Musisi blues Adrian Adioetomo mengeluarkan single anyar bertajuk Burning Blood, Cold Cold Ground. Lagu itu sekaligus menjadi pembuka dari album keempatnya yang ia biarkan tanpa judul.
Nyaris seluruh instrumen dalam aransemen lagu itu, kecuali harmonika, dimainkan sendiri oleh Adrian Adioetomo. Dalam Burning Blood, Cold Cold Ground, dia juga mencoba mengeksplorasi warna lain dari musiknya meski tetap berpegang pada delta-blues sebagai akarnya.
"Orang kan biasanya expect gue untuk main delta-blues, sendirian, pakai gitar, gitar saja. Sebetulnya gue tertarik sama musik itu justru karena faktor ekspresinya. Buat gue, harusnya gue bisa mengutarakan spirit yang sama dengan cara apa pun," ujar Adrian dalam konferensi pers virtual, Rabu (24/2/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Adrian Adioetomo, meskipun dia melakukan eksplorasi terhadap warna bermusiknya, dia tetap mengusung semangat yang sama dengan yang selama ini dia pegang.
Dia menjelaskan, "Di single ini makanya gue kembangkan dengan instrumen, selain gue ingin agak berpetualang dari standard delta-blues itu, gue ingin tetap membawa spiritnya juga. Gue jadinya kayak ngambil estetika atau ada bumbu-bumbu Americana yang mana country tapi nggak country."
Burning Blood, Cold Cold Ground adalah lagu yang berbicara mengenai rasa murka dan cemburu. Namun, Adrian mengatakan lagunya tidak deskriptif menggambarkan sebuah cerita atau kejadian.
Menurutnya, Burning Blood, Cold Cold Ground adalah hasil perenungan diri mengenai apa itu rasa marah dan cemburu serta bagaimana dirinya memaknai perasaan tersebut.
"Ini sebenarnya ceritanya kalau bahasa dangdutnya terbakar api cemburu. Gue nggak bicara soal kejadiannya sendiri, ini lebih banyak dramatisasi dari pikirannya saja, kecemburuan itu apa sih? Nggak membicarakan tentang ceritanya tapi membicarakan apa sih kecemburuan itu," tuturnya.
"Gue sendiri kalau bikin sebuah lagu nggak pernah bercerita apa kejadinnya itu. Gue lebih banyak ngebahas,kalau single ini tetang kecemburuan, gue menggambarkan kecemburuannya tapi tidak kejadinnya. Personal tapi lebih ke kontemplasi sih daripada curhat," sambung dia.
Lagu-lagu dalam album keempatnya ditulis sudah cukup lama. Adrian Adioetomo menyimpannya selama kurang lebih empat tahun. Namun, dirinya baru merampungkan album tersebut dalam waktu dekat ini.
"Album ini ditulis sudah lama jauh sebelum pandemi. Pengerjaannya pun sudah lama, ditulis empat tahun lalu. Cuman berhubung banyak hal, belum sempat (menyelesaijan) justru baru sempat sekarang dirilis. Dalam rentang tahun itu, justru banyak kejadian yang membuat mempengaruhi mixing-nya, penulisannya segala macam," kisah Adrian.
Mengenai albumnya yang ia rilis tanpa ia beri judul, Adrian menjawab, "Album Led Zeppelin yang keempat juga sebetulnya nggak ada judulnya, Metallica yang hitam juga nggak ada judulnya juga, The Beatles yang white album juga nggak ada judulnya."
"Awalnya karena memang gue bingung aja judulnya apa. Akhirnya gue putusin untuk tidak pakai judul saja," kata dia lagi.
Album keempat milik Adrian Adioetomo belum akan dirilis dalam layanan musik digital. Hal tersebut tampaknya menjadi salah satu caranya untuk menunjukan idealismenya sekaligus semangat yang dia coba usung.
"Justru gue belum mau merilis ini secara digital kecuali di aplikasinya Demajors. Karena gue belum nemu platform digital yang sesuai. Hampir semua platform digital masih agak kurang pas saja, belum dapat yang pas benar," ungkap dia.
Akan tetapi, cakram padat dari albumnya bisa dibeli dengan harga Rp 35 Ribu. Nantinya, pemilik rilisan fisik dari album Adrian Adioetomo dapat mendengarkan lagu-lagu tersebut dengan kode khusus melalui aplikasi Demajors
(srs/aay)