Khalida (Ayu Shita) adalah anak Haji Rohili (Fuad Idris), seorang tokoh tetua penjunjung tinggi Islam tradisional di kampungnya, yang dengan tipikal khas dipanggil "(Pak) Haji". Dari teras rumah betawinya yang sederhananya, Haji Rohili kerap merayakan acara kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi) dengan mengundang pemuda-pemudi untuk ngaji bersama, shalawatan melantunkan puji-pujian. Di sisi lain, Khalida ternyata menjalin asmara dengan Kamal (Dimas Aditya), anak Haji Jamat (Ronny P Tjandra), tokoh agama terpandang yang menjunjung ajaran Islam "murni" ala Al Azhar.
Pada saat yang sama, kemenakan Haji Jamat, Ustad Jaiz (Alex Abbad), yang baru pulang dari Mesir dengan pendidikan tinggi dan membawa semangat dakwah, pelan-pelan menguasai Masjid Assalam, yang sebelumnya di bawah takmir Haji Rohili. Alhasil, masjid kecil yang semula tenang dan menjadi pusat kehidupan beragama di kampung itu, menjadi rebutan antara dua kelompok yang berbeda itu, dan kini penuh dengan larangan dan aturan. Jamaah di teras Haji Roholi juga pelan-pelan pindah mengikuti aliran pengajian Ustad Jaiz yang menggebu-nggebu. Haji Rohili yang dulunya menjadi imam salat berjamaah di masjid pun, kini terpaksa salat di rumah dengan anak dan istrinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konflik antara dua kelompok Islam di kampung itu semakin memuncak, saat Sandra (Ade Firman Hakim), seorang waria yang tinggal di kontrakan milik Haji Rolihi, diusir dari masjid oleh para pengikut Ustad Jaiz yang keras.
Sebagai sutradara film-film bertema Islam, Nurman Hakim selalu berhasil menghadirkan sidik jarinya, membuat film religi yang tidak generik, selalu berbeda dan mempunyai premis unik. 'Bid'ah Cinta' berhasil menangkap sebuah gejolak bangkitnya semangat keberagamaan Islam dan meningkatnya kesalehan di sebuah kampung, yang secara ironis justru memicu konflik. Dua aliran Islam yang berbeda saling berseteru memperebutkan satu-satunya masjid yang ada di kampung mereka. Ditambah dengan bumbu kisah cinta yang melengkapi, film ini jadi kaya dan aktual.
Melalui Billy Tristiandy, gambar-gambar indah tertangkap dengan baik. Kita akan diperlihatkan dengan keragaman kehidupan Islami khas kampung, shalawatan merdu lengkap dengan rebananya, keseharian keluarga Islami yang rukun dan damai. Saat kehidupan dimulai setelah adzan subuh, bapak pergi ke masjid menjadi imam, ibu membangunkan anak laki-lakinya untuk salat, dan anak perempuannya membuatkan teh. Keseharian sederhana ditampilkan dengan tulus dan bermakna.
Naskah cerita yang ditulis serentak oleh Nurman Hakim, Zaim Rofiqi, dan Ben Sohib merengkuh dengan sangat baik fenomena perubahan yanag terjadi di sebuah kampung, setelah munculnya kelompok baru yang bermaksud "mengoreksi" tatanan yang lama. Kisah asmara Khalida, Kamal dan Hasan menjadi bubur yang segar, sekaligus menyatu dan menjadi bagian dari gejolak yang ada. Sayangnya, tokoh Hasan hanya terkesan sebagai tempelan "antitesis" saja tanpa diperdalam karakternya. Kita tidak tahu latar belakangnya, dan mengapa ia hanya diperlihatkan selalu membaca doa di kuburan, dan apakah dia benar-benar menyukai Khalida? Di sisi lain, kita diperlihatkan pada tokoh dua orang mabok dengan hidupnya sebagai pecundang yang mempunyai porsi adegan lebih banyak daripada kisah cinta segitiga Khalida.
Di paruh awal film ini berjalan dengan alur yang lambat dan terasa berputar-putar, dan di pertengahan terkesan mulai kehabisan energi, membuat film ini terasa sangat lama. Namun, hal itu tertolong oleh aktor-aktor yang bermain di film ini, yang mampu merebut perhatian dan simpati. Aktor yang menonjol di film ini adalah Fuad Idris sebagai Haji Rohili; ia dengan sangat baik berperan sebagai tokoh agama yang sederhana, bingung sekaligus berani dalam menghadapi perubahan yang dibawa oleh anak-anak muda. Tokoh lain yang menonjol adalah Alex Abbad, yang memerankan tokoh ustad "radikal" dengan gayanya yang khas. Dua teman lama Ustad Jaiz, yang diperankan oleh Tanta Ginting dan Khiva Iskak, yang mendadak bergabung untuk membantu dakwah, sungguh mencuri perhatian dengan segala gelagatnya yang mencurigakan. Kedua aktor menjadi kekuatan tersendiri bagi film ini, terasa meyakinkan dan setiap kemunculannya membuat penonton berdebar-debar, apa yang akan terjadi.
Meski masih membawa pola lama dari film sebelumnya, '3 Do'a 3 Cinta' (2008), 'Bid'ah Cinta' tetap menarik untuk ditonton, dan memberikan sesuatu yang perlu direnungkan bersama. Nurman Hakim selalu bisa membuat penontonnya melihat sisi lain konflik umat seagama, dalam hal ini Islam, dan bagi penonton dari agama lain pun tetap bisa mengambil hikmah dari nilai universalitas toleransi yang ditawarkannya. Dari pesantren di '3 Doa 3 Cinta', Nurman kini "keluar" dan menjadikan kampung sebagai panggung di film 'Bidah Cinta', untuk memotret keberagaman orang-orang saleh yang saling berebut kepentingan atas nama kebenaran masing-masing. Hingga kemudian kita akan memetik hikmah bahwa cinta adalah segala-galanya.
Masyaril Ahmad penggemar film (mmu/mmu)