Orang tahu bahwa nama Deddy Mizwar melekat dengan baik dalam sejarah perfilman Indonesia. Dengan mudah menemukan lebih dari 50 koleksi filmnya, memilihnya menjadi yang paling favorit bagi versi masing-masing.
Di layar kaca, namanya pun harum lewat berbagai judul sinetron yang dihasilkan, pun diperankan. Apa yang banyak dari mereka tidak tahu adalah, Deddy Mizwar punya predikat sebagai 'satu-satunya' di perjalanan panjang penghargaan film nasional paling bergengsi, Festival Film Indonesia (FFI) yang pertama kali diselenggarakan pada 1955.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktor 67 tahun itu meraih gelar terbaik, pada dua film berbeda, saat gelaran FFI yang sama, yaitu pada 1986. Pemeran Utama Pria Terbaik untuk film Ibunda, Pemeran Pembantu Pria Terbaik untuk film Opera Jakarta. Raihan anomali lainnya yang juga belum kunjung terpecahkan adalah, gelar Pemeran Utama Pria Terbaik untuk film Nagabonar pada FFI 1987 yang kemudian diraihnya lagi lewat karakter yang sama dalam sekuel Nagabonar Jadi 2 pada 2007, 20 tahun kemudian.
Baca juga: Lorong Waktu Deddy Mizwar |
![]() |
"Ya itu, fenomenal dan belum pernah terjadi. Dan, belum pernah terjadi lagi," ujarnya kepada detikHOT saat ditemui di Kantor Citra Sinema, rumah produksinya miliknya di Kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Namun, hal itu justru yang kemudian menjadi titik balik seorang Deddy Mizwar hingga membawanya pada nama yang dikenal saat ini. Seorang aktor, tapi juga produser dan sutradara, juga pembawa pesan keagamaan serta nilai kebangsaan dalam karya-karyanya.
"Justru saat itu bertanya-tanya, ada apa ini maksudnya? Kenapa Allah S.W.T memberikan suatu karunia yang tidak pernah orang lain rasakan? Makanya tahun 87 jadi titik balik, bagaimana belajar tentang merancang sebuah film. Bukan hanya sebagai aktor, tapi saya juga punya gagasan yang bisa diekspresikan dalam film. Makanya setelah saat itu, saya tidak mau dilibatkan hanya sebagai pemain saja. Kalau saya mau ngambilin sebagai pemain aja, udah kaya raya gue ambil semua. Saat itu angka kita nggak pernah ditawar kok," ceritanya sembari tertawa.
Baca juga: Deddy Mizwar: Jangan Jadi Unta di Makkah |
"Akhirnya, jadilah produser, belajar mengembangkan sebuah gagasan sampai jadi satu karya yang bisa ditonton. Terus, gue dapat titik balik lagi, jadi sutradara. Sinetron Abu Nawas (1993), itu sutradaranya pergi harus terima pekerjaan ke Jerman, terus dilempar ke gue. Astagfirullah, apa lagi ini? Ya sudah deh, Bismillah. Itu rupanya jalan yang Allah berikan, kita nggak pernah tahu apa sebab terciptanya. Memaksa kita untuk bertahan, berusaha untuk lebih, bukan karena gue pintar, tapi karena terpaksa."
Simak Video "Video: Sosok Mendiang Ray Sahetapy di Mata Ira Wibowo hingga Deddy Mizwar"
[Gambas:Video 20detik]