'Tampan Tailor': Drama Ayah-Anak yang Melelehkan Hati

'Tampan Tailor': Drama Ayah-Anak yang Melelehkan Hati

- detikHot
Senin, 01 Apr 2013 14:39 WIB
Jakarta - Lelaki bersetelan jas itu berdiri di tepian atap sebuah gedung. Awalnya kita tak tahu siapa dia, karena yang tampak hanya bagian belakang tubuhnya saja. Kemudian lelaki itu bernarasi sekelumit ihwal hidupnya. Hanya lewat suaranya, tanpa diperlihatkan wajahnya pun penonton setia film Indonesia pastilah tahu bahwa tokoh lelaki itu diperankan oleh Vino G. Bastian, aktor bersuara khas yang tak ada duanya.

Ia melompat dari atap gedung, dan penonton dibuat bertanya-tanya: apa yang terjadi dengannya?

Lelaki itu bernama Topan, ia baru saja kehilangan separuh hidupnya, ditinggal mati oleh istrinya. Keadaan menjadi sangat menyulitkan baginya tatkala ia pun harus kehilangan kios jahit 'Tampan Tailor', usaha yang dibangun bersama Tami, mendiang istrinya. Kini tak ada rumah yang dapat ditinggali, Topan pun harus menjaga anak semata wayangnya, Bintang (Jefan Nathanio). Adegan di depan kios jahitnya saat plang nama 'Tampan Tailor' itu dicopot, dibingkai dengan manis sekali: wideshot -- terlihat kios jahit itu berada satu gedung dengan bioskop tua, di bagian paling atas gedung itu terdapat dua buah poster film yang menggantung, 'China Girl' dan 'Gairah Malam'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semoga bukan tanpa alasan set adegan itu dibuat demikian, melainkan memang treatment dari Guntur Soeharjanto selaku sutradara yang menunjukkan cintanya terhadap dunia sinema.

Tak tahu harus ke mana, Topan kemudian menumpang sementara di rumah petak milik sepupunya, Darman (Ringgo Agus Rahman). Sehari-hari Darman bekerja sebagai calo tiket kereta api di sekitaran stasiun. Topan pun memutuskan untuk sementara waktu ikut menjadi calo demi menyambung hidup sambil masih menyempatkan diri mengantar dan menjemput Bintang di sekolah.

Menjadi calo tiket di stasiun membawanya mengenal Prita (Marsha Timothy), pemilik kios fotokopi sekaligus tempat penitipan anak. Bintang senang sekali mengunjungi kios itu demi melihat ikan-ikan dalam akuarium kecil yang ada di sana. Lewat Prita pula akhirnya Topan kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai penjahit jas di sebuah perusahaan konveksi milik relasinya.

Banyak yang menyebut 'The Pursuit of Happyness' (Gabriele Muccino, 2006) sebagai inspirasi dari kisah 'Tampan Tailor'. Konon sang produser sendiri pun mengakui hal itu. Hubungan ayah-anak memang menjadi sentral cerita dan jantung film ini. Namun begitu, sedikit banyak plotnya juga mengingatkan kepada 'CJ7' garapan Stephen Chow.

Topan yang menjadi kuli bangunan, beberapa potong adegan para kuli yang bekerja di proyek, dan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar mau tak mau membangkitkan ingatan terhadap film Hongkong yang menjadi hits pada 2008 itu. Dan, memang hanya di beberapa adegan itu saja, karena dibandingan dengan film manapun yang menginspirasinya, 'Tampan Tailor' secara keseluruhan ternyata mampu untuk tampil segar dan orisinal.

Hubungan ayah-anak itu ditampilkan dengan gemilang oleh Vino G. Bastian dan Jefan Nathanio. Mereka mampu berbagi emosi dengan pas. Pada satu adegan, Topan dibuat marah karena mengetahui Bintang berkelahi, melukai salah satu anak Darman. Topan dengan raut muka kesalnya memukul pantat Bintang sambil memaksanya untuk meminta maaf. Belakangan diketahui bahwa Bintang berkelahi karena topeng Batman hadiah dari ayahnya telah dirusak. Kecewa, Bintang lari meninggalkan rumah sambil terisak, dan Topan mengejarnya. Adegan itu haru dan mampu mengaduk emosi penonton.

Pun begitu, tampaknya sang sutradara kurang pede, alih-alih menampilkan adegan itu begitu saja, ia merasa perlu untuk menambah ilustrasi musik tipikal mengharu biru demi memancing emosi penonton. Sialnya, musik latarnya tak cukup baik sebagai pendukung dan gagal menjadikannya sebagai sebuah paket adegan yang solid. Vino dan Jefan memainkan perannya masing-masing dengan baik sekali, sehingga adegan saat mereka berpelukan sebagai tanda resolusi dari konflik kecil yang baru saja mereka alami akan sangat pas bila ditampilkan tanpa iringan musik latar, tak perlu menjadi tipikal.

Departemen ilustrasi musik di tangan Tya Sulestyawati Subiakto ('Obama Anak Menteng', 'Hafalan Shalat Delisa') adalah yang paling lemah, timpang sekali dengan capaian sinematis lainnya di film ini.

Segala rintangan yang menghadang Topan tampil sebagai konflik tanpa terasa mengada-ada. Film ini pun diselipi satu-dua kritik sosial dengan cukup menggelitik. Simak adegan ketika Topan memungut plang nama 'Tampan Tailor' yang sebelumnya telah dibuangnya. Ia berkata, "Papan ini bersejarah, Man". Maka, Darman pun menukas, "Sejarah! Monas tuh sejarah. Munir tuh sejarah!". Adegan yang sederhana itu berhasil merekam secuil situasi negeri, dan si pembuat cerita (Alim Sudio dan Cassandra Massardi) cukup cekatan menyelipkan beberapa komentar sosialnya dengan baik tanpa terkesan maksa.

Duo penulis itu berhasil menyusun cerita dengan asik, naskahnya begitu membumi dan cukup bernas, kualitas yang hampir selalu absen dari kebanyakan film nasional kita.

Kehadiran Marsha Timothy sebagai Prita tak hanya sebagai tempelan belaka, tapi juga berhasil memberi nilai rasa lebih terhadap keseluruhan plot. Adegan di paruh akhir film, saat Topan mencoba merayu Prita dengan dibantu oleh Bintang, tak hanya mampu mengocok perut, tapi juga terasa begitu manis dan melelehkan hati.

'Tampan Tailor' adalah sebuah feel good drama movie yang jarang sekali kita dapatkan dari sineas Tanah Air belakangan ini. Sebuah film yang tentu saja terlahir dari seorang good filmmaker. Ya, ini adalah sebuah lompatan yang jauh dari Guntur Soeharjanto dibandingkan dengan sejumlah film besutannya terdahulu. Dan semoga saja ia tak akan jatuh di masa mendatang, melainkan terus melompat lebih jauh lagi.


Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads