Kemudian suatu malam, Peter dan sahabat karibnya Nibs (Lewis MacDougall) menyelidiki hilangnya teman-teman mereka. Ternyata, mereka diculik semacam bajak laut. Nibs lolos dari cengkeraman penjahat, sementara Peter berhasil diangkut dan akhirnya berada di sebuah kapal laut yang terbang di udara.
Peter akhirnya dibawa ke sebuah dunia tempat peri hidup, dan diburu oleh Blackbeard (Hugh Jackman), seorang bajak laut yang terobsesi dengan keabadian. Peter difitnah oleh salah seorang pekerja, dan nyawanya terancam. Saat itulah Peter, juga Blackbeard, mengetahui bahwa dirinya adalah separuh peri; dialah Si Terpilih yang akan mengalahkan para penjahat itu. Dan sekarang, nasib dunia peri ada di tangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanpa mempedulikan plotnya, tidak ada yang salah dengan âPanâ. Wright dengan sinematografer John Mathieson dan Seamus McGarvey melukis filmnya dengan visual yang luar biasa. Kontras warna antara dunia nyata dengan âNeverlandâ benar-benar mengagumkan. Setiap frame terasa seperti lukisan yang indah. Didukung dengan visual efek yang juara, âPanâ menawarkan sebuah pemandangan yang layak untuk menghabiskan 150 juta dollar AS bujet film.
Kalau visual belum cukup, Wright masih menambahkannya dengan berbagai gimmick yang menarik. Aura Baz Luhrman jelas terasa di sini. Terutama ketika Blackbeard muncul dan semua orang menyanyikan âSmells Like Teen Spiritâ dari Nirvana. Di atas kertas memang agak aneh, sebuah film anak-anak tapi para karakternya menyanyikan lagu band 90-an yang vokalisnya bunuh diri. Namun, saat adegan tersebut berlangsung, âPanâ terasa begitu fun dan berbeda. Sampai akhirnya kita terlibat dalam ceritanya.
Secara tempo, film ini melesat dengan cepat dan tak menyisakan momen yang membosankan. Masalah utama dalam âPanâ adalah kisahnya yang terlalu generik. Sebagai upaya untuk rebranding, âPanâ jelas gagal. Penulis Jason Fuchs tidak berhasil membuat plot yang jauh lebih menarik dan original daripada kisah Sang Terpilih yang sudah dieksploitasi oleh ratusan film lain. Dalam banyak hal, versi Wright ini justru terasa seperti deja vu âHarry Potterâ. Mulai dari ditinggalkan di depan pintu saat bayiâyang satu di rumah paman yang jahat, yang satu lagi di sebuah panti asuhan dengan ibu kepala panti yang juga jahat; orangtua yang ternyata pemberontak terhadap penjahat; sang tokoh utama yang tidak menyadari bahwa dirinya penting dan Sang Terpilih; keragu-raguannya terhadap diri sendiri; sampai keahliannya untuk membaca aksara yang tidak bisa dimengerti orang lainâdalam âHarry Potterâ adalah Parseltongue, dalam âPanâ adalah bahasa peri.
Selain Levi Miller si pemeran Peter baru yang sama sekali tidak mengingatkan kita akan bentuk Peter Pan dalam versi mana pun tapi tetap memikat, hampir tidak ada cast yang tampil prima. Hugh Jackman jelas seperti sedang kesurupan. Garett Hedlund yang memerankan versi baik hati Hook seperti sebuah lelucon yang hanya dimengerti penulis skripnya. Rooney Mara yang memerankan Tiger Lily terasa seperti sebuah kesalahan besar. Wright mungkin sudah berusaha keras untuk menciptakan dunia Peter Pan dengan visual megah dan aktor terkenal. Namun, pada akhirnya kapal bajak laut yang dia tumpangi tidak cukup kokoh untuk membuat âPanâ menjadi rebranding yang berhasil.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)











































