Jakarta -
Bayangkan ini: New York (sebelum pandemi tentu saja) dengan suasana Natal. Yup. Jalanan ditutupi salju, semua New Yorker memakai syal, ekspresinya ceria dan hiasan natal dimana-mana. Pasangan saling peluk untuk menghangatkan diri, keluarga berkumpul untuk berbagi kebahagiaan. Toko-toko memutar lagu-lagu Natal untuk membuat suasana lebih ceria. Dua remaja New York menghadapi ini semua dengan berbeda.
Dash (Austin Abrams, diculik dari kesibukannya main di serial Euphoria) adalah seorang remaja laki-laki yang lebih suka berdiam diri. Bisa dibilang dia introvert. Dia memilih untuk membaca buku atau jalan-jalan ke toko buku. Ibu dan ayahnya sudah lama bercerai.
Salah satu alasan kenapa Dash begitu membenci Natal. Mereka mengabarkan perpisahan ini di momen ini beberapa tahun yang lalu. Ibunya pergi entah kemana dan ayahnya berpergian dengan pacarnya yang kemana. Itulah sebabnya Dash sendirian. Kesepian adalah temannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lily (Midori Francis) adalah kebalikannya Dash. Dia sangat mencintai Natal. Mungkin mencintai bukan kata yang tepat. Lily lebih tepatnya terobsesi dengan Natal. Natal menurutnya adalah momen paling menyenangkan di seluruh dunia. Seluruh keluarganya berkumpul, memakai piyama yang sama, saling tertawa sambil membuka kado.
Dash & Lily. Foto: Dok. Netflix |
Tapi tahun ini Lily agak bersedih. Kakeknya pergi ke Florida untuk mengunjungi pacarnya. Sementara kedua orang tuanya pergi ke Fiji untuk liburan. Dia hanya tinggal bersama kakaknya, Langston (Troy Iwata Langston), yang lebih sibuk dengan pacar barunya ketimbang dirinya.
Kemudian muncul ide yang berbahaya. Sebuah permainan. Lily menaruh sebuah buku dan mengajak penemu buku tersebut untuk bermain teka-teki. Jika cocok, mungkin mereka bisa menjadi teman... atau bahkan mungkin lebih. Ketika Dash menemukan buku tersebut, hatinya berdesir.
Apalagi ketika tahu bahwa siapapun pembuat teka-teki ini sepertinya "mengerti" dirinya sendiri. Mengerti bagaimana rasanya dianggap menjadi aneh. Bisakah dua orang yang sangat berbeda ini akhirnya bersatu?
Kalau Anda merasa bahwa Dash and Lily terasa agak sedikit familiar itu memang iya. Terutama jika Anda sudah menonton Nick and Norah's Infinite Playlist. Sama-sama ber-setting di New York, bercerita tentang dua orang yang beda dunia, ada adegan berkeliling New York, melibatkan musisi yang melakukan secret show.
Itu mungkin karena baik Nick and Norah's Infinite Playlist dan Dash and Lily diadaptasi dari novel yang sama yang ditulis oleh Rachel Cohn dan David Levithan. Yang mungkin agak membedakan Nick and Norah's Infinite Playlist dengan serial ini adalah Dash and Lily dibuat untuk bisa dinikmati oleh semua umur (13 tahun ke atas setidaknya).
Serial ini nyaman ditonton bagi keluarga yang open minded (ada karakter yang gay) dan dengan durasi di bawah 30 menit setiap episodenya, serial ini sangat asyik untuk di-binge-watch. Seperti halnya Emily In Paris (yang akan tayang kembali tahun depan), appeal dari Dash and Lily adalah kerecehannya.
Dash & Lily. Foto: Dok. Netflix |
Suasana liburan sudah dekat dan kita tidak membutuhkan tontonan yang membutuhkan konsentrasi. Dan Dash and Lily memberikan semua itu. Visual yang asyik (New York dibuat dengan begitu festive di serial ini), karakter-karakter yang sangat likeable, pemain yang kinyis-kinyis dan menggemaskan mukanya serta soundtrack yang ear-catching.
Menonton Dash and Lily seperti tersedot ke dimensi lain karena tahu-tahu sudah sampai episode 8. Tentu saja seperti tontonan receh kebanyakan banyak hal dalam Dash and Lily yang kurang digali. Banyak hal-hal yang mungkin akan membuat penonton kritis mengerutkan dahi. Dan bagi penonton dewasa yang sudah move on dari cerita cinta monyet, perjalanan cinta Dash dan Lily akan membuat Anda kesal sendiri.
"Apa sebegitu susahnya untuk langsung whatsapp atau stalking Instagramnya?" hal tersebut saya pikirkan hampir setiap 10 menit menonton serial ini.
Untungnya Dash and Lily mempunyai banyak amunisi untuk membuat saya tetap betah menonton serial menggemaskan ini. Aktor-aktornya bermain dengan lumayan apik. Mungkin mereka tidak menunjukkan akting yang luar biasa tapi chemistry satu pemain dan pemain lainnya terjaga dengan baik.
Porsi antara humor dan sentimental romansanya juga terjaga. Tidak terlalu komedi sampai menjadi lucu banget tapi tidak terlalu gula-gula sehingga menjadi diabetes. Pas. Dan yang terakhir, suasana Natal yang sungguh menghipnotis itu.
Adakah yang lebih baik daripada menghabiskan akhir pekan, ngemil kue (atau buah) sambil menonton dua remaja jatuh cinta di tengah kota New York saat Natal? Jawabannya tentu saja tidak ada.
Dash and Lily dapat disaksikan di Netflix.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.