'Hafalan Shalat Delisa': Membonceng Tragedi Tanpa Simpati

'Hafalan Shalat Delisa': Membonceng Tragedi Tanpa Simpati

- detikHot
Rabu, 28 Des 2011 17:02 WIB
Jakarta - "Delisa cinta Ummi karena Allah," bisik bocah perempuan yang menyebut dirinya Delisa itu kepada sang ibu. Perempuan yang dipanggil ummi itu pun meneteskan airmata. Lalu mereka berpelukan. Saudara-saudara Delisa pun satu per satu menghambur dalam pelukan itu.

Mereka semua masih mengenakan mukena. Mereka habis salat berjamaah. Begitulah gambaran sehari-hari keluarga Delisa. Ini tanggal 24 Desember 2004, dan ini Lhok Nga, Aceh. Artinya, dua hari lagi bencana alam mahadahsyat tsunami yang meluluhlantakkan kehidupan datang. Kita tahu itu, dan menyiapkan segenap emosi untuk menghadapi, apa yang akan terjadi pada bocah-bocah polos itu.

Film ini diangkat dari novel berjudul sama karya penulis bernama Tere Liye. Sutradara Sony Gaokasak mengerjakannya berdasarkan skrip yang ditulis Armantono. Delisa (Chantiq Schagerl) tinggal di sebuah rumah panggung tepi pantai. Hari-harinya diisi dengan bermain bola bersama anak-anak cowok, dan bercengkerama dengan ibu, yang dipanggilnya ummi (Nirina Zubir) dan tiga kakaknya yang semuanya perempuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oh ya, ayah Delisa, yang dipanggil abi oleh semuanya (diperankan Reza Rahadian) bekerja di luar negeri, di kapal tanker perusahaan minyak internasional. Pada bagian awal, sang ayah diperkenalkan lewat adegan menelepon ke rumah. Di sela-sela itu, kita menyaksikan Delisa tengah berusaha menghafal bacaan salat untuk ujian dua hari lagi.

Kita juga menyaksikan, ummi mengajak Delisa ke pasar untuk membeli kalung. Itu akan menjadi hadiah buat Delisa kalau nanti lulus ujian salat. Lalu, tibalah hari yang ditunggu itu. Dan, kita sudah tahu apa yang akan terjadi. Ketika tiba giliran Delisa, air bah datang. Lalu, desa tingal puing dan mayat-mayat yang terbawa ombak ke tebing.

Siapa yang selamat? Kita diberi tahu lewat adegan yang simbolik, yang menggambarkan semacam "kontak batin" antara Delisa, tokoh kita, dengan saudara-saudaranya. Simbol itu berupa sebuah pintu gerbang, yang mudah diartikan sebagai jalan menuju surga. Kakak-kakak Delisa pamit pergi, menuju ke cahaya di balik gerbang megah itu, tapi Delisa tidak diajak.

Lalu, dalam alur yang tangkas, semuanya terjadi. Kabar itu sampai ke Abi, dan juga dunia internasional. Abi pulang ke Aceh. Tentara Amerika dan sukarelawan Palang Merah Internasional datang. Mayat-mayat dievakuasi. Delisa terbangun di sebuah rumah sakit darurat, dengan dua orang bule merawatnya dengan penuh kasih.

Lalu kehidupan berjalan lagi. Tak ada yang berubah pada Delisa. Dengan satu kaki yang telah hilang, ia tetaplah seorang bocah perempuan yang dengan lantang nantangin anak-anak cowok untuk bermain bola. Kiranya, itulah pesan moral film ini. Optimisme. Tak pantang menyerah. Sebab, seperti telah difirmankan: setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan.

Menggunakan peristiwa bencana sebagai pintu masuk untuk menyampaikan pesan-pesan religi memang cara yang ampuh untuk menasihati, lebih-lebih dalam konteks masyarakat Indonesia yang taat beribadah ini. Namun, justru di situ pulalah masalahnya. Sampai di situ menjadi jelas bahwa segala tragedi yang mengharu-biru di bagian depan tadi hanyalah "kendaraan", bukanlah tujuan dari film ini sendiri.

Semua itu menjawab, mengapa dari awal film ini tidak membangun emosi dengan "benar". Kita disuguhi adegan bocah-bocah perempuan yang tak henti-hentinya ngobrol, membahas dan mempertengkarkan apa saja. Tentu, maksud pembuat film ini adalah menyajikan penokohan anak-anak yang cerdas. Namun, jatuhnya justru membuat kita capek, bahkan sampai taraf tertentu bosan, jengah dan begah.

Kita jadi tidak peduli dengan apapun yang mereka bicarakan, karena memang tak ada habis-habisnya. Film sebagai bahasa gambar benar-benar dirampok oleh air bah dialog yang tak perlu. Lihatlah, bahkan dalam kesakitannya setelah bencana itu, Delisa tetaplah bocah perempuan yang tak henti-hentinya ngomong, mempertanyakan apa saja. Dan, lagi-lagi, kalau maksudnya untuk menekankan bahwa dia anak yang cerdas, efeknya justru sebaliknya.

Pada akhirnya, film ini memang hanya ingin menekankan pesan. Tak hanya soal "pantang menyerah", tapi pesan moral lain kemudian juga ditelusupkan: Delisa sadar bahwa menghafal bacaan salat demi hadiah kalung itu tidak benar. Yang benar: harus ikhlas karena Allah. Tragedi hanya diboncengi. Maka jangan heran jika banyak detail yang mendasar dan esensial dibaikan: tak ada aksen Aceh sedikit pun, dan pasca-bencana baju-baju Delisa tetaplah berkilauan penuh warna.

Bila masalahnya hanyalah seorang anak yang punya pamrih hadiah untuk setiap ibadah yang dilakukannya, di mana kita mesti menaruh simpati, pada bencana besar yang ditampilkan sebagai 'sampiran'? Kita mungkin akan bisa tersentuh bahkan menangis pada salah satu adegan, tapi itu bukan karena emosi kita terbangun dari awal, melainkan karena akting Reza Rahadian yang selalu cemerlang.
(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads