Ia menambahkan, "Syaratnya ada pekerjaan, ada bayaran dan ada instruksinya. Kemudian ada hubungan kerja, seharusnya ada kontrak."
Kadri menyayangkan, masih ada penyelenggara musik dan musisi yang tidak menyadari pentingnya kontrak kerja. Musisi memang dibayar dengan besaran honorarium yang disepakati, akan tetapi tidak diikuti dengan kejelasan kontrak hingga asuransi sebagai hak musisi sebagai pekerja.
"Kalau mau melegalisasi musisi sebagai tenaga kerja, maka harus dilihat, musisi apa kerjanya dan siapa pemberi kerja. Kalau sudah jadi pekerja, maka seluruh user yang menggunakan jasa musisi ini harus terikat kontrak, ada BPJS dan segala macam," jelas Kadri lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, tidak semua pemberi kerja memiliki kemampuan yang memadai untuk memenuhi syarat yang diajukan apabila pemusik dihitung sebagai tenaga kerja sebagaimana yang ada di dalam undang-undang.
Musisi Candra Darusman yang juga bekerja di World Intellectual Property Organization mengungkapkan, "Di Indonesia sudah dilakukan upaya untuk serikat (musisi) dan kandas. Setiap kali kandas, muncul lagi upaya untuk membuat baru."
"Akhirnya pertanyaannya bukan lagi apakah kita (musisi) perlu serikat, tapi bagaimana caranya membuat serikat yang baik," sambungnya. (srs/wes)