Hotel Rwanda: Sepotong Kisah Sedih dari Rwanda
Sabtu, 26 Feb 2005 09:51 WIB

Jakarta - Kisah kepahlawanan tak musti ditunjukkan dengan tokoh supehero berbaju hebat. Di tengah pembantaian kelompok Tutsi oleh kelompok Hutu siapa pun bisa jadi pahlawan. Tapi pertanyaanya siapakah yang berminat mengorbankan diri dengan risiko bahaya yang lebih besar. Semuanya tentu cari selamat. Adalah Hotel Mille Collines tempat Paul Rusesabagina (Don Cheadle) bekerja. Hotel bertaraf internasional itu kerap didatangi oleh tamu-tamu Eropa dan pejabat tinggi pemerintahan. Sebagai manajer hotel yang baik Paul tentu piawai dalam menjamu tamu-tamunya. Ia berharap suatu hari nanti usahanya itu akan juga bermanfaat untuk dirinya. Keadaan yang Hotel yang tenang dan nyaman mulai memburuk akibat semakin panasnya konflik antara kelompok Hutu dan Tutsi. Sedikit kilas balik, kelompok Hutu dan Tutsi diciptakan oleh Belgia pada masa kolonialnya. Warga Hutu berciri perawakan pendek dan lebih hitam sedangkan orang Tutsi sebaliknya. Perdamaian yang sedang digelar dengan mediasi PBB gagal karena kelompok Hutu malah memanfaatkan momen tersebut untuk membunuh Presiden Habyarimana yang sebelumnya telah menandatangani perjanjian damai. Setelah terbunuhnya presiden Habyarimana kelompok Hutu pun memberontak dan merencanakan pembantaian besar-besaran untuk membersihkan kelompok Tutsi. Semua orang yang di tanda pengenalnya diidentifikasi sebagai warga Tutsi akan langsung disiksa, diperkosa, dan ujungnya akan dibunuh oleh kelompok Hutu. Keadaan tersebut tentu membuat stabilitas Rwanda gonjang ganjing. Para turis asing panik, warga Tutsi yang ketakutan banyak mengungsi ke hotel yang dijaga pasukan PBB. Tak hanya dibuat panik oleh masalah Hotel, Paul juga ketar-ketir karena istrinya berasal dari kelompok Tutsi. Seakan turut minta perlindungan, beberapa tetangga Paul mengungsi ke tempatnya. Dengan perjuangan harta dan nyawa Paul berhasil membawa para tetangga dan istrinya ke Hotel tempatnya bekerja untuk perlindungan sementara. Tapi masalah belum selesai sampai disitu. ratusan pengungsi lain juga turut meminta perlindungan ke hotel yang dianggap mereka aman itu. Disinilah Paul harus menguatkan dirinya. Ia harus bisa tetap bisa berperan sebagai manajer hotel yang baik di tengah berbagai kekacauan tersebut. Namun tugasnya tak hanya seputar itu, ia juga harus menerima ancaman bahaya yang lebih besar karena dianggap sebagai pihak berkhianat dengan melindungi Tutsi yang menginap di hotelnya. Sosok pahlawan memang cocok dilekatkan pada Paul. Selain sebagai manajer hotel, Paul juga bekerja mengusahakan perdamaian dengan kontak PBB di hotelnya. Dengan banyak perjuangan, pengorbanan, dan darah, Paul akhirnya berhasil membawa pengungsi yang ada di hotelnya ke garis aman. Sepanjang film kita akan melihat betapa tragisnya kejadian yang meminta korban lebih dari 1 juta orang itu. Permusuhan membuat nyawa seakan tidak ada artinya lagi. Dari berbagai kisah genosida yang terjadi di Rwanda itu, sutradara Terry George memilih cerita Paul Rusesabagina. Dengan sudut pandang seorang manajer hotel, ayah, dan teman itu, apa yang terjadi di Rwanda walau tak sepenuhnya tergambar tapi tetap mampu menyentuh hati dan membuka mata. Beberapa dialog juga bisa membuat kita malu sebagai salah satu warga dunia yang tak bisa berbuat apa-apa. Misalnya ketika seorang wartawan dengan diam-diam mengambil gambar pembantaian yang sangat sadis untuk disiarkan ke seluruh dunia Paul berterimakasih kepada wartawan tersebut. Dengan berita itu Paul berharap dunia bisa membuka mata dan mengirimkan bantuan ke Rwanda. Dengan bersimpati wartawan tersebut mengatakan, "penonton televisi memang akan menonton ini. Mereka akan mengatakan, wow keadaannya sangat mengerikan dan menyedihkan. Tapi apa? Setelah itu mereka kembali melanjutkan makan malam mereka."Begitu juga dengan petugas perdamaian yang ditempatkan PBB di hotel tersebut. Rwanda yang tak memiliki suara di dewan PBB tak akan banyak berarti dan tak begitu kuat untuk membuat negara-negara lain bergerak kecuali untuk menyelamatkan warganya masing-masing. Secara keseluruhan film ini sangat menarik untuk ditonton. Penggambaran tentang tragedi kejam yang menimpa Rwanda digambarkan dengan cara lain yang tak banyak mengumbar kekerasan tapi tetap mampu memicu emosi. Belum lagi ditambah akting prima dari Don Chaedle yang mampu membuat cerita semakin dramatis. (fta/)