Film dokumenter “Jalanan besutan sutradara Daniel Ziv diputar di Washington DC, Amerika Serikat. Penonton memberikan sambutan antusias untuk film yang berkisah mengenai lika-liku kehidupan anak jalanan di Jakarta tersebut.
Pemutaran film yang diselenggarakan oleh Rumah Indonesia dan didukung oleh KBRI Washington DC itu dilangsungkan di Bethesda Row Cinema, Kamis (9/4/2015). Sang sutradara, Daniel Ziv, hadir dari Indonesia dan berdiskusi dengan penonton yang berjumlah sekitar 200 orang.
Film Jalanan mengurai kehidupan tiga pengamen di Jakarta bernama Boni, Ho, dan Titi. Masing-masing dari mereka memiliki kisah tersendiri. Boni adalah seorang pemuda yang telah sepuluh tahun tinggal di kolong jembatan dan punya mimpi untuk bisa tinggal di gedung semewah hotel Hyatt. Ho adalah pemuda yang pernah jatuh cinta pada seorang perempuan tapi akhirnya ditinggalkan oleh si dia yang dicintainya. Titi adalah janda beranak tiga yang tidak pernah lulus SMA dan harus mengarungi kerasnya kehidupan ibu kota demi mencari uang untuk anak-anak dan kedua orang tuanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sela kisah yang kadang lucu tapi sekaligus mengharukan itu terselip kritik sosial yang kerap kali menyimpan ironi. Misalnya, Titi mengaku senang membawakan lagu-lagu reliji karena dengan begitu dia menerima lebih banyak uang dari pengendara bus. Perempuan-perempuan berjilbab yang biasanya jarang memberi uang untuk lagu-lagu non-reliji, menjadi lebih pemurah jika dia membawakan lagu reliji. Suatu ketika bahkan ada penonton yang memberi Rp100 ribu untuk lagu yang dia bawakan. Ketika bertemu di lain waktu, perempuan itu meminta lagu yang sama, dan kembali memberi Titi Rp100 ribu.
Hal yang mencengangkan dari kisah ketiganya adalah bahwa perkembangan cerita kehidupan mereka terjadi begitu saja tanpa rekayasa. Daniel Ziv menghabiskan waktu tujuh tahun untuk merekam pernak-pernik dalam kisah mengharukan mereka dengan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
“Saya datang kepada mereka dan menjadi bagian dari mereka. Saya tidak datang dengan kru dan kamera-kamera besar. Bagi saya, penting untuk memastikan dari awal bahwa mereka merasa terlibat dengan film ini. Oleh karena itu saya tidak menggunakan suara saya untuk narasi film, tapi suara mereka sendiri,” kata Daniel.
Menurut Daniel, selama ini film-film mengenai kaum marjinal menggambarkan mereka sebagai korban. Jalanan lain karena menjadikan mereka sebagai tokoh utama yang menentukan jalannya cerita.
“Untuk pertama kalinya kalangan pengamen dan kaum marjinal kota menyaksikan diri mereka dalam film layar lebar, tidak sebagai korban atau obyek, tapi sebagai protagonis dan pahlawan. Dan itu mengubah dinamika media di Indonesia, yang biasanya isinya diproduksi oleh orang kaya dan mengenai orang kaya tapi dikonsumsi oleh orang miskin,” ucap pria asal Kanada yang telah lama tinggal di Indonesia ini.
Dari sekitar 200 penonton, banyak di antaranya yang merupakan warga Amerika. Chris Crow misalnya. Mahasiswa School of Advanced International Studies (SAIS) Johns Hopkins University ini mengaku terkesan dengan film tersebut.
“Film Jalanan merupakan penggambaran yang cantik dan otentik mengenai kehidupana berjuta rakyat miskin di Jakarta. Sangat mengesankan mendengar bagaimana Mr. Ziv menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan gambar dan menjadi bagian dari kehidupan para pemeran utama. Saya harap Mr. Ziv dapat terus membuat film-film berkualitas mengenai kehidupan di Indonesia,” kata Chris.
Komentar senada disampaikan oleh penonton yang merupakan warga Indonesia di Washington DC, Mukti Setianto. Menurutnya, film itu memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan film-film dokumentar lain yang pernah dia tonton.
“Sangat jarang film dokumentar bisa diramu dengan sangat musikal dan menghibur dengan durasi yang relatif panjang namun tidak membosankan. Film ini sifatnya self-critique bagi Indonesia, khususnya Jakarta, namun dikemas dengan tiga karakter yang sangat mudah dicintai dan konten yang politis namun membangun, seperti anti-korupsi, perlakuan terhadap kaum marjinal, dan juga pendidikan,” ucapnya.
Debbie Sumual-Patlis dari Rumah Indonesia mengatakan bahwa pemutaran film tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan pesan yang terkandung di dalam film di kalangan masyarakat Washington DC. “Kita mau berbagi pesan dari film ini ke masyarakat di Washington DC, baik orang Indonesia maupun publik Amerika. Film Jalanan telah mengangkat harkat masyarakat miskin yang termarjinal, dan orang perlu melihat film ini,” kata Debbie.
(kmb/kmb)