Terasa seperti di rumah dan memberikan kesan baik adalah rasa yang selalu ingin diberikan Laire kepada para pelanggan usai menikmati Tuna Bakar Kecap Sambal Dabu-dabu atau Ayam Suwir Kecombrang atau mungkin Nasi Campur Vegan.
"Aku cuma ingin bilang ke orang-orang kalau tempat ini tuh bukan sekadar restoran yang setelah didatangi terus pulang, tidak memberikan kesan apapun. Tempat ini adalah rumah kedua kalian, termasuk para staf. Kalian harus ngerasa homey. Makanya pemilihan elemen materialnya juga seperti ini, nggak kebanyakan besi yang kaku. Semua yang datang harus santai, sampai-sampai nggak ada internet," cerita Laire lagi. Soal internet, benar adanya karena ketika detikHOT di sana, sinyal pada telepon hanya bisa digunakan untuk menelepon saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bicara menulis yang tadi disebut di awal, Laire kemudian mengaplikasikan pada narasi-narasi di keterangan caption media sosial. Dengan lihai, dia menceritakan secara personal orang-orang yang terlibat di dalam JIWAJAWI, tidak hanya mereka yang di dapur, tapi sampai kepada yang bertugas menjaga kebersihan dan lainnya.
![]() |
Baca juga: Rujukan Pangkas Rambut Se-Yogyakarta |
"Akhirnya nyambung semua, korelasi antara tempat ini harus jadi rumah, semua orang harus kenal. Aku mengiklankan tempat ini dengan sentuhan personal. Bagaimana caranya? harus storytelling. Aku langsung yang jadi admin-nya, menceritakan tentang semua apa yang ada di sini, dari mulai proses makanannya, bahkan aku bikin narasi-narasi yang kesannya jadi tulisan fiksi, kayak baca cerpen. Aku ceritakan tentang memori makanannya, tentang person by person, staf di sini biar orang kenal. Tamu yang ke sini walaupun baru pertama kali dia udah nyapa Pakde Kardi yang lagi nyapu, nyapa Bu Kun. Mereka ajak ngobrol."
Tidak pernah menyangka, keterpaksaannya memasak sendiri ketika bekerja di Jerman, rumah orangtuanya yang terbengkalai di Yogyakarta, kemudian berujung menjadi salah satu restoran paling populer yang tiba-tiba dipenuhi 150 orang. Mencicipi dengan khidmat, kenikmatan makanan nusantara. Tiga tahun berjalan, JIWAJAWI pun turut menjelma menjadi tempat berbagai aktivitas. Secara kolektif dan mandiri, para komunitas diberikan kemudahan jika ingin menggelar acara, pameran kesenian pun acara musik.
"Makanya aku selalu bilang juga JIWAJAWI ini nggak cuman tempat kamu makan terus pulang, tapi juga menikmati alam yang bagus, sekaligus bisa mengapresiasi budaya."
(mif/nu2)