Hasilnya dituangkan dalam buku fotografi 'Kampungku Indonesia' yang diluncurkan di Frankfurt Book Fair (FBF) 2016. Stefano merekam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan di Cirebon hingga Mojokerto sejak 2011 hingga 2014. Tak lupa ia bandingkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat urban Jakarta.
Salah satu foto yang menurutnya paling unik adalah foto tiga petani di Cirebon yang sedang pulang kerja. Mereka pulang berjalan kaki di tanah aspal yang rusak tanpa alas kaki. Bagi orang Roma, hal itu tidak bisa ditemukan di negaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Namun, yang paling mengesankannya, sepanjang proses pengambilan foto itu ia menemukan kehidupan masyarakat kampung di Jawa yang sangat damai. Bangun pagi ke kebun memetik sayuran untuk makan, setelah itu bekerja ke ladang.
"Jam sepuluh sudah bisa merokok," ucap lelaki yang menikahi perempuan Indonesia di Italia itu.
Selesai itu, orang akan bekerja kembali dan pulang menjelang pukul 16.00. Selepas maghrib, mereka tidur.
"Itu kembali berulang dan berulang esok harinya. Pagi makam mentimun, siang sudah merokok, sore pulang. Wow, benar-benar rileks," ujar pria kelahiran Roma, 1974 itu.
Kehidupan di kampung berbanding terbalik dengan di Jakarta yang penuh keriuhan. Macet, kesibukan 24 jam hingga kampung deret yang berdesakan.
![]() |
Salah satu yang ditangkapnya adalah anak-anak yang bermain di tepi bantaran kali Ciliwung di samping tumpukan sampah. Sementara di belakangnya membentang gedung pencakar langit, yang mungkin anak-anak itu tidak pernah masuk ke gedung itu.
"Itu benar-benar memberikan stres," ucap sarjana Psikologi dan Estetika, Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas La Sapienze, Roma itu.
Stefano mulai bekerja dengan kamera sejak 2009 dan banyak memotret komunitas migran dari berbagai etnis di Roma, khususnya Bangladesh, Maroko, Filipina, Thailand, dan Indonesia, dan menjadi fotografer resmi Kedutaan Indonesia dan Malaysia di Roma. Atas apa yang dirasakannya, Stefano mengaku sangat mencintai Indonesia.
"Saya pernah diminta tanda tangan sama anak-anak di desa, dikira artis," kata Stefano diiringi tawa, seraya menambahkan bahwa sebagai orang "asing" ia menggunakan bahasa tubuh dalam berkomunikasi dengan warga pedesaan. (asp/mmu)