Di kehidupan nyata, Chelsy Liven mungkin saja sudah dikenal sebagai Miss Earth Indonesia 2012, dan kecantikannya tentu sudah tak perlu disangsikan lagi. Namun, tokoh yang diperankannya dalam film ini tentulah perlu diberi sedikit highlight, alasan yang dapat menggerakkan dua tokoh lawan mainnya tertarik terhadapnya. Celakanya, hal tersebut tak dilakukan oleh si pembuat cerita, Diad Ote, dan oleh sebab itu, kita sebagai penonton, jangankan memiliki kedekatan emosi dengannya, untuk merasa peduli saja terhadap nasibnya rasanya mustahil.
Lalu, kita digiring menjadi saksi lika-liku kisah cinta antara Gading dan Bintang. Gading yang begitu bersahaja akhirnya berpacaran dengan Bintang. Hingga pada satu ketika, Bintang diundang ke sebuah pesta di rumah temannya. Di sana mereka mabuk-mabukan, dan Bintang berakhir ditiduri oleh teman ceweknya. Kaget menyadari dirinya tak berpakaian lengkap di atas ranjang bersama cewek di sampingnya, Bintang segera saja lari terbirit-birit. Keimanan dan akidahnya seakan hancur seketika, dan ia pun merasa sangat berdosa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasihan Bintang! Ia pun kemudian pergi jauh meninggalkan Gading. Ia menyendiri, menyepi ke sebuah pulau terpencil. Gading sakit-sakitan karena ditinggalkan, lalu Bara kembali masuk ke kehidupannya. Dan, ada bundanya (diperankan oleh Christine Hakim) yang setia menguatkan hatinya.
Sampai di situ saja, Anda mungkin sudah lelah mendengar cerita film ini saya ceritakan. Padahal itu baru separuhnya saja; saya belum bercerita soal Bintang yang bertemu dengan "pertapa bijaksana", belum lagi cerita tentang Gading dan Bara yang kemudian dekat kembali, juga cerita-cerita lainnya yang akan sangat membosankan bila saya beberkan di sini. Padahal premis film ini sebenarnya sederhana sekali: Gading pacaran dengan Bintang, putus; Gading menikah dengan Bara, cerai. Gading dan Bintang akhirnya bersama kembali menjadi pasangan yang sakinah mawaddah warohmah.
Diad Ote, si penulis naskah, kelewat payah bercerita. Ia menciptakan tokoh-tokohnya tanpa dimensi, plot cerita tanpa nalar, dialog-dialog bodoh tanpa isi, dan juga aspek-aspek lain yang sulit dimengerti akal sehat. Itu semua lalu diperparah oleh arahan Bayu Pamungkas, sebagai sutradara debutan; film ini tak menunjukkan bakatnya sama sekali.
Ketiga aktor utama film ini: Chelsy, Amar dan Detri, juga tak mampu berbuat banyak sebagai aktor debutan --mereka berakting sekaku kain kanebo yang kering diterpa panas. Saat Chelsy menangis, tak ada air mata dan emosi. Saat Amar dan Detri dirudung amarah, hanya ada teriakan dan tatapan kosong. Akting para pesinetron bahkan jauh lebih baik dari mereka. Dan, untuk memahami alasan keterlibatan seorang aktris sehebat Christine Hakim di film ini sungguhlah sebuah misteri ilahi, mengingat naskah film ini tak menawarkan apa-apa.
Seperti tokoh-tokoh di film ini yang sering mengucap salam dan hamdalah, di akhir ulasan ini saya pun ingin rasanya mengucap istighfar. Astaghfirullah al'adzim! Bak tak ada gading yang tak retak, film ini memiliki keretakannya sendiri, dan retaknya begitu banyak hingga hampir membuatnya hancur berkeping-keping. Insya Allah, semoga ini jadi kritik yang bermanfaat --bila tidak untuk saat ini, mungkin untuk di akhirat kelak. Wallahualam bishawab.
Shandy Gasella (@shandygasella) pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)











































