Namun sebenarnya bagaimana ide awal penciptaan 'Bumi Manusia' sampai karakter-karakter tersebut hadir dan membekas di hati pembaca karya-karya sastra Pram?
Lewat akun Instagram, putri Pramoedya Ananta Toer yakni Astuti Ananta Toer membagikan ide terciptanya novel 'Bumi Manusia'. Dalam tulisan yang diberi judul 'Bumi Manusia; Simbol Kebenaran, Keberanian, Perlawanan, dan Pembebasan' yang diupload sekitar 4 jam lalu ditulis Astuti bersama dengan Aditya Ananta Toer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Di awal tulisan, seperti dikutip detikHOT, Astuti menegaskan novel 'Bumi Manusia' bukanlah cerita seperti Titanic. Di dekade 1960-an saat Pram menjadi dosen di kampus Universiteit Respublika (Universitas Trisakti), ia mewajibkan mahasiswanya untuk mengkliping koran sebagai tugas mata kuliah sejarah.
Dari situ, tercetus ide untuk membuat Ensiklopedi Indonesia dan sejarah tentang kebangkitan nasional dari pemuda Indonesia paruh tahun 1890 sampai 1918. Ia menyadari arsip tersebut membutuhkan riset mendalam dan biaya yang tak sedikit sampai didukung oleh mertuanya sendiri (Bapak dari Ibu Maemunah Thamrin).
Astuti kembali menerangkan pada 13 Oktober 1965, Pram diamankan untuk dibawa ke suatu tempat. "Pram telah berpesan kepada pihak yang mengamankan bahwa arsip miliknya jangan dimusnahkan, jika pemerintah membutuhkannya silahkan saja, asal jangan dimusnahkan," tulis Astuti.
![]() |
Dua tahun setelahnya, Pram telah mendekam mulai dari Salemba, Tangerang, Cipinang, Nusa Kambangan, Suka Miskin, hingga Pulau Buru.
Saat mendekam di Pulau Buru pada 1969-1970, tahanan politik (tapol) yang ada di sana merasa tidak ada harapan untuk menjalani masa yang akan datang. Dari situ, Pram membuat cerita secara lisan tentang seorang wanita desa yang tidak punya apa-apa, tidak punya kebisaan apa-apa menjadi sosok wanita yang kuat dan revolusioner.
Ketika mendapat mesin tik oleh penulis Sartree dan diizinkan menulis oleh Sumitro, 'Bumi Manusia' pun mulai diketik di atas kertas semen lantaran keterbatasan kertas yang dijadikan untuk menulis. Untuk tinta, ia menggunakan arang atau daun pacar yang direbus, dicelupkan pitanya lalu dijemur.
Lewat tulisan 'Tetralogi Buru', Pram membuat simbol tentang pergerakan pemuda dari tahun 1890-1910. Maka karakter Minke yang seorang Bumiputera, tak disukai Indo-Belanda, namun pengumpul arsip dan wartawan yang handal pun lahir. Annelies yang memiliki jiwa rapuh, hingga simbol gerakan dan perlawanan pun hadir lewat Nyai Ontosoroh.
(tia/doc)