Padahal, Oh Wonder merupakan grup yang terbentuk tanpa sengaja, tapi musik mereka merepresentasikan kedekatan yang personal. Baik antar personil, maupun dengan pendengar musiknya.
Duo yang terdiri dari Josephine Vander Gucht dan Anthony West ini baru saja menghabiskan setahun penuh untuk tour kililing dunia, setelah merilis debut album mereka di akhir tahun 2015 (meski saya lebih senang menjulukinya "kompilasi lagu-lagu alt-pop yang dipaksa dibuat setiap bulannya").
Tahun ini, Oh Wonder akhirnya merilis album betulan yang diberi judul 'Ultralife', sambil bertekad untuk menjauh dari sampel MIDI, suara-suara digital dan memanfaatkan lebih banyak intrumental yang lebih nyata. Tekad ini muncul akibat pertunjukkan live yang tak terhitung jumlahnya yang telah mereka lewati setahun belakangan.
Jadi jangan heran jika Ultralife berisikan serentetan kegembiraan, euforia, dan self-conciousness; yang sebagian besar mereka selesaikan di sebuah rumah sewaan AirBnB di New York, dengan suara bus sebagai background sehari-hari. Hasilnya? Manifesto alt-pop modern ramah telinga, tanpa membuatnya terdengar seperti sampah radio.
Dalam album ini, mereka banyak merenungkan sifat nyata hubungan antar-manusia; terdengar istimewa, terutama jika bicara mengenai dunia tempat kita hidup sebagai manusia-manusia yang lebih banyak menghabiskan waktu berinteraksi dengan smartphone ketimbang sesama.
Contohnya, lagu berjudul 'High on Humans' dibuat setelah Josephine berbincang seru dengan orang asing tentang saus. Banyak baris lirik yang terdengar catchy untuk ditangkap dari album ini.
Pembuka 'Solo' menggunakan istilah "freedom in the mono" dalam menggambarkan ruang sendiri bagi seorang individu. Josephine dan Anthony juga menuliskan baris "Lovesick the beat inside my head", di single 'Ultralife saat mendeskripsikan perasaan yang muncul ketika Anda menemukan seseorang yang membuat hidup terasa "ultra".
Yang terdengar anomali hanyalah, single kedua 'Lifetimes' yang malah berbicara banyak tentang perubahan iklim. Anthony juga melakukan sedikit rap (yang menurut saya cukup buruk) gara-gara terinspirasi dari album Malibu milik Anderson Paak. Selain Anderson Paak, mereka juga membuat 'Waste' yang mirip eksperimen setelah mendengar Bon Iver di album terakhirnya, 22, A Million (2016).
Tapi pada dasarnya Ultralife bukanlah album yang buruk. Bahkan harus diakui lebih bagus dibandingkan debutnya. Alih-alih mengajarkan bagaimana seorang manusia menjalani kehidupannya, Oh Wonder seakan mengajak kita untuk sejenak merenungkan tentang makna dari pengalaman dan interaksi yang tercipta dari hubungan manusia yang paling dasar.
* Rendy Tsu (@rendytsu) saat ini bekerja sebagai Social Media & Content Strategist. Selain aktif sebagai penulis lepas, ia juga pernah menjadi Music Publicist di salah satu perusahaan rekaman terbesar di Indonesia. (/)