Hal tersebut diungkapkan Fariq dalam program Musyawarah Buku 'Tanda bagi Tanya' di Serambi Salihara.
"Tidak seperti semangat yang diusung oleh penyair Pujangga Baru, puisi-puisi dalam buku 'Tanda bagi Tanya' tidak menampakkan perasaan yang 'bergemuruh dalam ombak'," ujar Fariq di sesi diskusi, Rabu (14/3/2018) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun mengambil metafora atau perumpaan, puisi Frischa tenang seperti riak-riak sungai. "Kalau kata Pak Sapardi, emosi yang tertata menunjukkan kematangan penyairnya," tambah Fariq.
![]() |
Di antara 33 puisi tersebut, lanjut Fariq, ada tiga puisi yang terbilang menarik dibahas ketimbang puisi lainnya yang lebih menggunakan kata 'Aku'. Ke-3 puisi tersebut adalah 'Jeruk dari Tiongkok', 'Tukang Sapu', dan 'Sekolah Hari Pertama'.
"Puisinya tampil lebih beda. Ketiga puisinya tidak ada lagi otoritas tunggal Aku dan digeser dengan peran-peran lain. Misalnya saja dalam 'Jeruk di Tiongkok', jeruk yang tadinya menjadi objek berubah menjadi subjek bercerita sendiri," tukasnya.
Frisha Aswarini dikenal sebagai penyair muda Bali yang karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Serta dibukukan dalam antologi puisi 'Couleur Femme' (Forum Jakarta-Paris, Alliance Francaise de Denpasar, 2010), 'Happiness, The Delight-Tree 2' (United Nations SRC Society of Writers, 2016).
Buku kumpulan puisi 'Tanda bagi Tanya' masih tersedia di toko-toko buku konvensional Tanah Air.
(tia/tia)