini ke dalam filmnya. Black Panther: Wakanda Forever dibuka dengan wajah sedih karakter-karakter yang sudah kita kenal setelah sepeninggal T'Challa (Chadwick Boseman).
Sementara, Ratu Ramonda (Angela Bassett) menggunakan waktu berdukanya untuk menjadi pemimpin yang kuat demi menunjukkan ke seluruh dunia bahwa Wakanda masih perkasa, meskipun tanpa kehadiran Black Panther. Shuri (Letitia Wright) menggunakan waktu berkabungnya dengan fokus dengan teknologi. Dia sibuk membuat ciptaan-ciptaan baru. Sekilas Shuri kelihatannya baik-baik saja, tapi Ramonda tahu bahwa putrinya memendam perasaan marah yang amat sangat. Bagaimana Tuhan sekejam itu membawa pergi sang pahlawan?
Sementara, Nakia (Lupita Nyong'o) pergi entah ke mana, W'Kabi (Daniel Kaluuya) tidak muncul sosoknya sama sekali, Wakanda tiba-tiba kedatangan tamu yang tidak mereka sangka-sangka. Namor (Tenoch Huerta), seorang raja dari Kerajaan Talokan yang berada di bawah laut, datang dan menyalahkan Wakanda atas pengetahuan manusia daratan soal vibranium. Berkat Wakanda sekarang, kerajaannya menjadi sasaran negara-negara adidaya yang berencana menggunakan vibranium sebagai sumber eksploitasi baru mereka. Tentu saja peringatan Namor ini hanya peringatan sebelum perang yang tidak bisa dihindari terjadi.
Bagian terbaik dari Black Panther: Wakanda Forever adalah ketika film ini membahas tentang kepergian Black Panther/Chadwick Boseman langsung tanpa bertele-tele. Rasa kehilangan itu bukan hanya sekedar plot-point, tapi ia menjadi pondasi utama film ini. Saya bisa merasakan hampir semua karakter berduka. Rasa kehilangan itu begitu kuat sehingga bahkan tanpa adegan bombastis, drama dalam film ini tetap bisa berjalan dengan organik.
Tragedi yang mengagetkan ini juga yang akhirnya membuat Black Panther: Wakanda Forever menjadi sebuah entry MCU yang terasa paling jujur. Bahkan dalam diam, film ini tetap berbicara. Dalamnya luka yang menjadi bingkai karakter-karakternya pada akhirnya membuat aktor-aktor utamanya harus bermain lebih tiga dimensional. Rasa marah dan duka yang diberikan Letitia Wright cukup meyakinkan sehingga ketika penonton sampai di ending-nya, Anda seperti diajak untuk merasakan katarsis yang sama. Lupita Nyong'o mengunyah semua adegan emosional dengan baik. Danai Gurira sebagai Okoye selain masih tetap meyakinkan sebagai jagoan Wakanda nomor satu, juga kebagian momen-momen dramatis yang menyentuh.
Sementara, Winston Duke masih bisa diandalkan untuk mengundang satu-dua tawa, Angela Bassett menjadi juaranya Black Panther: Wakanda Forever. Lihat bagaimana cara dia mengatupkan rahang. Anda bisa melihat kemarahan, usaha untuk tegar dan kesedihan di matanya. Bassett tahu benar bagaimana cara memperlihatkan seorang ibu yang kehilangan, tapi ia harus menjaga wibawa karena dia mempunyai tanggung jawab yang besar yang harus diurus.
Tentu saja Black Panther: Wakanda Forever harus menjalankan tugasnya sebagai salah satu entry dalam mesin MCU. Dia harus membuat orang-orang ini sibuk. Dan sekali lagi, Coogler bersama Cole berhasil mempersembahkan sebuah villain yang unik. Meskipun Namor tidak sekarismatik Killmonger, tapi Namor adalah sebuah karakter yang sangat utuh. Asal-usulnya jelas, budaya Kerajaan Talokan juga dipersembahkan dengan kaya. Dan seperti halnya Killmonger, Coogler dan Cole memasukkan unsur sejarah (dalam hal ini penjajahan Spanyol) yang membuat motivasi Namor tidak sereceh kebanyakan villain di film superhero yang ingin jadi yang terhebat. Seorang raja yang ingin melindungi warga-warganya adalah villain yang sangat kompleks.
Sayangnya karena Black Panther: Wakanda Forever mempunyai banyak sekali hal yang harus diceritakan, film ini terasa sekali durasinya. Dengan durasi hampir tiga jam, film ini benar-benar menguras emosi. Jika dibandingkan dengan film sebelumnya, adegan-adegan aksinya justru terkesan biasa saja. Tidak ada adegan brutal di Busan yang mengesankan. Klimaksnya pun terasa seperti buru-buru.
Tapi bahkan dengan kekurangan-kekurangan itu, Black Panther: Wakanda Forever tetap menjadi salah satu entry (dan juga sekuel) MCU yang paling mengesankan, karena ia tidak terjebak dengan rumus yang sudah ada. Presentasi audio visualnya juga tiada tara. Kostum dari Ruth Carter sangat kaya, bisa membuat setiap karakter terlihat stand-out. Sementara, production design dari Hannah Beachler membuat dunia Black Panther: Wakanda Forever menjadi lebih luas. Sinematografer Autumn Durald merekam semuanya dengan dinamis dan presisi. Dilengkapi dengan musik yang membahana dari Ludwig Goransson, Black Panther: Wakanda Forever adalah film terbaik MCU tahun ini.
Tidak seperti film-film MCU sebelum-sebelumnya, Black Panther: Wakanda Forever ditutup dengan begitu lembut dan sunyi. Saat Anda mendengar Rihanna menyanyikan lagu penutup, saya yakin beberapa dari kalian mungkin akan ada juga yang menitikkan air mata. Film ini berhasil mengingatkan saya betapa hebatnya sosok Black Panther dan juga Chadwick Boseman.
Black Panther: Wakanda Forever dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
Simak Video "'Black Panther: Wakanda Forever' Masih Perkasa di Box Office"
[Gambas:Video 20detik]
(mau/mau)