Hollywood membutuhkan orang-orang seperti Matt Reeves untuk tetap membuat penonton berbondong-bondong ke bioskop. Setelah entry yang spektakuler melalui 'Dawn of the Planet of the Apes', Reeves melanjutkan kerja spektakulernya dalam jilid pamungkas serial ini yang diberi tajuk 'War for the Planet of the Apes'.
Melanjutkan kisah pertarungan antara para kera dan manusia, kita melihat bahwa situasi antara keduanya tidak berubah menjadi baik. Manusia tetap berkeinginan untuk membinasakan para kera dan para kera, yang dipimpin oleh Caesar (Andy Serkis), berusaha keras untuk mempertahankan diri dengan
cara apapun.
Setelah peperangan epik yang melenyapkan begitu banyak nyawa, Caesar dan anak buahnya bersiap-siap untuk merencanakan tindakan berikutnya ketika para tentara berhasil menyusup ke tempat persembunyian mereka. Di sana Caesar menyaksikan salah seorang tentara berhasil membunuh anak sulung dan istrinya.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rupert Wyatt berhasil menyuguhkan Rise dengan sungguh menarik. Reeves kemudian melanjutkannya dengan ketegangan tanpa henti dalam Dawn. Untuk penutup, Reeves melanjutkannya dengan suntikan emosi yang fenomenal.
Susah memang untuk melampaui kegemilangan Dawn yang begitu intense dan memuaskan. Maka keputusan penulis skripnyaβMark Bomback dan Matt Reevesβuntuk mengambil jakur yang berbeda menjadi sebuah pertunjukan yang harus dirayakan.
War adalah sebuah film yang kaya akan emosi. Penonton dipaksa untuk menyaksikan kekejaman perang yang begitu parah kemudian kita digiring untuk mendukung tim para kera. Seperti kelemahan film-film sebelumnya, War menampilkan karakter-karakter kera yang jauh lebih menarik dan tiga-dimensional
daripada karakter-karakter manusianya.
Walaupun kebanyakan kera tersebut berbicara dalam bahasa isyarat, mereka terasa jauh lebih humanis daripada manusianya sendiri. Dan mungkin hal tersebut
adalah kesengajaan penulis skripnya untuk mencampur aduk emosi penonton. Usaha Bomback dan Reeves untuk menampilkan satu point of view tersebut sangat berhasil.
Penonton jadi begitu lekat dengan karakter para kera dalam film ini. Sehingga begitu babak ketiga meledak, penonton mau tidak mau ikutan tegang menyaksikan peperangan akbar yang terjadi di layar.
Dengan visual efek yang canggih dan penyutradaraan Reeves yang mantap, peperangan War terasa perih sekaligus pernyataan bahwa tak selamanya sebuah blockbuster harus terlihat bodoh. Satu-satunya hal yang ganjil adalah Reeves menata konflik yang lemah dengan penggunaan monolog panjang.
![]() |
Melihat kemampuannya mereka adegan, Reeves seharusnya bisa menyampaikan itu semua melalui adegan. Tapi itu hanyalah minor kecil dibandingkan dengan pengalaman fantastik menyaksikan para kera berjuang menyelamatkan satu sama lain.
Banyak orang beranggapan bahwa reboot jaman sekarang hanya mengedepankan CGI canggih demi jalan singkat yang cepat. Akan tetapi dalam kasus War, hal
tersebut adalah pernyataan keliru.
Serial ini nampak jauh lebih superior daripada film aslinya bukan hanya karena secara visual nampak jauh meyakinkan namun juga karena teknologi motion capture-nya berhasil mentransfer akting para pemerannya menjadi nyata.
Saat Anda melihat Caesar dalam War, Anda akan melihat betapa berusahanya ia untuk menjadi seorang pemimpin yang baik ketika dendam menggerogoti hatinya. Kedipan matanya, tatapan matanya yang sayu, semua detil gerak tubuhnya berhasil mentransfer semua emosi Caesar dengan sempurna sehingga Anda pun ikut terlena.
![]() |
Dibandingkan dengan Dawn, War memang kurang meledak-meledak. Namun film ini kaya akan emosi.
Musik Michael Giacchino yang sensasional juga semakin menambah keseruan film ini. Ketika credit title bergulir, Anda tahu bahwa perang adalah horor bagi semua orang dan fakta bahwa tidak semua blockbuster musim panas sehampa robot Transformers.
Candra Aditya
Writer & filmmaker