Obrolan dengan Dipo terus mengalir, menuju ke masa-masa nostalgia ke masa muda. Sebagai mahasiswa lulusan San Fransisco, Amerika Serikat, Dipo tentu punya cerita menarik. Dipo Latief mengenyam pendidikan di San Francisco State University (1993-1999) untuk gelar Postgraduate Management Accounting. Serta, Master (MBA) di San Fransisco Management Science (1999-2000).
Pada masa akhir '90-an sampai awal 2000-an, pergaulan di Ibu Kota memang didominasi anak muda lulusan Amerika Serikat. Mereka pulang membawa tren sendiri yang menjadikan idola di tongkrongan. Ahmad Dipoditiro Latief bagian dari kelompok itu, pemegang pergaulan saat itu. Walaupun tidak secara langsung dia mengakuinya.
"Dulu bisa dibilang lebih seru bukan karena liar sih, tapi karena everyone itu watching the same show. Untuk satu hal, yang tahu banyak, semuanya ada di situ. Kalau sekarang kan banyak pilihan, mencar, bingung. Dulu kan scene-nya perkantoran dan hotel, kelab juga adanya di hotel sebagai fasilitas hotel, nggak ada dedicated place gitu. Akhirnya ada yang buka kaya M-Club, akhirnya bisa berdiri sendiri, jadi culture. Blok M itu 'bakal lokasi mejeng', itu suatu yang sangat keramat untuk anak muda. Gue boleh anak Kalimalang, cuma gue bisa bikin anak Kebayoran sama Menteng ribut," ceritanya sembari tertawa.
"Tapi, gue sebetulnya masih junior banget, gue jagain kakak gue, kan kakak gue cewe (Medina Latief), kan beda tiga tahun sama gue. Abang kita nomor satu sudah di Amerika duluan, jadi bapak gue memberi tugas ke gue untuk memonitor kakak gue, diberi mandat. Karena gue tahu kakak gue pergaulannya, kita berkolaborasi. Jadi, gue itu dirusak sama kawan-kawan kakak gue dan gue menikmati banget dikerjain itu," sambungnya anak ke-3 dari 5 bersaudara itu.
Baca juga: Mengurai Pikiran Dipo Latief |
Bicara pergaulan, tidak lepas dari cerita-cerita antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana dua makhluk hidup berbeda jenis kelamin ini memikat satu sama lain. Masing-masing berlomba untuk menjadi yang paling keren dari lainnya.
Dulu, Dipo Latief pun mengalami hal itu. Karakter fiktif paling terpopuler sepanjang masa, Mas Boy dalam film 'Catatan Si Boy' menjadi acuan dan idola paling ideal.
"Kan dibilang cewek itu dari Venus, laki-laki dari Mars. Terus cowok rasional, cewek emosional. Artinya apa? Artinya kita harus mempelajari emosionalnya perempuan. Akhirnya gue punya teman banyak, teman cewek juga banyak. Gue dianggap bagian dari mereka, I'm one of the girls, i'm one of the gang. kita memposisikan diri menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Tapi orang bilang, 'wah ini playboy', ini ngebersihinnya gampang, kalau merekanya cuma gue mainin, mereka udah benci sama gue. Orang yang nggak punya hati baik itu nggak mungkin juga dikerubungi sama cewek-cewek."
Masa muda pengusaha 50 tahun sebagai seorang anak juga menyisakan kenangan tersendiri yang menjadi bekalnya di kemudian hari. Tanggung jawab yang diberikan orang tua, tetap harus diselesaikan tanpa ada pengecualian.
"Gue bersyukur karena orang tua gue mendidik anak bukan menggunakan metode seperti zaman sekarang. Dulu keras, main boleh, sekolah harus lulus. Itulah yang membentuk sebuah tanggung jawab, selama kita bisa menjawab apa yang kita tanggung, we're fine. Itu juga yang membuat kita menjadi lihai, pada saat kita teledor, tapi kita berusaha mengejar itulah kejelian dan kecerdasan," tandasnya.
Baca juga: Anak-anak, Tangis dan Syukur Dipo Latief |
Masih dalam rangka bertamu ke kediamannya di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, Dipo Latief membiarkan detikHOT mendengarkan sisi hidupnya yang lain. Bukan sebagai pengusaha dan profesional, atau anak gaul, melainkan seorang ayah. Seperti apa? Selengkapnya di detikHOT.
(mif/dar)