'Kentut': Kompromi Berani (dan Kocak) Aria Kusumadewa

'Kentut': Kompromi Berani (dan Kocak) Aria Kusumadewa

- detikHot
Selasa, 07 Jun 2011 11:29 WIB
Jakarta - Film ini pertama kali langsung mengingatkan orang pada film 'Ketika' (2004). 'Kentut' adalah karya terbaru Aria Kusumadewa ('Identitas'), dan 'Ketika' disutradarai oleh Deddy Mizwar. 'Ketika' dibuka dengan adegan bunuh diri para konglomerat, 'Kentut' dibuka dengan gema doa-doa dari berbagai agama dan aliran kepercayaan. Lalu, apa yang menghubungkan keduanya?

Kedua film itu sama-sama produksi Demi Gisela Citra Sinema, rumah produksi milik Deddy Mizwar. Selain diproduseri orang yang sama, bintang utama kedua film itu juga sama: Deddy Mizwar. Dan, sang aktor kawakan itu berakting sangat kuat, sehingga mengalahkan pelakon lainnya—dalam 'Kentut' hanya bisa diimbangi oleh Rahman Yacob, pemeran kepala satpam; favorit saya sejak 'Badut-Badut Kota' (1993).

Tentu saja akting Ira Wibowo dan Cok Simbara juga bagus, tapi tak secemerlang kedua aktor di atas. Dikisahkan, Jasmera (tanpa huruf H di belakang, diperankan Deddy Mizwar), adalah seorang calon bupati untuk daerah Kuncup Mekar, yang sedang bersaing dengan Patiwa (Keke Soeryo). Jasmera ini agak berbeda dengan karakter yang pernah dimainkan Deddy dalam film-film pasca-1998, yaitu antagonis, walau tidak hitam putih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jasmera adalah orang yang blak-blakan, anti-kemunafikan, tapi cenderung menghalalkan segala cara dan nyaris tak punya program apapun, untuk terpilih di pilkada. Kampanyenya diwarnai oleh pesta dan hura-hura, alias hedon. Pasangannya: seorang penyanyi dangdut, Delarosa (Iis Dahlia), tentu sebuah sindiran bagi calon pejabat di dunia nyata.

Sebaliknya, Patiwa sang pesaing adalah sosok ibu yang mengayomi dan berpikir jauh ke depan untuk rakyatnya, khususnya soal kesehatan. Suatu ketika, Patiwa ditembak dan harus dirawat di rumah sakit. Jika dalam beberapa hari tidak mampu hadir di tempat pemilihan, Patiwa sang calon idaman rakyat itu akan dinyatakan gugur.

Maka hebohlah mayapada perpolitikan kampung itu. Rakyat dari berbagai agama (termasuk aliran kepercayaan yang baru saja diresmikan, lengkap dengan simbol segitiga yang pernah hadir di film 'Betina' yang produseri Aria) hadir mendokan calon pemimpinnya dengan keyakinan masing-masing. Pasar kaget pun tercipta. Sedangkan kubu Jasmera mengutus seorang tukang tenung untuk sekadar membuat kentut Patiwa tertahan hingga tenggat waktu lewat.

Maka berbagai isu pun mengalir. Ada persoalan gender yang menjadi wacana ketua tim sukses Patiwa, Irma (Ira Wibowo) dengan kepala rumah sakit (Cok Simbara). Ada persoalan pluralisme dan kritik terhadap kondisi dunia kesehatan (obat mahal,misalnya). Dan yang terutama tentu saja soal perpolitikan. Semuanya dalam koridor komedi gelap, yang memang mengingatkan kita pada formula film-film Citra Sinema lainnya

Kembali ke soal hubungan 'Ketika' dan 'Kentut', keduanya memiliki cerita yang sangat kuat, namun lemah dalam hal teknis, khususnya tata suara dan sinematografi. Silakan amati saja. Mungkin karena film ini adalah juga hasil dari lokakarya Tit’s Workshop? Lepas dari soal teknis, film ini penting mengingat ia adalah representasi dari keseharian negeri ini yang masih saja carut-marut.

Persamaan lainnya: permainan kata. Kalau di 'Ketika' tokoh utamanya (Tajir Saldono) dengan mudah bisa kita asosiasikan dengan kondisi "orang kaya yang tak bersaldo". Di 'Kentut', ada tokoh Jasmera—yang mengingatkan kita pada judul pidato Bung Karno, Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Di sini, tanpa huruf H, karena nanti kalau menang huruf H-nya akan ditaruh di depan: artinya ia akan tambah kaya dan naik haji.

Kita perhatikan juga nama rumah sakitnya: rumah sehat sakit. Mengapa rumah sakit seolah menjadi lokasi favorit Aria? Menurut Aria, sebenarnya 'Identitas' dan 'Kentut' adalah dua dari tiga cerita di satu skenario, yaitu 'Tuhan Beri Aku Kentut'. "Karena triangle cinema (multiplot) tidak lazim ada di sinema Indonesia, maka diputuskan untuk dipecah-pecah. Namun, cerita yang ketiga sepertinya tidak bakal diproduksi. Maka inilah film saya terakhir tentang rumah sakit," ujar Aria.

Ada hal menarik: ada seekor monyet yang acap disyut, hanya bertengger di atas pohon rumah sakit dan menatap ke bawah. Kera kecil itu memakai kaos bertuliskan "Aria", dan di bawah kandangnya ada tulisan tebal: Aria. Sepertinya Aria sedang ingin menertawakan dirinya sendiri, dan ini hanya bisa dilakukan pada orang yang sudah matang. Dan, ia seolah hendak mengajak penontonnya untuk tertawa, tidak hanya karena kelucuan karakter di layar tapi juga untuk belajar menertawakan diri sendiri yang terepresentasi di sana.

Sebelumnya, silakan amati film-filmnya, Aria menamakan berbagai binantang—seperti anjing dan kecoak—dengan nama-nama sineas Indonesia. Dan, sepertinya inilah kegeraman Aria: ia seolah tak bisa berbuat apa-apa yang signifikan untuk mengubah keadaan bangsa yang terpuruk, kecuali menjadi saksi—dan kemudian mencatatnya dalam film. Tentu saja ada nama Aria disebut sebagai Dewa Aria yang dipuja aliran baru itu, tapi hanya sekali terucap.

Aria dengan terus terang mengaku bahwa film ini adalah upaya jalan tengahnya untuk masuk ke dunia industri perfilman tanpa harus mematikan idealisme dan "tanda tangan"-nya. Setelah 'Identitas', kali ini --dengan formula komedi, bintang-bintang popular, produser yang terbukti bisa membaca pasar—ia kembali memikirkan penonton. Aria ingin filmnya ditonton oleh sebanyak mungkin pemirsa dari berbagai kalangan, agar ide-idenya tidak berputar eksklusif. Sebuah kompromi yang berani dan berisiko, dan itu sesuatu yang patut dihargai.


(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads