Seperti halnya Hereditary, sebuah kejadian yang sangat mengenaskan menjadi awal dari sebuah mimpi buruk. Dani (Florence Pugh) adalah seorang gadis yang mengambil jurusan psikologi yang menderita anxiety. Pacarnya, Christian (Jack Reynor), sepertinya mau memutuskan hubungan mereka karena dia sudah tak tahan dengan drama yang diciptakan Dani. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang mengenaskan dalam hidup Dani yang membuat Christian terpaksa bertahan.
Kemudian Christian bersama teman-temannya, Pelle (Vilhelm Blomgren), Josh (William Jackson Harper) dan Mark (Will Poulter) merencanakan untuk pergi ke Swedia. Pelle akan mengunjungi keluarganya sementara Josh ingin mencari topik untuk tesisnya. Dan Mark hanya ingin menyaksikan perempuan-perempuan Swedia yang terkenal cantik-cantik. Rencana liburan ini sudah mereka rencanakan sejak lama. Dan Christian akhirnya mencoba mengajak Dani untuk ikut. Dani yang masih trauma atas bencana yang menimpa hidupnya terpaksa mengiyakan ajakan ini karena sendirian bukan sebuah pilihan dalam hidupnya sekarang ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan pergilah mereka semua ke Swedia. Pelle ternyata dibesarkan dalam sebuah komunitas yang mempunyai ritual-ritual khusus. Tidak ada yang aneh dengan tempat ini kecuali matahari selalu terang benderang, makanan yang enak-enak dan wardrobe yang mirip dengan Instagram influencers. Sampai pelan-pelan Dani menyaksikan hal-hal yang aneh dan mimpi buruk tak kunjung berhenti. Hanya saja mereka semua tidak bisa bangun dari mimpi buruk ini.
Yang menarik dari Midsommar dari Ari Aster ini adalah bagaimana ia terobsesi dengan trauma sebagai tema besar dari karya buatannya. Seperti halnya Hereditary, horor yang Ari Aster coba tawarkan sebenarnya lebih kepada human condition daripada kejadian-kejadian aneh yang dialami oleh para karakternya. Tentu saja kejadian-kejadian aneh itu tetap akan membuat Anda bergidik. Tapi menurut saya semuanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan "masalah real" yang Ari Aster coba gali dalam setiap filmnya. Kalau dalam Hereditary Ari Aster mencoba membicarakan tentang keluarga dan mental illness, dalam Midsommar Ari Aster membicarakan mengenai relationship dan trauma.
Dan dalam Midsommar penonton benar-benar diajak untuk merasakan itu. Keahlian Ari Aster dalam membuat penonton tidak nyaman dan merasakan alienasi benar-benar teruji disini. Dari awal film sampai akhir, penonton benar-benar dibuat gelisah. Tidak ada hantu atau monster yang memakan karakter-karakternya. Tapi aura filmnya dan atmosfer filmnya benar-benar sangat spesifik sehingga Anda ingin keluar dari suasana sebal tersebut. Dan hal tersebut adalah sebuah pencapaian tertinggi mengingat visual Midsommar sangat indah dan terang benderang seperti foto-foto pemandangan.
![]() |
Visual dari sinematografer Pawel Pogorzelski (yang juga merekam keseraman Hereditary) adalah sesuatu yang patut dirayakan. Visualnya begitu megah dan kaya. Penuh dengan warna-warna yang sepertinya jatuh dari buku dongeng tapi disini rasanya begitu menyesakkan. Kalau dalam Hereditary trauma disembunyikan dalam warna gelap (yang tentu saja berakhir tragis), dalam Midsommar tidak ada tempat untuk bersembunyi. Secara literal Dani harus menghadapi traumanya di tengah terik matahari. Dan yang terjadi adalah katarsis. Endingnya akan membuat Anda tertawa atau mungkin ketakutan. Tergantung dari kacamata mana Anda melihat Midsommar. Tapi yang jelas, scoring dari Bobby Krlic akan membuat Anda jumpalitan.
Dengan durasi dua setengah jam (versi Indonesia dipotong 10 menit oleh lembaga sensor film yang sekali lagi menunjukkan bahwa sepertinya Indonesia perlu sistem klasifikasi bukannya sensor), Midsommar adalah sebuah slow burn horror yang sangat efektif. Penonton benar-benar ditaruh dalam kepala Dani sehingga setiap kesakitan yang ia rasakan, yang rata-rata adalah sakit internal, bisa penonton rasakan dengan jelas. Dan semua ketakutan, mimpi buruk, paranoia dan ritual-ritual itu menjadi berbeda sensasinya begitu kita diantar sampai ke ending yang akan menggetarkan penonton.
Tidak seperti Hereditary yang terlalu mencekam dan "kaku", Midsommar yang terang benderang secara visual juga menawarkan momen-momen yang lumayan hangat meskipun suasana angkernya jauh dominan. Momen-momen humor itulah yang justru menjadi kekuatan rahasia Midsommar karena Ari Aster rupanya masih tertawa terbahak-bahak di belakang layar. Banyak sekali adegan, bahkan yang melibatkan berbagai keanehan dan horor, yang akan membuat Anda ingin tertawa. Disanalah pertanyaan muncul: apakah layak saya tertawa untuk adegan sesakit ini?
Baca juga: 'Midsommar' Penuh Adegan Mengerikan |
Midsommar tidak akan menjadi sebuah tontonan yang sangat berhasil jika ia tidak dimainkan oleh aktor-aktor yang baik. Ari Aster sepertinya mempunyai indra keenam dalam pemilihan aktor karena seperti halnya Hereditary, semua aktor dalam Midsommar bermain dengan sangat apik sehingga penonton bisa merasakan dinamika dan karakterisasi setiap karakter-karakternya. Jack Reynor sangat meyakinkan sebagai pacar yang menyebalkan dan Florence Pugh sangat bersinar sebagai Dani. Ketika dia melolong karena kesakitan, Anda akan meringis takut dan sedih karena rasanya sangat nyata. Tepat seperti yang Toni Collette lakukan di pertengahan Hereditary.
Jika Anda pecinta film yang mencekam yang membuat Anda kebingungan karena takut, Midsommar adalah hadiah untuk Anda. Film ini akan membawa Anda berpetualang ke dalam sebuah kegilaan yang tidak bisa dijelaskan. Orang-orang tertawa, tersenyum, bersikap ramah dan saling bersulang tapi semuanya terasa seperti mimpi buruk. Ketika orang-orang menari penuh semangat yang Anda rasakan adalah sebuah alienasi. Dan untuk itu Midsommar adalah sebuah atraksi yang harus Anda rasakan.
Midsommar dapat disaksikan di jaringan CGV, Cinemaxx, Lotte, Flik dan bioskop-bioskop lainnya.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film.
(tia/tia)