Di balik wajah bule dan caption fotonya yang selalu berbahasa Inggris di media sosial, Nadine Kaiser adalah murni anak pesisir. Lahir di Kota Banjar dan tumbuh di Pangandaran, dia adalah anak kampung berwajah bule dengan kehidupan yang sama seperti kalian semua.
Tulisan ini tidak berlebihan karena memang, atas pengakuan Nadine Pascale Kaiser kepada detikHOT, dia menceritakan masa kecilnya yang terdengar sama seperti anak-anak pada umumnya.
"I had a long childhood di sini. Sampai umur 10 tahun aku di Pangandaran. Aku pindah kelas 5 SD ke Jakarta, dan di waktu itu aku nggak bisa bahasa Inggris sama sekali, karena SD di sini," kenangnya sembari tertawa.
"Sampai kapan pun, Pangandaran is always home. In my childhood my grandparents were alive, ini rumah mereka sebenarnya and my grandparents were married for all their life together, and they are really like a beautiful couple. So, it felt like home."
Nostalgia perempuan kelahiran Juli 1994 ini berlanjut ke masa kecil bersama teman-temannya.
"Teman-teman kecil juga masih ketemu, tahun baru mereka main ke rumah. You should interview them because they can tell you the crazy story about me, aku dulu anaknya kayak Mowgli (karakter dari buku dan film 'The Jungle Book' tentang seorang anak yang tinggal di hutan). I spend my days swimming in the balong (kolam budidaya ikan). I was like anak kampung, and it was the best childhood that I was given. My brother, he grew up in Jakarta, so I was like, "Alvy do you know how to climb trees?" That was my childhood, spending more time outside than inside."
Walaupun begitu, pengalaman tidak menyenangkan juga diterima Nadine yang sejatinya memiliki darah Swiss dan Indonesia ini. Dia kerap mengalami perundungan karena orang-orang memanggilnya 'bule ireng'.
"I was bullied for that, a lot. Kan biasanya bule putih, karena aku spending time outside jadinya lebih item gitu. Mereka panggilnya 'bule ireng'. Jadi, kalau ada yang sekarang kayak bilang Nadine sudah berubah, lebih elegan atau apa, I'm still the same. If I look like that, that means I tried really hard," katanya.
Jika masa kecil seperti itu, bagaimana dengan masa remajanya yang berpindah-pindah. Jakarta, Amerika, Swiss dan Perancis. Masihkah sama dengan kebanyakan orang lain yang seringkali memiliki jiwa-jiwa pemberontak?
"The rebellious stage started very young. I think that the one thing I'm really thankful for from mom is how she raises me. Now I have more moral compass. I have a very good one, right and wrong. I know the gray area, but if I go to gray area itu bukan karena by accident, I choose to go there. Ibu juga tahu, if I make a mistake I own it, that's my mistake. Dia juga mau marahin apa ya. I'm the type of person if I'm curious, I'm curious. Dan apapun yang orang bilang, akan tetap aku kejar. Because I trust myself, I trust my moral compass," jawab Nadine.
Kalau soal teman, memang dia tidak punya jumlah yang banyak. Bagi Nadine, pertemanan sejatinya bukan soal jumlah, tapi soal waktu. Dia tidak bermain dengan anak-anak muda dari kalangan pejabat, maupun para selebriti dan public figure, selain yang dikenalkan oleh sang ibu.
"The older you are, the less friends we have. Having friendship is not going to coffee, it's not meeting every day, it's being able to call them whenever and still feel like they got you, that friendship. I can't talk to my best friend for one year and so many things happen in one-year kan, begitu ngobrol tapi rasanya masih menyenangkan, cerita semuanya," jelasnya lagi.
Menghabiskan beberapa hari di rumah Nadine di Pangandaran, detikHOT melihat bahwa perempuan 27 tahun itu, tidak begitu peduli pada kehidupan sosial. Dengan privilese yang dia miliki, kamarnya tidak dipenuhi oleh tas-tas bermerek, garasi di kawasan itu pun tidak mentereng dengan mobil mewah atau pabrikan Eropa.
"We don't really take pride in having things. I don't understand why people are driven by brands. That is also one thing, I was raised to spend money dengan catatan, there is a logic on how much you can spend for shoes, for clothes, for bags. Waktu SMA di New York, aku melihat beragam privilese yang kalau dibandingkan, aku nggak ada apa-apanya. Jujur, rasa inginnya sih ada, tapi, begitu pindah ke Paris, semua perasaan itu berhenti. It's about owning a few things but that you really want, and really use, and you can use it over and over. And now I love that, if I want to buy something I have to really want."
"Buatku, misalnya apa barang yang paling berharga di kamar, meja rias, lemari sama tempat tidur. Karena itu dari nenek aku. That's for me, meaning and value."
Bicara perabotan, Lebih menarik lagi karena ternyata, area Susi Air di Pangandaran, yang berisi gudang, rumah tinggal, asrama para calon pilot dan kantor itu, menerapkan prinsip DIY (Do It Yourself) alias membuat beberapa secara mandiri, seperti perabotan dan bahan masakan.
Baca juga: Patah Hati dan Air Mata Nadine Kaiser |
"Kita bikin our own furniture. Kebanyakan semua yang dari kayu, ukiran-ukiran. Minyak untuk masak, minyak kelapa itu kita juga produksi sendiri. Karena pas COVID-19, Ibu really to care about the health, semua masak harus pake coconut oil dan it became to the point semua makanan yang kita makan itu rasa kelapa," ujar Nadine.
Untuk menutup bahasan ini, detikHOT memberikan satu pertanyaan lagi. Jadi, apakah Nadine Kaiser seorang partygoers? "I do it sometimes, tapi bukan di Indonesia," tutupnya seraya tertawa.
Kepada detikHOT, perempuan 27 tahun itu bicara soal ibunya. Bagaimana dia melihat seorang Susi Pudjiastuti dari kacamata seorang anak. Baca terus selengkapnya hanya di detikHOT.
(mif/nu2)