Nama Reino Barack hari ini dikenal baik oleh publik sebagai pengusaha dan suami dari penyanyi kenamaan, Syahrini. Mundur jauh ke masa lalu, tidak banyak yang mengetahui siapakah sosok bernama asli Reino Ramaputra Barack itu.
detikHOT ingin memenuhi rasa ingin tahu publik yang menggebu-gebu meski tanpa diucapkan. Jadilah, di sebuah malam di tempat bernama Plataran Kinandari di Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, detikHOT bertemu dengan Reino Barack. Dia bersedia meluangkan waktunya di tengah kegiatan syuting sebuah acara televisi.
"Di saat SMP saya pindah ke boarding school (asrama) di Swiss. SMP di Swiss bagi saya adalah pengalaman yang priceless, karena itu memori yang luar biasa melekat. Di sana saya bisa merasakan kehidupan yang baru, dan mendapatkan ilmu tentang kehidupan seiring dengan bertumbuh nya usia saya menuju SMA. Saya ingat di sana dididik layaknya seorang militer, very strict, they don't joke around with discipline," buka Reino Barack.
Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi semua diatur secara sistematis. Setelah itu saya melanjutkan kuliah saya ke Perancis, di kota Paris, di sana saya belajar selama 5 tahun. Total setelah 10 tahun saya menetap di Eropa saya baru kembali ke Indonesia," sambung Reino.Tampil kasual dan necis malam itu, Reino Barack bernostalgia menceritakan masa kecilnya yang berpindah-pindah sekolah dan bagaimana dia dibesarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Arti Hidup dan Cinta Ala Reino Barack |
"I grew up in private Islamic school. Keterbatasan saya adalah bahasa, karena saya nggak bisa ngomong bahasa Indonesia dengan lancar. Mungkin baru lancar kelas 3-4 SD. Bapak saya half Jepang, half Kalimantan, dan Ibu saya 100 persen orang Jepang, di rumah juga sehari-hari memakai bahasa Jepang. Apa yang saya tonton itu di masa kecil saya adalah konten Jepang yang dibawa om saya, anime, game show, talk show, apapun. Begitu seringnya ke Jepang, bisa hampir tiap bulan karena kakek dan nenek saya juga masih hidup di Jepang," Reino membuka ceritanya.
![]() |
Dengan latar belakangnya itu, detikHOT kemudian menanyakan, lantas, seberapa nakal dirinya di masa-masa sekolah dan remajanya itu?
"Ya paling berantem, kabur dari sekolah buat jalan jalan, saya pernah berantem sama orang Turki, sama orang Arab, yah normal lah anak laki laki berkelahi di umuran itu."
Dari ceritanya, Jepang ternyata tidak pernah menjadi tempat masa kecil dan remajanya. Faktanya, di usia sekitar 22 tahun, barulah Reino Barack menetap di Jepang selama setengah tahun untuk bekerja di sebuah bank investasi bernama Merrill Lynch.
Mungkin bisa dikatakan, kakeknya, H Omar Barack, yang memulai hubungan Jepang-Indo dalam keluarga besarnya. Berkuliah di Waseda University di Jepang, Omar mempersunting seorang perempuan Tokyo. Jika ditelusuri lebih jauh, Omar Barack menjadi salah satu orang yang dianggap pahlawan karena mengobarkan semangat nasionalisme Indonesia lewat profesinya sebagai penyiar radio di Tokyo pada sekitar 1940-an. Lalu melanjutkan profesi yang sesungguhnya sebagai pengusaha sukses yang menjadi jembatan emas hubungan kerjasama ekonomi Indonesia dan Jepang.
"Saya nggak begitu ingat kakek cerita apa saja secara detail, tapi saya ingat sering diminta cabutin ubannya. I spent good amount of time with him during childhood. Kami panggilanya Kai (kakek dalam bahasa Banjar), beliau meninggal waktu saya umur 18 tahun. Kita sudah melewati banyak waktu berkeliling dunia, dan yang paling berkesan untuk saya adalah waktu ke Tokyo Disneyland, ke onsen (pemandian air panas di Jepang), main ski," kenang Reino.
Begitu eratnya Jepang dalam kehidupan Reino, tentunya dia merasa kebudayaan Jepang sudah melekat di dalam darahnya terutama yang diajarkan oleh ibunda tercinta.
"Ini bukan maksudnya berlebihan, tapi sejak kecil ketika saya tiba di Jepang, keluar bandara, menghirup udara langsung merasa "I am home". "Saya merasa Jepang adalah rumah pertama saya, terlebih darah saya 3/4 Jepang. Karena ajaran dan budaya yang diajarkan di rumah saya lebih cenderung ke budaya Jepang" kata pria 37 tahun itu lagi.
Bicara Jepang tidak sah kalau kita tidak menanyakan sedikit trivia terkait beberapa tontonan dari Negeri Sakura itu yang terkenal di Indonesia. Kita mulai dari Studio Ghibli yang menurut Reino, bagi orang Jepang sendiri film-film Ghibli layaknya film kebangsaan dan kamus nasional, ditonton ribuan kali, dijadikan obrolan sehari-hari.
"I grew up with Ghibli, I think all Japanese did. Film pertama yang saya kenal dulu sebelum Totoro, adalah Panda! Ko Panda!. Tontonan Studio Ghibli mungkin sudah kaya Unyil buat kita. Anehnya, waktu saya di Paris, ada film Ghibli tahun '80-an yang diputar di bioskop di mana-mana dan itu sangat booming diantara masyarakat Perancis. Saya merasa seperti orang yang datang dari masa depan karena sudah menonton dan mengapresiasi film-filmnya sejak kecil," katanya.
Di saat Reino ditanya bagaimana rasanya dibesarkan dalam keluarga dengan privilese ekonomi yang tinggi, Reino menjawab, "I feel like a normal person. Okay, we can talk about facilities and all itu soal material di dunia ini. Tentu uang itu sangat penting untuk mensustain kehidupan. Namun banyak orang sering kali menghubungkan uang sebagai lambang kesuksesan. Padahal yang sepatutnya membuat kita bahagia itu bisa datang dengan gratis, it's all about your perspective and inner peace. Di dalam pandangan saya pribadi; orang bisa dinyatakan kaya apabila dia sudah memiliki hal yang uang tidak bisa beli.
"Tumbuh dengan berpindah sekolah dan negara, mengalami berbagai campuran budaya, pria kelahiran 21 Juni 1984 itu tetap memegang teguh ajaran keluarganya atas disiplin agama. Memang banyak cerita tersiar, agama menjadi sangat penting bagi keluarga besar mereka, konon katanya, terlihat dari bagaimana mereka selalu mengistimewakan musala di berbagai tempat usaha yang dimiliki," paparnya.
Kesederhanaan Reino dalam bersikap tercermin lugas sepanjang wawancara. Tidak ada intimidasi dari nada bicaranya, walaupun kita sama-sama tahu bahwa hanya orang dengan privilese ekonomi yang bisa menjalankan.
![]() |
"Sewaktu saya berumur 12 tahun untuk berangkat ke Swiss, apa kita ngerti itu privilese. School fee berapa, biaya hidup dan makan. Tapi ya apakah itu dikonsider sebagai privilese? Definitely, yes. Waktu menjalankan itu ya kita nggak ngerti, yang penting belajar, nilai bagus, orangtua senang. Namun mungkin saya bisa bicara begini karena saya tidak ada di status tidak harus memikirkan besok makan apa. Jika saya ada di posisi sebaliknya, saya juga tidak tahu apakah saya bisa bicara seperti itu atau tidak." jelasnya Reino panjang.
Kepada detikHOT, Reino Barack juga menceritakan kehidupannya percintaannya, sebelum dan setelah menikah. Pandangannya terhadap bisnis saat ini yang berfokus pada dunia digital, serta apa yang ingin diwariskannya jika meninggal nanti. Selengkapnya, tetap di detikHOT.
(mif/dar)