Bagaimana bisa Warner Bros. merilis jilid keempat serial The Matrix saat kita semua tahu apa yang terjadi dengan tokoh utamanya di film ketiganya, The Matrix: Revolutions, yang dirilis 18 tahun yang lalu? Spoiler: Neo (Keanu Reeves) mati saat bertarung melawan Agent Smith.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Hollywood mencoba 'menghidupkan' lagi produk mereka yang sudah lama terkubur di dalam rak karena alasan ekonomi. Tapi yang membuat The Matrix: Resurrections sangat spesial adalah karena proyek ini ditangani langsung oleh salah satu dari kreator The Matrix yang asli (Lilly Wachowski tidak terlibat dalam film ini).
Jujur saja, kenikmatan penonton saat menyaksikan film ini sangat bergantung dengan seberapa familiar Anda dengan film-film Matrix sebelumnya. Terutama film pertamanya. Sekedar flashback, The Matrix yang pertama menceritakan seorang programmer sekaligus hacker bernama Thomas Anderson yang didatangi oleh Trinity (Carrie Anne-Moss) karena dia adalah seorang yang 'terpilih'. Di film berikutnya adalah tentang bagaimana Neo menjadi pemimpin dan mempertahankan The Matrix yang akhirnya bertemu ajal di film terakhirnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan jenaka, Lana Wachowski membuka The Matrix: Resurrections dengan adegan yang sama dengan pembukaan The Matrix yang pertama. Hanya saja kali kita melihat pembukaan ini dari mata Bugs (Jessica Henwick) yang terus-terusan mengatakan bahwa ada yang aneh dengan adegan ini. Rasanya seperti deja vu. Tidak lama setelah itu Bugs bertemu dengan Morpheus (Yahya Abdul-Mateen II) yang mempunyai misi yang sama seperti sebelumnya tapi sekarang wujudnya berbeda.
Di San Fansisco, Thomas Anderson (Keanu Reeves) hidup lumayan 'tenang' sebagai pembuat video game bernama The Matrix yang sukses luar biasa. Game ini dia desain berdasarkan mimpinya. Mimpi-mimpi ini tidak hanya membuatnya menjadi sukses tapi juga kutukan karena Anderson tidak bisa membedakan mana yang realita, mana yang mimpi. Itulah sebabnya therapist-nya memberinya pil berwarna biru untuk membuatnya tetap waras.
Kemudian di sebuah kafe dia bertemu dengan seorang perempuan yang sangat familiar. Meskipun ia bernama Tiffany (Carrie Anne-Moss) tapi ia jelas-jelas seperti Trinity. Kelak Tiffany juga mengaku hal yang sama. Bahwa ketika ia melihat game yang dibuat oleh Neo, dia merasa seperti pernah menaiki Ducati dan meluncur melawan arus. Keanehan ini tidak berhenti sampai disini karena Bugs bersama Morpheus berhasil menemukan Anderson dan menyadarkannya bahwa ia adalah Neo. Ia pun akhirnya menelan pil berwarna merah dan sekarang bersama-sama ia mencoba 'membangunkan' Trinity.
Bahkan dari sebuah konsep, The Matrix yang dirilis pada tahun 1999 bukanlah film yang sederhana. Ya, dia adalah sebuah film aksi tapi ia lebih dari itu. The Matrix memasukkan banyak sekali alegori tentang agama, ideologi-ideologi tentang free will dan nasib yang akhirnya diblender menjadi satu ke dalam sebuah wadah yang mengkilat. Penonton akan enjoy dengan adegan-adegan aksinya yang kala itu sangat mencengangkan. Bullet-time, slow-motion yang spektakuler dan fashion yang sangat mencuri perhatian. Tapi jangan pernah lengah karena The Matrix selalu lebih dari sekedar kacamata hitam dan latex yang keren.
Beruntung sekali Lana Wachowski kembali ke The Matrix: Resurrections karena saya tidak bisa membayangkan lagi apa jadinya film ini tanpa dia. Bersama dengan David Mitchell dan Aleksandar Hemon, film ini lebih dari sebuah sekuel. Film ini adalah surat cinta terhadap sebuah karya seni. Film ini adalah sebuah bentuk rasa sayang kreatornya terhadap karakter-karakter yang ia ciptakan.
Seperti yang saya ucapkan di paragraf di atas, menikmati The Matrix: Resurrections sangat membutuhkan konteks film-film sebelumnya. Tapi bukan tentang plot atau kompleksitas yang ada di dalamnya. Lana Wachowski menggunakan film terdahulu The Matrix untuk mengajak penonton mengeksplor hal yang lain yang di trilogi pertamanya ia tidak sentuh: cinta. Hubungan Neo dan Trinity memang digambarkan dengan sangat kuat di trilogi awalnya. Tapi baru di film inilah, penonton benar-benar diajak untuk melihat efek dari cinta itu. Yang tentu saja membuat film ini menjadi menarik dan membuat trilogi The Matrix yang dulu menjadi lebih asyik untuk dikunjungi lagi.
The Matrix: Resurrections memang agak turun temponya begitu Neo bangun dan semua karakternya menjelaskan apa yang terjadi setelah kejadian The Matrix: Revolutions. Tapi begitu ia tahu apa yang ia lakukan, The Matrix: Resurrections kembali menghentak dan membuatnya menjadi seru lagi. Dibandingkan dengan pendahulunya, yang satu ini memang kurang 'original' dalam mempersembahkan adegan laganya. Trilogi The Matrix lumayan terkenal karena ia mempunyai inovasi yang sangat mencengangkan dalam mempresentasikan adegan laga. Tapi itu tidak membuat The Matrix: Resurrections menjadi membosankan karena film ini mempunyai banyak hal yang ditawarkan.
Keanu Reeves dan Carrie Anne-Moss mempunyai chemistry yang abadi. Meskipun sudah lama mereka tidak bersama-sama, mereka bisa langsung kembali menjadi Neo dan Trinity seakan-akan karakter tersebut sudah hadir di kepala mereka. Selain mereka berdua, Jessica Henwick sebagai pendatang baru di dunia ini tampil sangat mencuri perhatian sebagai Bugs. Yahya Abdul-Mateen II memberikan gambaran Morpheus yang fresh. Sementara Neil Patrick Harris dan Jonathan Groff sangat menikmati peran mereka sebagai karakter antagonis.
Dengan visual yang tidak lagi monokrom (dulu serba hitam dan hijau), The Matrix: Resurrections berhasil melakukan hal yang mustahil. Ia membuat konsep reboot demi pundi-pundi dollar menjadi sebuah keputusan yang baik secara kreatif. The Matrix: Resurrections membuat saya bersemangat untuk kembali lagi ke dunia ini lagi.
The Matrix: Resurrections dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
Baca juga: Ini Pendapatan Keanu Reeves dari The Matrix |
(dal/dal)