Sani Tawainella (Chico Jerrico), pemuda Tulehu yang pada hari itu tengah ke kota untuk belanja kebutuhan sehari-hari, terperangkap di tengah-tengah keriuhan itu. Suasana mencekam; kobaran api di jalan-jalan, dan orang-orang berlarian sambil memangku televisi hasil jarahan. Lalu ada seorang anak kecil yang ikut terperangkap bersama Sani. Untuk sesaat Sani mampu melindunginya, namun si anak itu pada akhirnya malah berlari ke medan pertempuran. Kemudian sejumlah tentara datang, melepaskan tembakan ke udara. Begitulah, film 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku' ini dibuka. Sangat...ya, mencekam, namun juga menawan secara sinematik.
Selepas adegan tentara yang melerai perang tadi, kamera berpindah memindai wajah seorang lelaki tua hitam dalam big close up lalu perlahan-lahan menyingkap sekelilingnya. Kita melihat ia tengah berada di atas truk terbuka yang sedang berjalan bersama Sani di hadapannya, dan beberapa tentara yang bertugas menjaga mereka. Sedari awal film konsisten membingkai setiap frame adegan per adegan dalam shot-shot cantik hasil bidikan penata kamera Robie Taswin ('Sanubari Jakarta'). Alam Maluku, terlebih daerah pesisirnya, memang amatlah menggoda untuk dibidik kamera. Namun, dalam arahan sutradara Angga Dwi Sasongko ('Hari Untuk Amanda'), film ini tak cuma menawarkan keindahan alam semata, melainkan juga betapa memikatnya orang-orang yang tinggal di sana. Dan, menyaksikan kisah mereka (90% diperankan oleh orang lokal) yang dikemas dengan amat baik ini sungguhlah jadi sebuah pengalaman menonton film Indonesia paling sinematik tahun ini, paling tidak, sejauh ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada pakem tertentu yang sering diterapkan pada plot genre olahraga, diusung juga di film ini. Pakem yang secara umum diterapkan pula dalam film-film Hollywood, Bollywood, Korea, Hongkong, di mana pun. Misalnya, tokoh utama kita adalah pemain/pelatih tim underdog yang belum pernah menorehkan prestasi apa pun, dan merasa perlu untuk mengubah takdir. Pada poin tertentu, bila sang tokoh utama memiliki pacar, maka pacarnya itu adalah tipe yang suportif. Namun, bila ia sudah menikah, maka istrinya adalah orang yang paling bawel, mencegahnya untuk berhenti dan menyerah sebelum petaka memisahkan mereka berdua. Dan, tentu saja, akan ada pertandingan besar yang perlu dimenangkan di pengujung film. 'Cahaya Dari Timur' mengikuti pakem itu.
Penulis naskah Swastika Nohara ('Hari Ini Pasti Menang') bersama M. Irfan Ramli mengisahkan cerita dari negeri timur ini dengan begitu otentik, dan drama yang tercipta amatlah memikat. Swastika yang juga seorang dosen mata kuliah produksi film dokumenter di salah satu universitas di Jakarta itu tahu betul caranya membangun kisah lewat skrip terstruktur tanpa membuatnya jadi biasa-biasa saja. Dialog-dialognya mengesankan, termasuk beberapa "celetukan" yang memorable seperti, "Ose jangan parlente!" Ada juga monolog-monolog panjang yang berhasil menyulut semangat persis seperti yang kerap ada dalam film-film Hollywood, ketika sang tokoh utama "berpidato" membakar semangat para pasukannya sebelum berperang melawan alien atau monster atau apa pun musuhnya. Adegan-adegan Sani "berpidato" kepada para anak didiknya di film ini akan membuat hati Anda ikut tergetar.
Segala formula yang sudah pakem tadi diramu oleh duo penulis naskah film ini, walhasil membuat saya jadi makin menyukainya saja, sebab betapa pun klisenya formula itu ternyata malah makin menguatkan cerita. Ditambah catatan bahwa tokoh-tokoh dan kejadian di film ini yang diangkat dari kisah nyata, serta penampilan yang begitu memikat dari para aktornya, semakin menambah bobot film yang turut diproduseri oleh Glenn Fredly ini.
Chico Jerrico dalam debut layar lebarnya sebagai Sani tampil amat mengagumkan, penuh kharisma, dan ia tak nampak berusaha keras untuk menghidupkan perannya. Seakan tokoh Sani memang peran yang diciptakan khusus untuknya, tak tergantikan oleh aktor lain. Shafira Umm (debutan juga), sebagai Haspa, mampu mengimbangi Chico. Ada perasaan sayang, kesal, kecewa yang dirasakan Haspa terhadap Sani, dan berkat penampilan yang dibawakan Shafira, kita pun turut terluka manakala keduanya sedang bertikai. Lewat perannya di film ini, Chico dan Shafira jelas patut diperhitungkan sebagai pelakon masa depan.
Abdurrahman Arif ('Sang Pencerah') sebagai Josef Matulessy, Jajang C Noor yang selalu tampil baik di setiap film, bahkan Ridho 'Slank' sebagai ayah Jago, juga tampil cukup impresif beserta para pemain lokal yang berperan sebagai anak-anak Maluku yang pandai bermain sepak bola itu.
Film berdurasi 150 menit ini tak terasa membosankan sama sekali. Ketika di akhir film menyaksikan adegan adu penalti paling mendebarkan (namun juga lucu) yang pernah ada dalam film Indonesia tentang sepak bola, saya merasa tak rela ketika wasit meniup pluitnya memberi tanda pertandingan telah usai. Sebab, akan usai pula kisah film ini. Berharap ada injury time barang setengah jam lagi, ayolah, ibarat menyaksikan laga sepak bola yang seru, kita seperti tak bisa mengalihkan mata dan berhenti untuk menontonnya, bukan?
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)