Review The Bubble: Susahnya Bikin Film di Tengah Pandemi

Review The Bubble: Susahnya Bikin Film di Tengah Pandemi

Candra Aditya - detikHot
Selasa, 05 Apr 2022 03:25 WIB
The Bubble
(Foto: dok. Netflix) Dengan durasi yang cukup lama (126 menit), The Bubble sudah kehilangan gasnya sebelum dia berakhir. Konklusinya pun sangat membingungkan.
Jakarta -

2020 terasa sangat dekat dan jauh pada saat yang bersamaan. Rasanya seperti kemarin kita semua kebingungan mencari masker dan hand sanitizer. Tapi pada saat yang bersamaan masa-masa ketika kita stuck di rumah masing-masing dan hanya bisa menghibur diri dengan membuat kopi dalgona rasanya seperti sudah lama sekali, padahal itu baru dua tahun yang lalu. Mungkin itu dia yang menyebabkan komedi terbaru Judd Apatow, The Bubble, yang menceritakan tentang sekumpulan bintang film yang sedang membuat film rasanya basi sekali. Tapi yang membuat film ini tidak lucu bukan hanya itu.

Ditulis oleh Judd Apatow dan Pam Brady, The Bubble menceritakan tentang pembuatan seri keenam sebuah blockbuster berjudul Cliff Beasts. Salah satu tokoh sentralnya adalah Carol (Karen Gillan), seorang aktor yang film sebelumnya (berjudul Jerusalem Rising) gagal total di pasaran dan dia harus menerima tawaran untuk kembali lagi ke serial ini untuk menaikkan namanya. Ini adalah sebuah masalah yang pelik bagi Carol karena yang pertama, dia punya pacar yang posesif dan paranoid di tengah pandemi. Dua, dia tidak hadir di seri kelima Cliff Beasts dan dia yakin sekali kalau semua rekan kerjanya membencinya.

Tapi karena butuh cuan dan juga demi menaikkan lagi pamornya, Carol bersedia. Maka berangkatlah dia ke Inggris di tengah-tengah pandemi untuk bertemu dengan lawan mainnya. Ada Lauren (Leslie Mann) yang sedang dalam on-and-off relationship dengan mantan suaminya dan juga lawan mainnya, Dustin Mulray (David Duchovny). Ada Sean Knox (Keegan-Michael Key) yang sepertinya sangat berjuang habis-habisan untuk menjadi tetap relevan. Ada Howie Frangopolous (Guz Khan) yang punya masalah sendiri. Kemudian ada pemain baru Dieter Bravo (Pedro Pascal) yang merendahkan diri main blockbuster setelah menjadi aktor kelas Oscar. Dan pendatang baru terakhir adalah Krystal (Iris Apatow, salah satu hasil nepotisme terbaru si sutradara), seorang seleb TikTok yang memiliki follower ratusan juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kalau Anda sudah pernah menyaksikan film-film garapan Apatow seperti The 40-Year-Old Virgin, Knocked Up, Funny People, This Is 40, Trainwreck atau filmnya Pete Davidson yang berjudul The King of Staten Island, Anda pasti tahu kalau orang ini tahu komedi. Tangan Apatow sangat dingin dan itulah sebabnya dia tidak hanya jago menjadi sutradara tapi film-film "didikannya" juga selalu sukses. Dari Anchorman ke Bridesmaids, Apatow tahu bagaimana cara mengocok perut. Dan melihat resume-nya yang sangat meyakinkan, tinggal menunggu waktu sebelum Netflix memberinya cek kosong.

Sayang sekali semua kejeniusan yang pernah Apatow persembahkan di karya-karyanya seperti hilang tanpa jejak di film ini. The Bubble bukan hanya tidak lucu tapi juga membingungkan. Film ini dibuat untuk siapa, tidak ada yang tahu. Butuh pemahaman tentang lanskap Hollwyood dan pembuatan film untuk bisa mengerti jokes-jokes yang disampaikan. Lebih buruk lagi, film ini menggabungkan semua bentuk komedi sehingga akhirnya kehilangan identitas. Di awal film ada ilusi bahwa film ini bentuknya adalah sebuah mockumentary seperti This Is Spinal Tap dan kawan-kawan. Tapi ternyata itu segera berakhir.

ADVERTISEMENT

Sebagai sebuah film yang mencoba menertawakan usaha film untuk tetap mengkapitalisasi keadaan, bahkan di tengah pandemi sekali pun, The Bubble terasa sangat ketinggalan zaman. Tidak hanya penonton sudah mencoba move on dari kondisi ini tapi acara komedi recap Netflix yang berjudul Death To 2020 lebih berhasil menertawakan komedi daripada film ini. Pertama kali saya melihat bintang film di The Bubble "menderita" karena harus dikarantina selama dua minggu memang lumayan gemas. Tapi kali kedua, humornya sudah menguap. Oh, dan jokes soal ritual pandemi tidak berhenti di sini. Masih ada slapstick seputaran berpelukan, cara swab dan lain-lain.

Sementara itu, sebagai sebuah satir yang mencoba "memparodikan" Jurassic Park (atau blockbuster Hollywood lainnya yang harus tetap produksi selama pandemi), The Bubble sangat garing. Terasa sekali ia setengah-setengah dalam menertawakan ke-absurd-an ini. Karakternya tidak ada yang super ekstrem atau adegan-adegannya tidak ada yang kocak banget untuk memancing tawa. Satu-satunya adegan yang mungkin lumayan lucu adalah ketika si seleb TikTok mengajari dinosaurus untuk twerking dalam adegan film. Sayang sekali adegan macam ini tidak direplika. Pembuat filmnya terlalu bingung untuk membuat film macam apa.

Susah memang untuk menunjuk mana yang bermain paling bagus di The Bubble karena hampir semua aktor main sendiri-sendiri dengan style komedinya sendiri. Peter Serafinowicz yang berperan sebagai studio executive bermain dengan style British sementara Keega-Michael Key seperti tampil dalam komedi Amerika. Akhirnya yang paling mencolok dari barisan aktor-aktor ini adalah Pedro Pascal yang tidak malu-malu untuk menertawakan dirinya sendiri.

Dengan durasi yang cukup lama (126 menit), The Bubble sudah kehilangan gasnya sebelum dia berakhir. Konklusinya pun sangat membingungkan. Sayang sekali padahal banyak hal yang bisa dikorek dari kelakuan orang-orang satu persen selama pandemi (misalnya saja, behind the scene pembuatan video Imagine yang dibuat Gal Gadot dan kawan-kawan). Kalau Anda ingin tertawa, mungkin baiknya menonton film Apatow yang lain karena The Bubble ternyata miskin humor.

Nevertheless, The Bubble dapat disaksikan di Netflix.

---

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.

(aay/aay)

Hide Ads