Di tulisan tersebut, seperti dilihat detikHOT, Jumat (8/9/2017), menerangkan seorang Tere Liye yang diterima masuk di STAN, memilih untuk kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Dengan dalih, janji tidak akan pernah jadi PNS karena takut korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa sih importir ini mengotot maju ke pengadilan. Simpel: pajak masuk buah adalah 20% (misalnya), pajak masuk sayuran adalah 10%. Beda banget pajaknya. Maka mereka tak sudi bayar 20%. Wah, saat importir ini ribut, bikin pengumuman di page Facebook-nya: mulai besok kami berhenti impor tomat. Hebohlah satu Amerika. Heboh banget. Banyak yg komen, ini si importir benci sama Jokowi, eh, aduh, ngelantur," tulis Tere Liye, seperti dikutip detikHOT.
Perdebatan mengenai pajak tomat, dianalogikan Tere Liye sama dengan pajak profesi penulis. Menurut Tere Liye, kata kuncinya adalah 'passive income'.
"Royalti penulis itu selalu dipahami passive income--jadi sifatnya netto. Yg kalau sudah nulis sekali, selesai sudah, penulis bisa kaya raya, selama2nya. Sama kayak Tomat yg dipahami sebagai buah, karena memang bentuknya buah," jelasnya lagi.
"Tapi apakah menulis itu begitu? Passive income? Nggak perlu ngapa2in, jadi bukunya, langsung dpt uangnya? Nggak. Siapa bilang jika seseorang punya buku, maka passive income akan mengalir seperti anak sungai? Ayolah, lihat di Indonesia, buku itu usianya paling 6-12 bulandi toko, sekali penulis tersebut berhenti menulis, maka mampet sudah aliran sungainya. Penulis harus terus me-maintain, mengelola, menjaga aliran penghasilan tersebut, dgn terus menulis buku2 berikutnya--agar buku lamanya tetap laku. Dan bicara ttg menulis, itu bukan proses pendek," tulis Tere Liye.
Sampai saat ini, persoalan pajak profesi penulis masih belum ada jalan keluarnya.
Simak artikel berikutnya!