Di Indonesia sendiri ketenaran ‘Dragon Ball’ juga tak perlu disangsikan lagi. Serial animasi ini tayang di salah satu televisi swasta nasional sejak pertengahan 1990-an, dan bahkan hingga kini masih tetap tayang reguler saban Minggu. Saya termasuk generasi yang tumbuh dengan membaca komik dan setia menonton tayangannya. Dua tahun lalu saya cukup terpuaskan ketika film animasi layar lebar ‘Dragon Ball Z: Battle of Gods’ dirilis, dan tentu saja kedatangan jilid penerusnya, ‘Resurrection F’ ini amat saya nanti-nantikan.
Cerita film ‘Dragon Ball Z: Resurrection F’ berlatar beberapa tahun selang peristiwa dalam ‘Battle of Gods’. Di awal film kita melihat sosok yang sudah tak asing bagi para fans, Frieza; tubuhnya kecil sekali, tergantung di sebuah dahan pohon bak kepompong ulat. Lalu muncul sekawanan makhluk kecil bak boneka-boneka sirkus berwujud seperti aneka rupa binatang, bermain musik dan bernyanyi riang gembira. Pada titik ini saya merasa ada yang ganjil, semacam ada hal yang tak beres di film ini. Lantas cerita bergulir mengisahkan si Sorbet, jenderal pasukan Frieza yang sekonyong-konyong berhasil mengumpulkan tujuh bola naga di Bumi demi memanggil Shenlong, sang naga yang mampu mengabulkan permintaan apa pun dari siapa pun yang memanggilnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film berdurasi 93 menit ini nyaris tak memiliki cerita lain lagi selain yang saya sebutkan tadi. Selepas Frieza bangkit, sisa durasi film hanya berisi adegan-adegan pertempuran tiada henti. Dan adegan-adegan pertempuran memanglah yang paling dinantikan oleh para penggemar. Namun, alih-alih menyaksikan sejumlah adegan pertempuran hebat yang mungkin Anda idam-idamkan, eh, malah kebosanan yang bakal Anda dapatkan. Setidaknya saya sempat menguap beberapa kali di pertengahan film hingga nyaris roboh tertidur di kursi bioskop.
Pangkal persoalannya, film ini tak memiliki cerita yang jangankan masuk akal, menarik saja tidak. Ditulis oleh Akira Toriyama, sang kreator ‘Dragon Ball’ sendiri, dan fakta ini sulit saya percayai lantaran nampak betul bila ia memang penulis naskahnya, jelas ia keblinger oleh materi serta karakter-karakter yang ia ciptakan sendiri sepanjang kariernya. Dalam film ini karakter-karakter yang sudah kita kenal baik tampil tak konsisten dan seolah terputus dari serial maupun film-film sebelumnya.
Master Roshi yang tidak pernah memiliki kekuatan sebesar Piccolo, Krilin, apalagi Gohan, entah bagaimana di film ini ia mampu melawan beberapa pasukan Frieza yang supertangguh. Piccolo berjuang mati-matian melawan seorang anak buah Frieza, dan bila anak buah Frieza saja sehebat itu, lantas untuk apa Sorbet membangkitkan Frieza toh mereka sudah cukup kuat untuk meluluhlantakkan Bumi tanpa perlu bantuan siapapun. Lalu, Gohan pun sampai perlu berubah ke wujud Super Saiyan untuk mengalahkan Frieza; Gohan yang dulu pernah mengalahkan Cell yang jauh lebih hebat daripada Frieza sendiri. Dulu Frieza sempat babak belur oleh Gohan, namun sekarang ia berhasil melumpuhkan Gohan hanya dengan sekali pukul! Hampir saja saya beranjak dari kursi lantas berdiri berteriak, “Serius nih?!”
Setelah pada akhirnya saya paham bahwa Frieza kali ini diceritakan sebagai musuh yang benar-benar kuat, lagi-lagi saya dibuat kecewa sebab ketidakkonsistenan cerita terulang kembali. Goku dengan begitu mudahnya mengalahkan Frieza tanpa usaha yang berarti, bahkan membuat Frieza dalam wujud terkuatnya babak belur dengan begitu mudahnya. Tapi tunggu, tanpa bermaksud spoiler, dan ini perlu saya sebutkan lantaran krusial; pada satu momen pertempuran, Goku sang pahlawan kita yang kekuatannya setara para dewa, roboh hampir mati sebab ditembak oleh pistol! Menggelikan! Goku bisa bertahan saat dihajar oleh jurus-jurus semematikan serangan bom atom secara bertubi-tubi, tapi roboh oleh satu tembakan pistol?
Film garapan Tadayoshi Yamamuro ini selain tak memiliki cerita yang menarik, adegan-adegan pertempuran pun tampil ala kadarnya. Sepanjang film kita hanya disuguhi gambar-gambar dengan kualitas setara serial TV-nya, diiringi sound effect murahan berbunyi "decing", "buk-buk", dan "wus" yang berulang-ulang hingga menontonnya terasa bagai sebuah siksaan tak terperi. Satu-satunya hal bagus yang dimiliki film ini adalah, bahwa film ini memiliki ending!
Shandy Gasella pengamat film, bekerja di Badan Perfilman Indonesia (BPI)
(mmu/mmu)