Hal yang ditunggu akhirnya juga tiba, buku Belenggu Nalar rilis. Memoar yang ditulis oleh mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi mengatakan bukunya memuat seluk-beluk bagi kasus-kasus penting yang ada di Tanah Air.
Dalam peluncuran buku Belenggu Nalar di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Selatan, Laksamana Sukardi mengatakan hukum seharusnya menjadi panglima dan kebijakan yang dibuat berlandaskan hukum.
"Saya juga dikriminalisasi karena hukum cenderung digunakan untuk memenuhi birahi kekuasaan sehingga argumen dan bukti-bukti apapun yang disodorkan, sia-sia. Waktu itu karena petolongan Allah semata, saya terhindar dari jeratan hukum yang direkayasa sedemikian rupa. Ada pihak yang ingin saya dipenjara," kata Laksamana Sukardi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku Belenggu Nalar memaparkan tentang penjualan kapal tanker milik Pertamina, yang uangnya digunakan untuk membantu krisis keuangan pemerintah pada 2004. Tapi karena penjualan kapal tanker yang sudah disetujui Departemen Keuangan, menyebabkan Laksamana didiskriminalisasi.
Menurut keterangan Laksamana Sukardi, ketika itukarena negara dalam kesulitan keuangan. Pertamina yang harus berkontribusi kepada negara, akhirnya harus menjual kapal tanker yang sedang dibuat di Korea Selatan. Kapal itu sendiri sedang menjadi sita jaminan dalam sengketa antara pemerintah dan PT. Karaha Bodas. Kapal yang dibangun dengan biaya 130,8 juta US dollar, terjual 184 juta US dollar. Pertamina untung 53,2 US dollar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan audit investigasi atas penjualan kapal tanker tersebut dan dinyatakan tidak merugikan negara.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penjualan tanker itu telah merugikan negara. KPPU yang mendengar pernyataan seorang ahli mengatakan, negara mengalami kerugian berkisar 20 juta dollar hingga Rp.504 miliar.
"Celakanya ahli yang dimintai pendapat oleh KPPU hanya salesman piano, yang mengeluarkan harga taksiran jauh lebih tinggi, tanpa dasar yang jelas. Jadi saya lihat memang ada niat untuk memojokkan saya. Nalar mereka terbelenggu karena, demi birahi kekuasaan," kata Laksamana Sukardi.
Komisi III DPR yang tudak puas dengan putusan KPK, lalu membentuk Pansus. Ternyata putusan Pansus hanya menyontek putusan KPPU. Komisi III lalu meminta Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan. Pihak Kejagung yang begitu bersemangat, karena mendapat dukungan dari Komisi III DPR, sempat mempersangkakan Laksamana Sukardi.
Namun karena ada persoalan di internal Kejaksaan Agung, penanganan kasus kapal tanker tersebut dihentikan. Dalam putusan Peninjauan Kembali MA menyatakan putusan KPPU salah.
"Saya lihat di sini DPR terbelenggu nalar. Mereka tahu KPK sudah mengatakan tidak ada kerugian negara, mereka tetap ngotot," tukasnya.
(tia/tia)