Eleanor pergi. Conor menyusulnya tak lama kemudian. Dan, mereka berdua kejar-kejaran di sepanjang jalanan New York kemudian ambruk di sebuah taman. Mereka berciuman dan dikelilingi oleh kunang-kunang. Cinta dua orang manusia tidak pernah terlihat seindah itu. Kemudian layar menggelap dan kita melihat Eleanor di masa yang lain. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Sinar sepertinya sudah lama meninggalkan rongga matanya. Tak lama kemudian dia memutuskan untuk terjun dari jembatan.
Apa saja yang telah terjadi antara adegan pertama dan adegan kedua? Bagaimana emosi yang saling berlawanan tersebut bisa hadir? Ini dia alasan Anda harus menonton 'The Disappearance of Eleanor Rigby', debut penulis dan sutradara berbakat bernama Ned Benson.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
James McAvoy mungkin lebih dikenal memerankan karakter super seperti yang dilakukannya dalam 'Wanted' dan serial 'X-Men' yang terbaru. Namun ia juga berhasil membuktikan dirinya sebagai aktor yang mempunyai jangkauan luas, seperti yang pernah ia tunjukkan kepada Danny Boyle dalam 'Trance' setahun yang lalu. Atau, mengharu biru dalam 'Atonement' bersama Keira Knightley.
Keduanya tidak hanya berhasil mempersembahkan chemistry yang kuat namun juga tarik ulur yang begitu menghipnotis. Jessica Chastain sanggup memberikan betapa dia tidak bisa "move on" dari tragedi yang meluluhlantakkan galaksinya bahkan tanpa perlu berbicara. Ia berhasil memberikan aura tidak butuh simpati walaupun sebenarnya dia sedang begitu rapuh. Sementara itu James McAvoy mengimbanginya dengan perannya sebagai seorang suami yang mencoba sekuat tenaga untuk mencoba menyatukan semua potongan sisa hubungan mereka, mencoba memahami istrinya. Apapun yang dia lakukan mungkin tidak selamanya benar, tapi paling tidak dia sudah mencoba. Dan, James McAvoy berhasil menterjemahkan itu dengan baik.
Kisah asmara di tepi jurang kehancuran memang bukan tema baru. Secara tema 'The Disappearance of Eleanor Rigby' memiliki benang merah yang sama dengan bagian Brad Pitt dan Cate Blanchett dalam 'Babel' atau keputusasaan Leonardo diCaprio dan Kate Winslet dalam 'Revolutionary Road'. Yang membuat film ini berbeda adalah Ned Benson tidak perlu membuatnya over-the-top. Pengarahannya yang halus --saking halusnya sampai permasalahan utama baru bisa dirasakan setelah separuh film berjalan-- membuat film ini terasa fresh.
Yang juga patut diberikan acungan jempol adalah cara Ned Benson untuk tetap memperlihatkan bahwa kedua orang tua ini masih saling mencintai meskipun dua-duanya tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah mereka. Kita masih melihat mereka tertawa walaupun tawa yang keluar dari kerongkongan mereka terdengar begitu getir. Dengan bantuan sinematografer Christopher Blauvelt, momen-momen itu ditangkap dan ditampilkan dengan cermat.
Film ini memang dari awal dipersembahkan dalam dua versi, 'Him' dan 'Her'. Satu cerita dari dua sudut yang berbeda. Dalam film yang rilis di Indonesia ini, kita melihat versi 'Them', dimana cerita keduanya menjadi satu. Poin positifnya, kita bisa melihat sisi masing-masing dengan jelas. Poin negatifnya adalah jomplang warna antara kedua segmen mengingat Ned Benson memberikan color grading yang berbeda terhadap dua segmen. Ending-nya yang adem-ayem juga membuat film ini menjadi kurang meledak.
Tapi, meskipun begitu 'The Disappearance of Eleanor Rigby' adalah film yang direkomendasikan bagi Anda yang menginginkan tontonan alternatif tentang relationship yang lepas dari rumus baku Hollywood. Memang benar, film ini lebih depresif dari film kebanyakan. Dan, rasa itu akan tetap nyangkut dalam diri Anda bahkan sampai setelah Anda pulang ke rumah. Ketika seorang pembuat film berhasil menampilkan perasaan karakter utama sampai menghantui penonton bahkan setelah kembali ke dunia nyata, itu bukti valid bahwa film tersebut benar-benar powerful. Film ini tayang di Blitzmegaplex dan Cinemaxx.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)