Mengurai Pikiran Dipo Latief

Hot Questions

Mengurai Pikiran Dipo Latief

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Selasa, 22 Mar 2022 07:35 WIB
Dipo Latief
Dipo Latief Foto: Agung Pambudhy/detikhot
Jakarta -

Dipo Latief, dikenal baik sebagai pengusaha dan anak dari konglomerat serta menteri era Soeharto, Abdul Latief. Akan tetapi, bertamu ke rumahnya dalam kurun waktu tiga jam, maka akan terbukti bahwa Dipo Latief lebih dari sekadar itu.

Di atas kertas dia tercatat bekerja sebagai Presiden Direktur/CEO dan Komisaris pada PT Tata Disantara dan PT Pasaraya International Hedonisarana. Perusahaan yang menaungi pusat perbelanjaan, Pasaraya yang ada di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Bagi orang Jakarta, Pasaraya tentu bukan tempat yang asing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

detikHOT mengunjungi Dipo di sebuah siang, di kediamannya yang asri dan sangat luas di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Kawasan kediamannya dihuni oleh beberapa rumah besar, ada rumah sang ayahanda, rumah Dipo dan kakak-beradiknya. Rindang dengan halaman yang luas dan hijau, terlihat juga lapangan tenis.

ADVERTISEMENT
Dipo LatiefDipo Latief Foto: Agung Pambudhy/detikhot

Pengusaha 50 tahun itu turun dari lantai 2 rumahnya, menyambut detikHOT dengan hidangan makan siang. Sejak di menit pertama pertemuan, pemilik nama lengkap Ahmad Dipoditiro Latief itu sudah membagi buah pikirannya.

Dia bercerita tentang pikirannya atas Ketuhanan dan penggunaan kata 'Yang Di Atas'. Kitab-kita suci yang dijadikan petunjuk para pemeluk agama di dunia. Serta raja-raja di Indonesia dan dunia. Di sela-sela ceritanya yang antusias, Dipo juga berbagi sejarah atas penjelajahan Bangsa Melayu, Persemakmuran Inggris dan Benua Australia.

"Kalau di Inggris, jargonnya God Save the Queen. Kalau di Amerika, In God We Trust. Kalau di Indonesia, Ketuhanan yang Maha Esa. Sama semua nggak?" katanya.

Dipo menyebutkan beberapa buku yang dibacanya, dari mulai ensiklopedia hingga sejarah manusia purba. Rendang dan telur gulai khas masakan minang tutut menjadi saksi bisu dari kesimpulannya terhadap masa pandemi yang adalah sebuah tombol reset atau pengaturan ulang atas semesta yang sudah berjalan sangat jauh.

Demi mengurai pikirannya, detikHOT mencoba menanyakan satu demi satu hal-hal yang terkait dengan dirinya yang terdengar sangat filosofis.

"Jadi gini, beda era, lo kan eranya Iron Man, punya kekuatan, show off. Kalau gue era film kungfu. Karena seseorang yang punya ilmu tinggi sadar bahwa masing-masing punya jalan cerita masing-masing dan dia diberikan ilmu itu untuk menjaga kestabilan ilmu itu," jawabnya.

Dipo LatiefDipo Latief Foto: Agung Pambudhy/detikhot

"Gue nggak bicara agama dengan pembicaraan agamis, ini pendapat gue. Gue nggak hobi baca juga, karena gue penasaran, apapun itu gue akan cari di buku petunjuk (kitab suci agama) duluan. Gue curhat juga sama ustad, mereka tuh orang-orang yang tahu, mereka orang-orang yang mursyid. Kalau guru itu memberi tahu apa yang lo sudah tahu. Kalau mursyid memberi tahu apa yang benar dan tepat," sambungnya.

Pikiran filosofis di kepala Dipo tak hanya tercermin lewat ucapannya tentang kehidupan, tapi juga pekerjaan. Anak ke-3 dari 5 bersaudara itu kini fokus untuk terus mengembangkan usahanya dan bertahan dengan berbagai perubahan zaman dan kebiasaan.

"Department store is dead, yes, ini challenge-nya. Makannya saya membentuk namanya NICE (Network of Cultural Enterprises). Jadi perusahaan yang bergerak dalam bidang budaya atau cultural entrepreneur , whatever you wanna say, but it's nice, it's just nice. Why cultural? Karena yang membuat alamnya beda orang kita dan Eropa ya budayanya kita berdagang, budaya kita berseni, budayanya kita melakukan apapun. Culture jadi luas kan, kuliner, handycraft, batik, konser musik, film."

"Ini gue bicara untuk semua, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Jadi gue bilang, orang yang pengen kaya malah nggak kaya-kaya. Ternyata orang yang bilang mau cari uang, dia nggak akan dapet duitnya. Karena kalau lo mencari, artinya duitnya hilang. Hilang itu emang nggak mau sama lo, dia menghindar atau diambil orang. Jadi mengkhayal, fokus sama khayalan bahwa lo udah dapat bendanya, jadi feeling lo udah dapet bendanya, lo happy. Dengan kaya begitu lo nggak mikirin bagaimana mencarinya, tapi lo selalu berbuat terbaik apa yang lo lakukan pada saat itu. Karena feeling happy itu memberikan confident, nah di situ lo akan menjadi sukses."

"Karena yang jelas gini, sebagai orang yang beragama kita nggak boleh cemas, musti confident. Orang itu selalu berpikir hope for the best prepare for the worst, kita pisahkan mengharapkan sesuatu yang terbaik, menyiapkan skenario terburuk. Supaya pada saat terjadinya resiko buruk ini yang keluar, kita udah tahu tempat terbaik kita duduk pada di mana. Jadi, sebenernya hope for the best prepare for the worst itu lo nggak boleh terlalu lama untuk cemas. Lu semakin hari harus semakin menguasai, "oh itu jelek, oh gue bisa di posisi ini," supaya apa, supaya present day ini lo nggak lewatin dengan kecemasan. Hari ini harus menjadi, the best of the day ya today, tomorrow begitu lagi, tapi kalau lo spend your day to worry terus udah gitu berkepanjangan beberapa hari lo udah hilang sia-sia."

Dipo LatiefDipo Latief Foto: Agung Pambudhy/detikhot

Sepanjang cerita, Dipo beberapa kali juga mengucapkan bahwa dia tidak memungkiri bahwa dirinya terlahir sebagai anak orang kaya. Dia mengakui, bahwa hal itu menjadi keistimewaan yang dimanfaatkannya untuk berkarya. Asal sesuai dengan tiga batasan, apa saja?

"Dengan nama besar (keluarga) itu ada yang membuat sulit, tapi ada juga yang memudahkan kita, tergantung kita bermain di lingkungan yang mana. Sah-sah aja kok kita memanfaatkan everything, but don't abuse. You can use it, but don't abuse it. Nah, batasan abuse itu ya lo mesti ikut agama, budaya dan hukum. Jadi, agama kemana aja lo punya moral. Budaya kemana aja lo pegang etika. Hukum lo mesti ikuti hukum yang berlaku setempat."

Obrolan dengan Dipo terus mengalir, menuju ke masa-masa nostalgia ke masa muda. Sebagai mahasiswa lulusan San Fransisco, Amerika Serikat, Dipo tentu punya cerita menarik. Mengingat, di akhir '90-an sampai awal 2000-an, pergaulan di Ibu Kota didominasi anak muda lulusan Amerika yang pulang membawa tren sendiri yang menjadikan mereka idola di tongkrongan.

Selain itu, tidak disangka, siang yang cukup panas saat itu juga turut menyentuh sisi-sisi kehidupan Dipo Latief yang lain. Masuk lebih dalam kepada sosoknya sebagai ayah dari tiga anak-anaknya yang semuanya saat ini menetap di luar negeri. Seperti apa selengkapnya? Simak hanya di detikHOT.




(mif/nu2)

Hide Ads