Hari ketiga Kyoto Film and Art Festival 2015, para awak media diajak untuk berkenalan dengan salah satu seni bela diri populer di Jepang, Chambara. Rombongan juga diberi kesempatan untuk melihat langsung properti-properti yang kerap digunakan di film-film laga seperti 'Kozure Ookami', 'Kogarashi MOnjiro' hingga 'Kage no Guntan'.
"Jepang tidak melulu soal harakiri," tegas Nakajima, seorang sutradara senior film-film laga Jepang, ketika berbincang-bincang di depan awak media dan pengunjung Museum Budaya Kyoto,mengenai film dokumenternya, Sabtu (17/10). Nakajima dikenal lewat film-film populer seperti 'Yakuza', 'Theater of Life', hingga 'Seburi Monogatari'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelimanya mempertontonkan sebuah aksi bela diri dengan pedang sungguhan di depan penonton yang terkagum-kagum dengan kelenturan mereka. Tampil dengan latar belakang museum yang sudah cukup tua semakin membuat pertunjukan pedang tersebut terasa megah layaknya di film-film samurai sungguhan.
Chambara sendiri adalah salah satu bela diri senjata ala Samurai Jepang yang sudah dikenal sejak tahun 1969. Namun, Chambara juga bisa diartikan sebagai aksi pertarungan pedang yang kerap dipertunjukkan lewat sandiwara atau film.
Untuk memperkenalkan Chambara, Nakajima sudah berkali-kali melakukan workshop di berbagai tempat di seluruh Jepang. Mulai dari adegan kecil seperti jatuh hingga cara mengambil pedang diajarkan dalam workshop tersebut.
"Chambara saat ini sudah berkurang peminatnya. Saya merasa bela diri ini sudah hampir punah, jadi maksud saya membuat film dokumenter ini adalah untuk membangkitkan lagi rasa cinta dan ketertarikan masyarakat pada Chambara," lanjut Nakajima.
Nakajima merasa bersyukur karena tak sedikit film garapan Hollywood yang mengangkat sisi lain bela diri Jepang. Namun sayangnya, tak semua aspek dalam seni bela diri tersebut ikut diangkat.
"Chambara adalah sebuah teknik bela diri Jepang yang benar-benar asli Jepang. Namun di film-film produksi Amerika Serikat, hanya harakiri yang diangkat. Padahal sebenarnya, teknik pedang Jepang memiliki arti yang lebih dalam," sambungnya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Takatsu, seorang seniman pedang, yang juga ikut hadir dalam acara bincang-bincang tersebut. Karya-karyanya sudah kerap dipakai dalam film-film besar, termasuk 'The Last Samurai'.
Saking dalamnya, para aktor yang bermain dalam film-film laga bahkan tak akan menggunakan senjata yang sama dengan yang pernah dipakai oleh aktor lainnya. Sudah menjadi tugas Takashi untuk terus membuat pedang baru di setiap film-film laga Jepang.
"Barang yang sudah dipakai oleh satu aktor tak akan dipakai lagi oleh aktor lainnya. Syuting menggunakan senjata asli sangat berbahaya dan berisiko. Jadi saya harus membuat senjata palsu yang mirip seperti aslinya. Jaman dulu para aktor masih menggunakan pedang sungguhan, namun saat ini sudah menjadi sebuah pelanggaran. Jadi pemakaian senjata asli dalam film sudah dilarang," ungkap Takatsu.
Chambara bukan hanya sebuah aksi bela diri pedang-pedangan biasa, namun dibutuhkan keluwesan dan keanggunan dalam setiap gerakannya. Sehingga, keberadaan seorang koreografer sangat dibutuhkan dalam film-film laga Samurai untuk menggabungkan teknik bela diri dengan 'tarian' yang lemah gemulai.
"Adegan laga harus ada koreografernya. Adegan bela diri yang tadi dipertontonkan adalah perpaduan dari gerakan yang lemah gemulai dengan gerakan-gerakan 'keras'. Jadi, Chambara bukan hanya perkelahian biasa, namun juga dipadu dengan keindahan," tambah Nakajima.
Nakajima dan Takatsu berharap event Kyoto Film and Art Festival 2015 kali ini bisa membuat orang-orang di seluruh dunia tertarik untuk mengenal lebih jauh soal Chambara.
"Kyoto adalah tempat film pertama dibuat. Kyoto adalah tempat sejarah Jepang. Semua kesenian tradisional ada di Kyoto. Acara ini memperbolehkan kami untuk memamerkan alat-alat yang kerap digunakan di film-film Samurai Jepang. Kami berharap, hal ini bisa membangkitkan minat dunia tentang Chambara," tutup Nakajima.
β
(dal/ich)