Midnight Show: Teror Berdarah di Gedung Bioskop Tua

Midnight Show: Teror Berdarah di Gedung Bioskop Tua

Shandy Gasela - detikHot
Senin, 18 Jan 2016 15:35 WIB
Foto: Dok. Midnight Show
Jakarta - Pada suatu malam di tahun 1998, film berjudul 'Bocah' diputar pada jam midnight untuk pertama kalinya di sebuah bioskop tua kelas dua yang sepertinya sudah mulai ditinggalkan penonton.Β  Sesaat sebelum loket karcis dibuka, hujan turun dengan lebatnya, dan hanya ada lima orang pengunjung yang datang. Satu per satu mereka mereka membeli tiket; seorang cowok tengil (diperankan Ade Firman Hakim, 'Guru Bangsa Tjokroaminoto'), sepasang kekasih, Ikhsan (Boy Harsya) dan Sarah (Ratu Felisha, 'Badoet', 'Something in the Way'), seorang bapak tua yang tampak linglung dan ketakutan (diperankan Arthur Tobing, 'Tembok Derita', 'Jurus-jurus Sakti'), dan seorang cowok misterius yang mengenakan hoody (diperankan Ganindra Bimo, 'Rock N Love', 'Gangster') yang datang last minute persis pada saat Naya (Acha Septriasa, 'Bulan Terbelah di Langit Amerika', 'Lamaran'), si penjaga loket, mulai menutup tirai loketnya.

Film 'Bocah' itu diangkat dari kisah nyata, tentang seorang anak 12 tahun yang membunuh orangtuanya lalu dia dipenjara. Coba kalau dia sudah bebas dari penjara lalu nonton filmnya dan nggak suka, gimana?" Seloroh Juna (Gandhi Fernando, 'Pizza Man', 'The Right One'), projectionist bioskop, kepada Naya yang ditaksirnya (atau kepada kita, penonton) yang menyaksikan bahwa selepas dialog itu terucap, adegan berubah menjadi teror; satu per satu karakter dalam film terbunuh, dan kita diajak menebak siapa serta apa motif dari teror yang tengah berlangsung.

"Slasher"... sebagian orang mendefinisikannya sebagai film horor yang biasanya bercerita tentang seorang pembunuh psikopat yang berkeliaran untuk menuntut balas kepada para abege yang tak bersalah, dan itu benar-benar saja. Film slasher adalah subgenre horor yang bisa jadi paling mengerikan karena kita hidup di dunia di mana tetangga kita mungkin saja seorang Norman Bates, atau Sumanto! Kebanyakan "penjahat" dalam film slasher pasti mengenakan topeng entah itu untuk menyembunyikan identitas, atau karena masalah kurang percaya diri seperti berjerawat atau memiliki cacat wajah. Sekaligus, tentu saja agar penonton menebak-nebak siapa orang di balik topeng itu (bahkan ketika penonton sebenarnya sudah tahu, si "penjahat" masih merasa perlu untuk tetap menutupi wajahnya).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sejumlah film slasher, yang Anda lihat biasanya adalah dari mata si pembunuh, sudut pandang orang pertama dari perspektifnya. Hal ini untuk membuat penonton tetap menduga-duga, namun bagaimana bila penonton secara disengaja dibuat untuk tak semestinya mengetahui siapa si pembunuh yang sesungguhnya? Subgenre dari slasher ini disebut "Whodunit".

'Midnight Show' garapan Ginanti Rona Tembang Asri ini masuk ke dalam kategori tersebut. Lapis demi lapis cerita tersusun secara cermat menguak misteri demi misteri yang pada mulanya terlihat membingungkan; tak utuh dan tak berkaitan satu sama lain, namun di ujung cerita pembuat film berhasil meyakinkan bahwa segala kebingungan di awal itu bukan lantaran kebingungan yang sengaja dibuat ngejelimet demi kebingungan itu sendiri. Debut naskah skenario dari Husein M. Atmodjo dan cerita oleh Gandhi Fernando yang juga sekaligus memproduseri film ini berhasil menawarkan konsep "Whodunit" yang tak hanya mengesankan, namun juga penuh perhitungan dan dieksekusi dengan begitu baik oleh sutradara debutan Ginanti Rona.

Beraliran "Whodunit", 'Midnight Show' memang tidak memiliki daya pikat unsur "fun" seperti yang tersaji dalam 'Scream' (Wes Craven, 1996) atau 'The Cabin in the Woods' (Drew Goddard, 2012) misalnya. Tapi, justru karena tone-nya yang depresif, film ini jadi terasa unik dan "one of a kind"; cerita yang original serta didasari semangat realisme yang kental. Lihat misalnya adegan Tama (Ganindra Bimo), dalam sebuah rekaman video, diminta oleh sesosok tokoh khayalan (atau tokoh nyata yang tak kelihatan?) untuk membunuh orang (diperankan secara singkat oleh aktor peraih Piala, Citra Yayu Unru) untuk pertama kalinya, sambil marah dan menangis terisak sampai ileran. Tama berperang melawan batinnya sendiri; membunuh orang lain atau orang yang dicintainya terbunuh, dan lihatlah bagaimana si karakter Yayu Unru bereaksi, juga lihat si wanita jurnalis yang duduk di sebelahnya; sungguh gelaran adegan yang mengganggu.

Lantas adegan tersebut sekaligus memberi jawaban untuk "kenapa si pembunuh begitu mudahnya menghabisi nyawa manusia seakan ia sedang membunuhi kecoak?" -- yang biasanya tak dipikirkan sedemikian serius oleh sineas Hollywood; Jason Voorhees dari berjilid-jilid film 'Friday The 13th' bangkit dari kubur lantas luntang-lantung begitu saja membunuhi abege-abege yang ditemuinya di jalan, dan dia memakai topeng pemain Hockey tanpa alasan yang jelas! Jason Voorhees dalam 'Jason X' (James Isaac, 2001) bahkan diceritakan pergi ke luar angkasa, ia masih bertopeng dan masih berkeliaran membunuhi abege-abege yang ditemuinya di sana. Michael Myers dalam 'Halloween' (John Carpenter, 1978) membunuhi orang-orang lantaran masa kecilnya suram dan ia jadi tak waras, sesederhana itu motivasinya.

Selain Boy Harsya (yang berakting seperti pesinetron kejar tayang), semua cast tampil wajar dan beberapa cukup istimewa. Saya terutama menyukai penampilan Ratu Felisha sebagai Sarah; selalu ada karakter seperti ini dalam film-film horor sejenis. Di film-film Hollywood karakternya biasanya berambut pirang, sudah tidak perawan, dan biasanya mati duluan sesaat setelah berhubungan seks. Sangat tipikal. Karakter Sarah di film ini setidaknya tidak karikatural, dan Ratu berhasil menghidupkan perannya dengan mengesankan.

Sebenarnya akting bukanlah bagian terpenting dalam genre slasher/whodunit -- sebatas berakting wajar saja sesungguhnya sudah cukup. Neve Campbell sebagai Sidney dalam 'Scream' tampil biasa-biasa saja, dan dia tak mendapat piala Oscar untuk perannya tersebut. Skeet Ulrich sebagai Billy (masih dalam 'Scream') tampil buruk tak ketulungan. 'The Final Girls' (Todd Strauss-Schulson, 2015) memiliki jajaran pemain yang tak satu pun berakting gemilang, namun toh itu tak menjadikannya tontonan yang menjemukan. Sebab, seperti halnya 'Midnight Show', plot cerita yang solid dan eksekusi sutradara yang ciamiklah yang menjadikannya istimewa. Pembuat film ini berhasil menghadirkan tontonan slasher "Whodunit" tanpa dijejali trik dan teknik-teknik murahan-klise, dan hasil akhirnya sangatlah impresif.

Shandy Gasela pengamat perfilman Indonesia.

(mmu/ron)

Hide Ads