Perubahan yang terbilang drastis terjadi di era digital kedua. Orang-orang tidak lagi membeli musik, mereka membeli akses untuk mendengarkan musik lewat aplikasi pemutar musik berlangganan.
"Sekarang kita tidak download lagi, kita subscribe. Untuk bisa mendengarkan musik, kita tidak perlu beli musik tapi kita beli aksesnya," jelas Irfan.
Untuk menghadapi tantangan dari perubahan zaman yang ia jelaskan itu, menurut Irfan ada cara-cara yang bisa dilakukan, misalnya melalui regulasi, dengan membuat peraturan dan kebijakan yang terkini yang menyentuh ranah hak cipta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya melalui infrastruktur, yakni dibuatnya pusat data terintegrasi mengenai musik dan sistem monitor musik, kedua hal itu yang dicoba dikembangkan melalui proyek Porto Mento tersebut.
Dalam diskusi tersebut, Irfan memaparkan data bahwa pada 2017, ada 143 juta pengguna internet dari 267 juta populasi di Indonesia. Dari jumlah itu, 71,1% adalah pendengar musik. Angka itu diprediksi naik menjadi 85% pada tahun ini.
Artinya, potensi ekonomi kreatif dalam bidang musik sangat lah besar. Bahkan Irfan menyebutkan potensi pasarnya dapat mencapai USD 1 Miliar hanya untung layanan pemutar musik berlangganan saja.
"Jadi kalau mau maju, ya memang harus membenahi tata kelolanya, negara yang maju adalah negara yang bisa menghargai hak kekayaan intelektual," kata Irfan.
Ketika ditanyai kapan proyek Porto Mento itu akan rampung, Irfan mengatakan, saat ini tengah masuk ke dalam tahap reverse engineering. Ia menjelaskan, pengerjaannya akan lama dan bukanlah proyek yang bisa rampung dalam sekejap mata.
"Ini kan lintas kementrian dan lembaga, nanti akan dibuat lagi (tim yang berfokus pada Porto Mento). Kami berharap dengan lahirnya UU Ekraf akan mendorong pengerjaannya karena landasannya jadi lebih kuat," ujarnya.