Sukses dengan pameran tunggal Agus Suwage: The Theatre of Me, Museum MACAN dan penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan buku antologi dari karya sang perupa. Ada 6 penulis kenamaan Indonesia yang digandeng untuk menulis cerita dari karya-karya Agus Suwage.
Mereka adalah Erni Aladjai, Eka Kurniawan, Goenawan Mohamad, Laksmi Pamuntjak, Mahfud Ikhwan, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Mereka mendapat komisi untuk mengeksplorasi karya-karya perupa asal Yogyakarta itu ke dalam tulisan.
Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, menuturkan buku ini semacam antologi kontemporer Indonesia dan bukanlah katalog pameran seperti pada umumnya publikasi di pameran tunggal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi sebaliknya kami berupaya untuk memperluas untuk memperluas konsep terdalam dan proses dalam 'membaca' karya Agus Suwage, menarik gambaran dan simpati dengan para pemikir kritis secara bersama-sama. Untuk terlibat dengan karya Agus Suwage diperlukan eksplorasi dalam menggali kekayaan literatur dan kutipan-kutipan artistiknya, serta memahami sejarah politik di kota tempat sang perupa tinggal ketika ia berkarya," ungkap Aaron Seeto dalam keterangan yang diterima detikcom.
Eka Kurniawan mengungkapkan kekagumannya pada sosok Agus Suwage. "Dia adalah sosok seniman yang saya kagumi diam-diam, tentu saja menyenangkan dan juga menantang," katanya.
Menurut keterangan Eka, seri lukisan Ugly Self Portraits (1997) menarik perhatiannya dan menginspirasi sang novelis O itu untuk membuat esai tentang keburukan sebagai representasi dari ekspresi dan kritik diri.
![]() |
"Keburukan sendiri tidak melulu tentang eksklusi dari hal-hal yang dianggap ideal oleh masyarakat, namun dapat juga menjadi komoditas dari sudut pandang ekonomi," katanya.
Laksmi Pamuntjak yang juga mengaku sebagai pengagum karya seni Agus Suwage mengambil inspirasi dari karya berjudul Daughter of Democracy (1996) dan seri Daughter of Democracy (1996).
"Saya menulis sebuah dialog imajiner antara Agus Suwage dan Carkultera, putrinya, 26 tahun setelah karya ini dibuat. Salah satu kemewahan dalam menulis fiksi, seperti yang kita ketahui adalah kejutan-kejutan yang hadir dalam prosesnya-terdapat perenungan tentang identitas sebagai sesuatu yang diwariskan," katanya.
Sedangkan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie membuat cerita pendek lewat karya Tembok Toleransi (2012) dan Social Mirrors #3 (2013).
"Ada isu konservatisme yang jarang dibarengi dengan empati dan kepedulian akan sesama adalah tema yang selalu saya upayakan, dan kedua karya ini memiliki sentimen yang mirip," ungkapnya.
Buku antologi kontemporer Pressure and Pleasure itu telah diluncurkan di ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022 akhir pekan lalu.
(tia/wes)