Tiada Lagi Mamang (In Memoriam Chairul Umam)

Catatan Ilham Bintang

Tiada Lagi Mamang (In Memoriam Chairul Umam)

- detikHot
Kamis, 03 Okt 2013 19:36 WIB
Ilham Bintang (dok.pribadi)
Jakarta - Chairul Umam telah tiada. Mamang -- begitu sutradara film terkenal ini sering disapa -- dijemput Ilahi Rabbi, Kamis, 3 Oktober pukul 15. 18 WIB di Ruang ICU RS Islam Jakarta Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sekitar dua minggu Mamang dirawat di RS akibat stroke.

Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya di bidang seni. Sekitar dua jam sebelum wafat, saya beruntung sempat membesuk Mamang di ruang ICU. Saat itu kondisinya tengah drop. Seluruh keluarga telah berkumpul melantunkan ayat- ayat suci Al Quran. Tinggal putera bungsunya, Aulia Akbar, masih dalam perjalanan dari kantor. Nunuk, istrinya terus menerus melafalkan ayat- ayat suci Al Quran di telinga Mamang.

Beberapa saat kemudian kondisi Mamang membaik. Tapi tak lama. Setelah Aulia Akbar tiba, kondisinya kembali kritis, sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir. " Kayaknya memang hanya mau menunggu Aulia Akbar," kata Putera Chairul, anak kedua almarhum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Innalillahi Wainnailahi Rojiun. Chairul Umam menghembuskan nafas terakhir dalam usia 70 tahun. Ia meninggalkan seorang isteri, tiga anak : Putera Emma, Putera Chairul dan Aulia Akba, serta dua cucu : Jihad ( 9 tahun) dan Hajid (7 tahun). Juga meninggalkan jejak karyanya sejak sebagai aktor teater dan puluhan judul film dan sinetron yang dia tangani.

Chaerul Umam, merupakan salah satu sutradara film terbaik yang dimiliki negeri ini. Karyanya, kebanyakan bertema religius, selalu diperhitungkan dalam Festival Film Indonesia. Sebut misalnya, " Titian Serambut dibelah Tujuh" "Al Kautsar" " Kejarlah Daku Kau Kutangkap". Salah satu filmnya, " Ramadhan & Ramona" memborong hampir seluruh Piala Citra, FFI 1992, FFI terakhir di era Orde Baru. Selain sebagai Film Terbaik, " Ramadhan dan Ramona " juga mengantarkan Chairul Umam sebagai sutradara terbaik, pasangan Lidya Kandouw dan Jamal Mirdad yang berperan sebagai Ramona dan Ramadhan memboyong Piala Citra sebagai Pemeran Terbaik Wanita dan Pria.

Mamang tidak hanya membuat film baik, tetapi juga film laris, suatu bakat yang amat langka dalam sejarah film Indonesia. Biasanya yang terjadi, pembuat film baik belum tentu laris, begitu pun sebaliknya. " Kejarlah Daku Kau Kutangkap" yang diangkat dari skenario Asrul Sani berhasil tercatat sebagai film box office film Indonesia pada tahun 1986.

Saat dunia film Indonesia mengalami masa paceklik, terutama di akhir tahun 90-an, Mamang tidak turut kehilangan medium untuk berkarya. Ia malah kebanjiran order menyutradarai banyak sinetron. Ini juga langka terjadi, sineas yang berusia lanjut masih mampu eksis. Sinetronnya yang terkenal, antaranya. " Jalan Lain Ke sana", " Jalan Taqwa" dan " Maha Kasih". Malah, sinetron karya terbarunya berjudul " Mudik" ditayangkan pada malam Lebaran bulan Agustus baru lalu di RCTI. Ketika produksi film layar lebar kembali bergairah, Mamang masih sempat kebagian menyutradarai film besar "Ketika Cinta Bertasbih" ( 2008) yang diangkat dari novel laris karya Habiburrachman El Shirazy.

Mamang memulai kiprahnya di dunia seni saat masih remaja di Yogyakarta. Pria ramah dan sederhana kelahiran Tegal 4 April 1943 ini aktif menggerakkan grup teater Cuwiri bersama Syu’bah Asa, wartawan dan kolumnis kondang. Ia juga aktif di Teater HMI. Tapi debutnya sebagai aktor menonjol ketika bergabung dengan Bengkel Teater milik W.S. Rendra. Mamang ikut main ketika Bengkel Teater mementaskam "The Waiting For Godot" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, di akhir tahun 60-an.

Setelah pementasan itu Mamang pun hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Teater Ketjil Arifin C Noer. "Dia sudah tercatat sebagai pemain sejak pementasan " Sumur Tanpa Dasar" kata Jajang C Noer, isteri almarhum Arifin C Noer.

Kiprahnya di dunia film menarik dicatat. Ia mulai sebagai pemain figuran dalam film " Apa Yang Kau Cari Palupi" yang disutradarai oleh Asrul Sani. " Mungkin waktu itu Asrul Sani belum kenal Mamang", kata Doktor Salim Said yang dulu ikut mendirikan Teater Ketjil. Kelak, Mamang banyak mengerjakan film bekerjasama dengan Asrul Sani. Dia bisa dicatat termasuk sutradara film yang banyak menggunakan cerita/skenario Asrul Sani.

Ihawal Mamang terjun menyutradarai film terjadi pada tahun 1975. Ketika itu mendiang Asrul Sani mengundurkan diri menggarap film "Tiga Sekawan " dan Mamang lah yang tampil menggantikan dia. " Jadi film pertama saya itu film komedi" kata Mamang dalam wawancara dengan Tabloid C&R. Film itu menampilkan personel lawak Kwartet Jaya yang dimotori Eddy Sud.

Barulah setelah " Tiga Sekawan" Mamang mendapat kesempatan menyutradarai film drama religi: " Al Kautsar" (1977 ). Nilai- nilai religius memang tak asing dalam kehidupan Mamang. Ia dididik dan dibesarkan oleh ibu yang dikenal sebagai penceramah di Tegal, tanah kelahirannya.

Pada Mamang yang paling mengesankan adalah sikap rendah hati dan pembawaannya yang sederhana. Ia tidak terkena syndrom sebagaimana banyak menimpa aktor maupun sutadara besar film Indonesia. Mamang tetap saja memilih jalan sunyi yang jauh dari hura- hura. Mamang lebih banyak meluangkan waktunya mengikuti pengajian di kala senggang, atau kala jeda dari kesibukan.

Saya ingat di tahun 1995 saat bersama Mamang, Jajang C Noer serta beberapa insan film menghadiri Pekan Film Indonesia di Perth, Australia. Begitu selesai acara resmi Mamang kembali ke kamarnya. Berbagai undangan dari banyak pihak untuk makan malam dan menikmati suasana malam ditolaknya secara halus. Tak enak meninggalkan Mamang sendirian di kamar, saya pun tak mengikuti undangan itu. Tapi beruntung saya memilih tinggal di hotel dan mengobrol dengan Mamang. Saya bisa mengenal mendalam tokoh berpembawaan sangat sederhana ini.

Saya terakhir bertemu Mamang pada acara perkawinan putera adik saya, Firman Bintang, produser film Nasional, bulan November tahun lalu. Tiga hari lalu saya mendapat SMS yang dikirim dari jauh-- Mekkah-- oleh adik saya Faidal Yuri yang mengabarkan kondisi Mamang.

Tadi siang saya ke RS membesuk Mamang. Memanjatkan doa. Meski diberitahu kondisinya amat kritis tetapi saya tidak pernah menyangka secepat itu dia dijemput Sang Khalik. Saya baru saja tiba di kantor sehabis besuk, ketika ponsel saya menerima pesan BBM dari Firman Bintang. Isinya : Chairul Umam telah tiada. Ah, kita semua telah kehilangan tokoh sederhana, tokoh yang amat layak jadi panutan. Selamat jalan Mamang, Al Fatihah.






(ich/ich)

Hide Ads