Dalam kesempatan tersebut, pikiran Billy Lynn terbang ke sana ke mari. Dia mengingat-ngingat alasan kenapa ikut perang, hubungannya dengan saudarinya (Kristen Stewart), bagaimana dia menghadapi perang, filosofi hidup dari Shroom (Vin Diesel), melihat kesibukan seorang agen yang berusaha keras mendapatkan deal Hollywood, dan pertanyaan apakah dirinya akan kembali lagi ke medan perang. Semua itu terjadi dalam perjalanan Billy dari hotel sampai meninggalkan stadium.
Ang Lee adalah salah satu sutradara yang mempunyai filmografi yang sangatlah menarik. Dilahirkan di Taiwan, ia menunjukkan kepiawaiannya dalam film-film awalnya yang sudah mentereng seperti 'Pushing Hands', 'The Wedding Banquet' dan 'Eat Drink Man Woman'. Kemudian Lee loncat ke Hollywood dengan 'Sense and Sensibility' yang dipuja-puja. Tapi, barulah 'Crouching Tiger, Hidden Dragon' yang membuat semua orang mendadak ingin Ang Lee ada di mana-mana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan resume yang begitu menggetarkan, tidak heran jika semua orang berharap bahwa film ini, adaptasi dari novel karya Ben Fountain, menjadi masterpiece Ang Lee yang berikutnya. Sayangnya, hasilnya tidak semenggelegar yang banyak orang harapkan, meskipun kisah Billy Lynn tetap lebih tajam dari film perang kebanyakan. Salah satu hal yang membuat film ini agak melempem adalah skrip karya Jean-Christophe Castelli.
Castelli kurang cakap dalam mengadaptasi kisah tersebut menjadi sebuah karya yang koheren. Poinnya mengenai bahwa para tentara itu mengalami trauma memang jelas, namun Castelli tidak membuat pondasi yang kuat untuk mengantarkan cerita ini. Kalau pun dia mencoba untuk menyampaikannya dengan black humor, lelucon-leluconnya kurang nampol. Kalau dia mencoba merekamnya lewat drama konvensional, 'Billy Lynn's Long Halftime Walk' terasa kurang dramatis. Dan, dialog-dialog klise buatannya juga tidak membantu.
Ang Lee mencoba memperbaiki itu semua dengan fokus terhadap visual. Film ini direkam dengan kamera 3D dengan kecepatan 120 frame per seconds. Penonton Indonesia tidak dapat menikmatinya karena di dunia ini hanya ada enam bioskop yang bisa memutar film yang dibuat dengan cara seperti itu. Usaha Lee tersebut dilakukan agar penonton bisa "melihat" realita, dan bukannya sebuah film. Shot-shot yang dibuat John Toll, yang membuat karakternya seperti menatap ke penonton, memang di bagian-bagian awal terasa seperti menghantui. Tapi, justru efek tersebutlah yang membuat penonton terasa seperti ikut andil dalam perjalanan Billy Lynn.
Kristen Stewart menebus dosanya sebagai saudari Billy Lynn. Penampilannya memang singkat, namun menimbulkan bekas. Garrett Hedlund sebagai Sersan Dime benar-benar mencuri perhatian dengan celetukannya yang ganas. Tapi, film ini memang pertunjukan Joe Alwyn yang sebagai pendatang baru sanggup menunjukkan kematangannya dalam berakting. Bermain sebagai pemeran utama yang menekan emosinya, dan jelas-jelas mempunyai kegundahan batin --dan berhasil menyampaikannya dengan sangat baik-- adalah prestasi yang luar biasa, bahkan untuk ukuran pemain kawakan. Dan, Joe Alwyn melakukannya dengan sangat natural.
'Billy Lynn's Long Halftime Walk' memang bukan film terbaik Ang Lee. Tapi, ini adalah sebuah potret yang menarik tentang perang, politik, nasionalisme, tanggung jawab dan rasa takut dari seorang bocah berumur 19 tahun.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)