Lebih dari 50 tahun penyelenggaraannya, kontroversi yang terjadi seputar FFI tak jauh dari sisi penilaian pemenang. Baru saja digelar untuk pertama kalinya, FFI sudah menuai kontroversi. Dewan juri ketika itu memenangkan film 'Tarmania' arahan sutradara Lilik Sudjio sebagai film terbaik.
Keputusan itu dinilai sebagian pihak kurang tepat karena ada beberapa film yang mutunya dianggap lebih baik. Akhirnya kemenangan 'Tarmania' dibatalkan dan diganti 'Lewat Djam Malam' sebagai film terbaik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Tokoh Bangsa yang Diangkat ke Layar Lebar
Keputusan itu mengecewakan banyak pihak karena banyak film yang dianggap layak untuk menerima penghargaan tersebut. Salah satunya adalah film 'Si Doel Anak Modern' yang membuat Sjuman Djaya diganjar penghargaan Sutradara Terbaik.
Memasuki era 2000-an, kontroversi dalam penyelenggaraan FFI kembali terjadi. Pada pagelaran FFI 2006 'Ekskul' keluar sebagai film terbaik dengan menyabet tiga Piala Citra. Hal itu menimbulkan protes dari seluruh sineas film yang pernah menerima penghargaan Piala Citra sebelumnya.
Sebagai bentuk protes, para sineas yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia beramai-ramai mengembalikan Piala Citra yang pernah mereka dapat. Film 'Ekskul' dinilai tidak layak sebagai film terbaik, di antaranya karena adanya unsur plagiat dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari film-film asing yang terkenal, seperti 'Taegukgi', 'Gladiator', dan 'Munich'. Mereka secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006.
Gerakan itu bersambut. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bernomor 06/KEP/BP2N/2007 tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik yang ditandatangani oleh Ketua BP2N Deddy Mizwar dibatalkan, termasuk Piala untuk Sutradara Terbaik yang jatuh pada Nayato Fio Nuala.
Dua tahun kemudian, FFI 2008 untuk pertama kalinya memperkenalkan desain Piala Citra yang baru. Desain Piala Citra yang baru tersebut mencerminkan tema FFI tahun itu, yakni 'Bangkit Menuju Citra Baru'.
Baca Juga: Tak Ada Ketegangan di Teaser Trailer Perdana James Bond 'Spectre'
Menurut Deddy Mizwar, penggantian Piala Citra itu bermakna semangat agar semua pemangku kepentingan film nasional melupakan prasangka dan pertikaian masa lalu demi dunia perfilman yang lebih baik. Namun penggantian piala Citra itu justru disayangkan sejumlah sineas.
Festival Film Indonesia juga dinilai belum maksimal dan masih terasa hanya seremonial. Seperti saat FFI 2012 yang dikritik sutradara Joko Anwar. Pemenang dua Piala Citra itu menyoroti dana penyelenggaraan FFI 2012 yang kabarnya lebih dari Rp 16,2 miliar, namun tidak sebanding dengan kualitas penyelenggaraannya. Menurut sutradara 'Modus ANomali' kala itu, FFI sudah mulai kehilangan kredibilitasnya.
Masih terkait dengan festival film, kontroversi terbaru lahir awal tahun ini dengan terungkapnya data pengiriman delegasi film Indonesia ke pasar film di luar negeri. Beberapa orang yang masuk dalam daftar dikritik karena tak memiliki kepentingan, sementara banyak hal lain dari sektor film yang membutuhkan dukungan.
(ich/mmu)