'Selamat Pagi, Malam': Jakarta yang Tak Lagi Sama

'Selamat Pagi, Malam': Jakarta yang Tak Lagi Sama

- detikHot
Senin, 16 Jun 2014 13:45 WIB
Jakarta - Bayangkan, ini New York. Tapi, tidak. Naomi tak bisa membayangkan itu. Bersama Gia, ia sadar bahwa mereka tengah menyusuri jalanan di Jakarta yang di sepanjang trotoarnya meruapkan aroma nasi goreng dan indomie rebus.

Mereka lalu duduk di sebuah warung, melampiaskan kerinduan pada kebebasan untuk menikmati jajanan malam di kakilima. Hal itu rasanya merupakan sebuah kemewahan bagi Gia, yang baru saja kembali dari New York. Di Jakarta, yang dilakukannya pertama kali adalah menghubungi Naomi, kekasihnya semasa di New York dulu. Naomi telah lebih dulu kembali ke Jakarta.

Mengenang kembali masa-masa dulu, mereka menghabiskan waktu berdua, dari ngobrol di restauran mewah hingga makan indomie telur kornet di warung pinggir jalan. Inilah satu dari 3 cerita yang ditampilkan dalam film terbaru sutradara Lucky Kuswandi ('Madame X'), berjudul 'Selamat Pagi, Malam'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lucky yang sekaligus menulis skenarionya, dengan lembut dan rapi menjahit kisah Gia (dan Naomi) dengan 2 kisah perempuan lainnya, yakni Indri dan Cik Surya. Dengan problema dan petualangan masing-masing, ketiga (kisah) perempuan itu bertemu di sebuah persilangan, dan secara tak terduga bermuara pada titik yang sama.

Indri (Ina Panggabean) adalah seorang penjaga handuk di tempat fitness yang mengatasi kebosanan hidupnya dengan berkenalan dengan pria-pria lewat chatting via ponselnya. Pada suatu malam, ia pun bertemu dengan salah satu pria itu, mendapati kenyataan yang di luar bayangannya. Kencan yang gagal itu kemudian mengantarkannya pada petulangan lain di balik gelap dan gemerlap malam Jakarta.

Pada belahan lain di kota yang kosmopolit ini, penonton diajak mengikuti Cik Surya (Dayu Wijayanto) yang masih dalam masa berkabung atas kematian suaminya. Ketika membongkar-bongkar lemari sang suami, ia menemukan sebuah jejak yang membuatnya sedih; ternyata sang suami punya perempuan lain, seorang penyanyi bar (diperankan Dira Sugandi). Malam itu juga, Cik Surya bertekad untuk melakukan semacam "napak tilas" untuk melacak jejak perselingkuhan sang suami.

Pertemuan kembali Gia (Adinia Wirasti) dengan Naomi (Marissa Anita), kencan buta Indri yang berakhir mengecewakan, dan sakit hati Cik Surya yang mendorongnya untuk mencari penyanyi bar selingkuhan suaminya pada dasarnya adalah kisah-kisah yang sederhana saja. Namun, Lucky Kuswandi berhasil menjadikannya sebuah mozaik yang mampu memberikan kedalaman. Film ini menguak ada apa dan apa yang ada di balik malam Jakarta melalui sosok-sosok yang tak terbayangkan, namun ternyata efektif untuk mengemban tugasnya.

Indri si penjaga handuk barangkali merupakan sosok yang akrab bagi sebagian kalangan kelas menengah Jakarta yang rajin nge-gym. Namun, siapa sangka, di balik profesinya yang mungkin dipandang sebelah mata itu, dan dengan kepolosannya, ia mampu menyingkap selubung kemunafikan di sekitar kita. Adegan kencan Indri dengan pria bernama Davit (pakai t, diperankan Paul Agusta), yang berlanjut pada perkenalannya dengan pria lain, Faisal (Trisa Teandesa) sungguh kocak, sekaligus pedih, haru dan menegangkan.

Gia dan Naomi, mantan pasangan kekasih yang berusaha membangkitkan kenangan akan New York, mengantarkan kita pada romansa Jakarta masa kini yang penuh dinamika. Dialog-dialog mereka ringan, segar, aktual, menyentil sana-sini, dan menjadi kendaraan bagi film ini untuk melontarkan semacam kritik sosial, tanpa menghakimi maupun berkotbah menggurui, namun dengan kenyinyiran yang lucu.

Lalu Cik Surya, perempuan setengah baya yang mendadak seperti menantang dirinya untuk sebuah petualangan baru penuh gairah sekaligus amarah, melengkapi film ini dengan sebuah misteri. Selain memberi sentuhan humor satir bagi film ini, sesi Cik Surya menjadi salah satu pencuri perhatian. Kita terus saja dibuatnya penasaran: apa yang sebenarnya ingin dilakukannya? Sekedar mencari si penyanyi bar selingkuhan suaminya, atau melancarkan sebuah dendam dengan melakukan apa yang dilakukan suaminya?

Sudah banyak film yang menelusuri susut-sudut gelap Jakarta; 'Eliana, Eliana' (Riri Riza, 2002 ), 'Lovely Man' (Teddy Soeriaatmadja, 2011 ) hingga 'Cinta di Saku Celana' (Fajar Nugros, 2012 ). Tapi, apa yang dilakukan Lucky Kuswandi tetap mengejutkan; ia menelusuri celah-celah yang belum pernah kita lihat dan membuat kita terperangah.

Warung indomie kornet, klab dangdut murahan, kamar hotel jam-jaman, tempat jajan kakilima, hingga restauran ala Barat dengan menu-menu yang rumit menjadi panggung eksplorasi Lucky untuk memotret manusia-manusia Jakarta yang mengejar mimpi-mimpi mereka, letih dan nyaris putus asa. Manusia-manusia itu diwakili oleh 3 perempuan, dengan orang-orang di sekitarnya, atau yang dijumpainya. Dan, semua aktor memainkan karakter masing-masing dengan cemerlang.

Tak hanya dari sisi para aktor, film ini cemerlang di semua lini: gambar-gambar yang detail, subtil dan indah; mood yang terjaga, musik dan lagu soundtrack yang menyatu dan memberi jiwa. Semua itu mengantarkan pada ending yang berdaya kejut mencekam, menghempaskan penonton dalam perenungan sesaat sebelum akhirnya sadar, film telah berakhir, dan ketika keluar gedung bioskop, kita akan menatap Jakarta dengan cara yang tak sama lagi.

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads