Cerita Pendek

Hanya Dua Ekor Laba-Laba

Mumu Aloha - detikHot
Sabtu, 29 Jul 2023 11:20 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Sehabis hujan, kucing-kucing yang biasanya mendekam di trotoar seberang halte tak satu seekor pun tampak. Biasanya ada tak kurang dari lima ekor kucing di situ. Danu masih memperlambat langkahnya, dan celingukan, siapa tahu ada yang agak tersembunyi. Hari sudah lepas magrib. Udara yang lembab dan langit Jakarta yang masih mendung membuat jalanan terlihat lebih gelap. Danu biasa memberi makan kucing-kucing itu. Kadang-kadang, ketika ia lewat, sudah ada gundukan dry food yang ditaruh oleh orang lain.

Di mana kucing-kucing itu berteduh ketika hujan? Danu meninggalkan kantornya setengah enam. Kantornya terletak di bagian agak tengah kota, dan sejak sore cuaca memang sudah mendung. Tapi, sampai ia mendapatkan bus TransJakarta yang membawanya ke Halte Departemen Pertanian di ujung selatan kota, hujan belum juga turun. Baru di separo perjalanan, dari balik kaca bus, ia melihat jalanan basah. Bulan Juli mendadak terasa sangat panjang oleh cuaca yang tak bisa ditebak.

Danu lebih sering mengenakan kaos, karena ketika meninggalkan rumah pukul sembilan, udara terasa sangat panas. Tapi, siapa yang bisa menduga bila siang atau sore harinya kemudian hujan? Dan, hujannya pun tidak merata. Dari Halte Departemen Pertanian ia berjalan menuju halte di depan RSUD Pasar Minggu di sisi Jalan TB Simatupang yang pada jam-jam pulang kerja kepadatannya bikin ngilu. Danu biasanya menunggu angkot JakLingko yang akan menyambungkannya menuju ke rumahnya di Andara.

Di halte itu juga ada kucing, hanya seekor, jantan berwarna hitam kecoklatan yang gembul dengan bulu-bulu yang subur dan menggemaskan. Sungguh tidak tampak seperti kucing jalanan yang umumnya kotor dan dekil. Setiap hari, Danu membawa setoples dry food di dalam tote bag-nya yang berisi laptop, buku bacaan untuk mengisi waktu di jalanan, dan tumbler air minum. Biasanya, ketika ia tiba di halte itu, si hitam kecoklatan yang gemoy itu sedang mendekam di pot besar di sisi halte.

Halte itu selalu ramai oleh orang-orang pulang kerja yang menunggu angkutan umum. Halte itu dilewati banyak angkutan dengan beragam tujuan. Kampung Rambutan - Lebak Bulus, Ragunan - Blok M, Pasar - Minggu Velbak. Danu menunggu angkot jalur Pasar Minggu - Lenteng Agung untuk turun di Kampung Kandang. Dari situ, nyambung lagi ke arah Andara. Begitulah, hidup di Jakarta, seperti ada yang pernah bilang, kau akan menua di jalan. Berpindah dari angkot ke angkot. Tersangkut di kemacetan.

Danu masih bersyukur, tinggal di dalam kota walaupun di pinggiran selatan. Ia sering mendengar keluhan teman-temannya yang tinggal di Bekasi, Cibubur, Pamulang, bahkan hingga Cisauk (di mana itu, Danu pun tidak tahu). Untunglah, ada kucing-kucing jalanan sebagai penghibur. Bagi Danu, mereka bahkan lebih dari sekadar penghibur. Kucing-kucing itu telah menjadi teman-temannya, yang menjaga kewarasannya, dan bahkan tidak berlebihan kalau dia kadang-kadang merasa bahwa kucing-kucing itu bagian dari alasannya untuk masih terus bertahan di kota ini.

Danu tak bisa membayangkan sebuah kota sekeras Jakarta tanpa adanya kucing-kucing jalanan yang bisa disapa, diberi makan, diajak bicara, dan dielus-elus dengan penuh rasa kasih sayang. Pasti akan sangat hampa. Bukan hanya Danu saja yang punya pandangan demikian. Ternyata, Sogi juga pernah mengatakan hal yang persis sama dengan apa yang dia pikirkan.

Danu baru mengenal Sogi setahun yang lalu. Ia bertemu dengan lelaki itu di Halte Mampang Prapatan kira-kira seminggu setelah masuk kerja lagi seperti biasa. Sebelumnya, selama nyaris dua tahun penuh, Danu WFH karena pandemi. Mereka dipertemukan oleh apa yang mereka sebut "kucing penunggu Halte Mampang". Ada tiga ekor kucing di halte itu, tapi yang dua ekor tidak selalu kelihatan di dalam halte, kadang-kadang di tangga, atau bahkan di luar jauh di trotoar. Tapi, yang seekor itu, jantan berbulu putih dengan beberapa bercak kuning di punggung dan perutnya, benar-benar bisa disebut sebagai "sang penunggu".

Saat Danu turun dari bus ketika hendak menuju ke kantor, yang tak jauh dari halte itu, kucing itu ada di situ. Sorenya, ketika ia pulang, kucing itu juga selalu ada. Bulunya agak kotor, tidak terlalu gemuk, tapi kelihatan sehat. Mungkin, kucing itu juga bagian dari penghuni kota yang selamat dari badai pandemi. Ketika pertama kali melihatnya, Danu merasa mendapatkan teman baru dalam perasaan asingnya kembali mengarungi jalanan kota setelah masa WFH dinyatakan berakhir oleh kantornya.

Segalanya rasanya dimulai lagi dari nol. Kota terlihat asing, bahkan ruangan kantornya, di lantai 9 sebuah gedung tinggi, pun seperti minta dikenali kembali setiap sudutnya. Hari pertama masuk kerja, Danu mengelus kubikelnya yang berdebu dengan perasaan seorang yang menemukan kembali sebagian dari hidupnya yang telah lama hilang. Kucing penunggu halte itu merekatkannya kembali pada rutinitas yang telah terputus, dan diam-diam membantunya perlahan-lahan kembali menjadi bagian dari kesibukan dunia kerja dan hiruk-pikuk kehidupan kota.

****

Sogi jauh lebih muda dari Danu, tapi ia tampak lebih dewasa dalam hampir semua hal. Setidaknya, itulah kesan yang kemudian dirasakan Danu setelah mulai akrab dengannya. Bagi Danu, ia seperti datang dari antah berantah untuk ditakdirkan membantunya kembali ke kehidupan normal setelah pandemi.

Sejujurnya, Danu merasa sudah tidak bersemangat lagi untuk menjalani hari-harinya. Harus kembali ngantor setiap hari setelah biasanya pada pagi hari ia bisa bersantai, membuka laptopnya dengan hanya bercelana pendek, bertelanjang dada, dan duduk di depan meja di sisi tempat tidurnya di kontrakan satu petak memajang yang hangat dan nyaman, penuh buku dan cukup riuh dengan tiga ekor kucing peliharaannya.

Bahkan, teman-teman sekantornya sendiri pun rasanya menjadi asing baginya. Mengapa dunia bisa begitu berubah oleh sebuah wabah yang tak kasat mata, tapi efeknya sangat terasa, sangat memilukan, dan membuat orang-orang kehilangan sebagian dari kehidupan yang sangat dicintainya? Danu sering berpikir, setelah semua itu, untuk apa lagi sih hidup ini masih harus dilanjutkan?

Kenapa tidak semuanya hancur saja, luluh lantak semua yang ada, lenyap, terkubur, tertimbun, tanpa ada yang tersisa, dan tak usah lagi ada kehidupan? Kenapa harus ada yang bertahan hanya untuk menanggung beban duka dari rasa kehilangan akibat kehancuran?

"Tak perlu seserius itu menanggapinya," kata Sogi ketika suatu kali Danu tak tahan untuk memendam sendirian keluh kesahnya. "Justru pandemi kemarin itu mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu ya memang cuma seperti ini, tidak ada yang perlu dianggap penting, tidak ada yang perlu terlalu dikejar, karena tidak ada yang pasti, dan semua bisa berubah pada suatu pagi ketika kita bangun tidur," lanjutnya.

Sogi selalu punya lebih banyak kata-kata dari yang seharusnya disampaikan. Bagi Danu yang tergolong pendiam, itu sangat menolong. Hidup rasanya jadi tak terlalu sepi lagi, karena kadang hanya dipancing dengan keluhan pendek, atau pertanyaan singkat, Sogi bisa memberikan respons melebihi dari yang bisa diharapkan. Bahkan, kadang tanpa dipancing pun, Sogi selalu punya kata-kata untuk memecah kediaman. Barangkali itulah yang membuat mereka, dua lelaki saling asing di suatu titik persilangan kota tempat bus-bus TransJakarta berhenti untuk menumpahkan dan mengangkut penumpang, bisa saling mengenal, sebelum akhirnya boleh dibilang menjadi teman.

Kota ini ibarat jaring laba-laba raksasa, di mana penghuninya bergerak di lingkar benang masing-masing. Ada saat ketika satu sama lain bersinggungan di labirin-labirin benang yang sama, tapi berapa dari mereka yang akhirnya, untuk suatu alasan, berkenalan dan berteman? Sebagian sangat besar akan tetap saling asing selamanya, nyaman di labirin benang-benang yang dianyamnya sendiri.

Danu nyaris seperti itu; tidak ingin terjerat ke dalam jaring yang lain. Tapi, takdir tak pernah bisa disangka, seperti juga pandemi, datang tiba-tiba; takdir yang mewujud sebagai sosok seekor kucing, yang --seperti penghuni kota lainnya-- barangkali juga bangkit dari sekarat setelah ditinggalkan oleh manusia-manusia yang mengurung diri di dalam rumah-rumah mereka. Bersamaan dengan itu, Danu harus keluar lagi dari rumahnya, dan kucing itu mempertemukannya dengan Sogi, laba-laba dari labirin jaring yang tak pernah dilihatnya, atau mungkin pernah, pada tahun-tahun sebelumnya, tapi tangan-tangan takdir baru kali ini menjerat mereka dengan tali yang sama.

Danu sedang berjongkok menuangkan dry food dari toples, dan si kucing penungggu yang sedang meringkuk itu langsung bangkit menyambut, ketika dari belakang didengarnya sebuah suara.

"Dikasih dry food apa itu, Mas?"

Danu menoleh, memandang sepersekian detik ke pemilik suara itu, kemudian menyebutkan merek yang biasa dia beli.

"Oh, sama kalau begitu, aku juga biasa memberinya itu."

Kali ini Danu menoleh lebih lama. Seorang lelaki berkemeja dengan tas selempang kecil di dadanya, terlihat tinggi, membungkuk di belakangnya. Sesaat kemudian, dia juga berjongkok di sisi Danu, mengelus si penunggu halte yang sedang makan.

"Sering memberi dia makan juga?" tanya Danu.

"Iya, kalau pas kebetulan lewat sini. Dia sudah hafal sama saya," jawab lelaki itu tanpa melihat ke arah Danu, dan terus mengelus punggung si kucing.

Mereka ternyata naik bus Transjakarta yang sama. Mereka berdiri bersisian.

"Di rumah juga punya kucing?" lelaki itu membuka percakapan.

"Iya, ada tiga."

"Saya cuma punya satu, tapi lumayan, bisa jadi teman si kecil."

"Si kecil?"

"Anak saya, masih balita. Dia suka sekali."

Mereka terus mengobrol sepanjang perjalanan. Lelaki itu banyak bertanya. Danu menjawab seperlunya, dan nyaris selalu ragu untuk melontarkan pertanyaan balik. Tapi, lelaki itu selalu bisa menyambung dengan obrolan berikutnya. Dia sempat meminta nomer WA sebelum Danu turun di Halte Departemen Pertanian. Sesaat Danu merasa ragu dan agak janggal, tapi akhirnya menyebutkan sederet angka tanpa merasa harus punya pikiran macam-macam. Danu tidak sempat mengatakan apa-apa lagi ketika melihat bahwa lelaki itu tidak turun. Masih satu halte lagi. Berarti ia turun di halte terakhir, Ragunan.

Ketika Danu sampai di Halte RSUD Pasar Minggu, dan langsung memberi makan si gemoy, HP-nya berbunyi. Tapi belum sempat ia mengeluarkannya dari saku celana, bunyi itu sudah berhenti. Ketika ia mengecek, rupanya ada miss-call via WA dan sebuah pesan: Mas, ini saya, yang tadi, ini nomer saya, save ya, nama saya Sogi.

Danu hanya menjawab 'oke', dan tak pernah memikirkannya lagi atau mengingatnya. Hanya orang iseng, pikirnya. Tapi, dua hari kemudian Sogi kirim pesan WA dengan pertanyaan yang membuat Danu heran. "Mas suka pijat nggak?"

Bingung harus menjawab apa, akhirnya ia membalas dengan balik bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Kalau suka, bisa dengan saya, nanti saya kirim penawaran paket-paketnya, bisa pilih."

Lalu, Sogi membombardir dengan pesan-pesan yang lumayan panjang. Dia bercerita bahwa dulunya dia bekerja sebagai pramuniaga di sebuah gerai brand pakaian asing yang terkenal. Lalu, cerita yang sudah sering didengarnya tentang dampak pandemi; gara-gara pandemi dia kena PHK. Danu penasaran kenapa ia memilih banting stir menjadi tukang pijat. Tapi, cerita lainnya lebih menarik perhatiannya, bahwa dia harus menafkahi istri dan anaknya yang masih kecil. Danu mengartikan bahwa sebenarnya Sogi tidak sedang menawarinya jasa pijat, tapi setengah membujuknya untuk membantunya.

Tak sulit bagi Danu untuk membayangkan situasinya, dan langsung bersimpati. Tanpa pikir panjang, Danu membalas pesan-pesan panjang Sogi, bahwa intinya dia menerima tawaran untuk dipijat. Danu meminta Sogi datang ke rumahnya pada akhir pekan. Ketika melihatnya lagi untuk kedua kalinya setelah pertemuan di Halte Mampang, Danu baru memperhatikan bahwa Sogi tampak jauh lebih muda dari usianya.

Danu menaksir, umurnya belum genap tiga puluh. Mungkin dua puluh tujuh atau dua puluh delapan. Dan, dari caranya berpakaian, kasual, santai, dengan celana dan kaos yang tampak serba ketat membungkus tubuhnya, dan melapisinya dengan kemeja yang tidak dikancingkan, tidak bakal ada yang bisa menduga sama sama sekali bahwa dia seorang bapak dari satu anak. Wajahnya bersih dan halus seperti anak-anak, tapi coklat agak gelap layaknya lelaki dewasa yang telah melewati berbagai kesulitan hidup, dengan pipi yang agak chubby, memperlihatkan bahwa dia orang yang mudah merasa bahagia dengan apa yang didapatkannya. Perutnya tidak terlalu rata, dan ketika ia membuka kemejanya, Danu melihat lengannya yang tampak tidak pernah tersentuh gerakan olahraga.

Tanpa terlalu banyak bicara, ia pun dengan ramah minta izin untuk mulai memijat, setelah sedikit obrolan basa-basi --pertanyaan, Mas tinggal sendiri? dan sebuah pernyataan "rumahnya menyenangkan", sambil mengedarkan pandangan ke dinding-dinding penuh gambar yang diambil dari potongan di majalah dan dibingkai dengan estetis.

***

Danu tinggal sendiri, berumur 42 tahun, dan tidak menikah. Itu selalu diucapkannya sendiri; setiap ditanya orang, dia tidak akan menjawab 'belum' tapi 'tidak'. Sebagai seorang bujang ia kerap tak habis pikir bagaimana orang-orang di media sosial kerap menjadikan isu ini sebagai sesuatu yang sangat gawat. Ia sendiri menjalaninya dengan santai dan sejauh ini merasa baik-baik saja. Ia menyukai urusan-urusan rumah tangga seperti memasak, dan selalu membanggakan diri bahwa dirinya bisa menyeduh kopi yang enak. Untuk urusan mencuci pakaian ia menyerahkannya ke laundry kiloan dekat rumah.

Sebagai seorang lelaki yang hidup sendiri Danu tidak terlalu memperhatikan soal kebersihan. Jarang mengganti sprei dan mengepel lantai hanya seminggu sekali. Ia membiarkan tiga ekor kucingnya berlarian di dalam rumah, makan di pojokan, dan tak pernah menghiraukan ceceran dry food yang diserbu semut hingga binatang-binatang kecil yang selalu datang entah dari mana itu menghilang sendiri, dan besok akan datang lagi.

Danu tak pernah merasa kesepian walaupun termasuk jarang bepergian, dekat maupun jauh. Ia juga tidak terlalu gemar menonton acara TV atau serial-serial film yang ramai dibicarakan orang. Ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca buku --buku-buku motivasi, novel detektif Jepang, hingga buku resep masakan yang hanya ia nikmati gambar-gambarnya saja tanpa pernah dipraktikkan.

Di sela-sela itu, ia lebih banyak rebahan sambil melihat video-video lucu dan receh di media sosial, potongan-potongan podcast yang tak berisi, hingga klip musik tahun 80-an yang nostalgis, mencari-cari foto gadis gadis-gadis China setengah telanjang dan menge-save atau men-screenshoot-nya, dan kadang-kadang juga tergoda untuk mengintip foto-foto pria Filipina atau Vietnam yang entah kenapa juga kerap menarik perhatiannya. Baginya semua tubuh telanjang itu sama saja, keindahan yang menghibur hati, membangkitkan nafsu, dan menggetarkan perasaan-perasaan terpendam yang tak ingin diakuinya. Kadang ia mendapati foto remaja-remaja lelaki Jepang dalam pakaian tidur perempuan yang seksi dan menyukainya. Dia menikmati semua itu tanpa pernah merasa ada yang aneh dengan dirinya.

Jika ia merasa bosan atau kesepian, itu bukan lantaran tidak adanya pasangan di rumahnya, melainkan karena ia merasa bahwa kadang-kadang bulan-bulan tertentu terasa begitu panjang seolah tak akan pernah berakhir, dan hari-hari tertentu juga lebih panjang dibandingkan dengan hari lainnya. Tapi, sebenarnya tidak ada bedanya, terasa cepat atau lambat, ketika waktu berlalu dari akhir pekan ketemu akhir pekan lagi, baginya itu sudah cukup.

Danu tak pernah memikirkan sejak kapan ia punya gagasan untuk tidak menikah, dan dari mana gagasan itu datang. Semua rasanya melekat begitu saja pada dirinya sebagai suatu keyakinan yang wajar untuk dijalani. Ia pernah mencoba-coba bertemu dengan perempuan yang match di aplikasi kencan, dan semua berakhir tanpa kepuasan. Danu orang yang praktis, sementara kebanyakan perempuan yang ditemuinya rata-rata datang dengan berbagai syarat. Ia merasa tidak cocok dengan kebersamaan yang mengikat. Hidup ini akan lebih mudah dijalani jika semua hal dilakukan secara transaksional saja, sesuai kesepakatan di awal.

Ia pernah, beberapa kali, membayar perempuan di Tinder, dan lagi-lagi merasa tidak puas, bukan karena perempuan-perempuan itu tidak secantik fotonya atau ternyata tidak sesuai seleranya, melainkan lebih karena alasan yang lagi-lagi bersifat praktis. Mereka selalu mengiklankan diri dengan janji-janji "main santai rasa pacar", tapi faktanya mereka selalu sangat buru-buru. Bahkan kebanyakan menolak untuk dicium bibirnya.

Terdorong untuk untuk mencoba sesuatu yang baru, Danu kemudian mulai berburu lelaki yang menjajakan dirinya sebagai escort, dan hasilnya setali tiga uang. Orang-orang seperti itu hanya menginginkan uang, tidak bisa lebih dari itu --mereka bukan sumber kesenangan praktis yang dibayangkan oleh Danu, dan sebaliknya hanya menimbulkan kekecewaan dan kejengkelan saja. Danu sering membaca berita kasus-kasus kriminal yang berawal dari pertemuan dua orang yang berkenalan di aplikasi kencan maupun platform-platform yang banyak digunakan orang untuk open BO. Tapi untungnya dia belum pernah terperosok dalam masalah serius, paling-paling mereka ada yang menghubunginya untuk pinjam uang atau minta diisikan paket pulsa internet, dan ia bisa mengabaikannya.

Danu bukan orang yang royal dan mudah dirayu. Jika hidup hanyalah untuk kesenangan-kesenangan kecil sesaat, maka Danu sangat tahu bagaimana mendapatkan kesenangan itu dengan cara-cara yang tak akan membawanya ke dalam kesulitan. Danu selalu berkeyakinan bahwa hidup ini bisa dijalani dengan cara apa saja sesuai keinginan, dan hanya diri sendirilah yang tahu keinginan itu dan bagaimana cara mendapatkannya sesuai kemampuan. Baginya itulah kebebasan yang sejati. Bahwa ada ongkos yang harus dibayar untuk itu, bukan hanya soal uang, melainkan perasaan hampa, kosong, tak bermakna, dan kesepian, semua itu hanya konsekuensi yang bisa selalu diatasi dan bukan sesuatu yang buruk-buruk amat. Danu tidak pernah meributkan apa yang selalu dia anggap sebagai "masalah-masalah teknis".

Danu akhirnya memutuskan untuk mengakhiri petualangannya --mungkin lebih tepat keisengannya-- walaupun kadang sesekali masih juga tergoda. Ia masih membuka-buka aplikasi kencan dan platform tempat perempuan-perempuan menjajakan diri, tapi hanya untuk melihat-lihat profil mereka saja, seperti berjalan-jalan di mall dan melihat-lihat barang-barang yang menarik di etalase gerai-gerai yang gemerlap tanpa berniat untuk membelinya.

Teknologi memberikan kesenangan dengan cara yang mudah, tanpa harus mengeluarkan lebih banyak usaha. Ia senang memandangi foto-foto profil orang-orang dalam pose-pose yang seolah memperlihatkan betapa makmur dan sentausa hidup mereka.

Ketika Sogi merunduk untuk mulai memijat di bagian ujung kaki, Danu mencium aroma harum parfum yang lembut meruap dan membuyarkan lamunannya. Selama memijat, Sogi bercerita lebih banyak lagi dibandingkan dengan yang telah diungkapkan lewat rentetan pesan-pesan WA sebelumnya. Bahwa sekarang ini sulit sekali mencari tamu. Terlalu banyak orang iseng di media sosial. Dan, bahkan tak sedikit juga yang berniat jahat. Masih biasa kalau malah ada yang mengajaknya berkenalan, lebih parah lagi tidak sedikit yang minta dikirimi foto telanjang. "Saya ini benar-benar sedang nyari duit," keluhnya.

Danu hanya mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa. Tapi, kemudian ia ingat rasa penasarannya, kenapa dia milih menjadi tukang pijat setelah di-PHK. Sogi cerita, semua itu gara-gara pertemuannya dengan seorang desainer dari luar Jawa yang sedang menghadiri acara fashion week di Jakarta, dan mengisi waktu luang dengan berbelanja di gerai tempat Sogi menjadi pramuniaga. Malam itu Sogi sedang jaga. Si desainer itu, seorang lelaki awal 50-an tahun, mengajaknya berkenalan.

"Dia minta saya untuk datang ke hotelnya sepulang kerja. Katanya dia butuh teman ngobrol. Saya ya mau saja. Jujur, karena saya butuh duit dan dia bilang akan membayar saya, dan berkali-kali berjanji hanya akan minta saya untuk menemani ngobrol. Jadi saya ya percaya saja, karena kelihatannya orangnya memang baik."

"Dan, ternyata?"

"Ternyata memang baik banget. Saya benar-benar hanya diajak ngobrol ngalor-ngidul."

"Tidak diapa-apain?"

"Tidak diapa-apain. Sejak itu setiap kali ke Jakarta dia kontak saya dan minta ditemani. Tidak hanya di hotel, tapi juga jalan-jalan dan belanja bahan ke Tanah Abang. Dia lumayan sering ke Jakarta. Waktu itu istri saya lagi hamil, dan akhirnya dia yang membiayai lahiran, membelikan susu, dan sebagainya. Dia juga yang membantu saya ketika akhirnya kena PHK, dan menyarankan saya open BO."

"Kenapa dia menyarankan itu?"

"Katanya saya cakep, pasti banyak yang suka."

"Kenapa dia tidak menjadikanmu pacar saja?"

"Dia punya istri, Mas. Lagi pula kan dia jauh."

"Di mana sih?"

"Makassar."

"Tapi misalnya dia minta kamu jadi pacarnya, kamu mau?"

"Apa bedanya, Mas? Setiap dia ke Jakarta pasti minta ditemani dan saya dikasih duit. Dan orangnya nggak aneh-aneh. Kalau saya menemaninya di hotel saya benar-benar nggak diapa-apain. Ya paling dipeluk-peluk doang."

Danu mendengarkan tanpa merasa perlu untuk mengomentari atau mempertanyakan kebenaran cerita itu. Sogi menuturkan semua itu dengan polos dan cukup blak-blakan tanpa terkesan dibuat-buat atau dikarang-karang. Semua menjadi terdengar sangat wajar, setidaknya itulah yang ada di pikiran Danu, bahwa Sogi menganggap apa yang dilakukannya hal yang lazim saja. Sampai titik itu, Danu terpancing.

"Kamu nggak merasa, maaf, jijik dipeluk-peluk pria?"

"Yah, Mas, cuma dipeluk doang! Yang penting saya dikasih duit. Mas Toni orangnya baik."

"O, namanya Toni."

Sogi sudah menyelesaikan pijitan sampai ke bagian atas, dan ia meminta Danu untuk membalikkan badan.

"Jadi, akhirnya kamu open BO?"

"Saran Mas Toni sih saya belajar mijit. Jadi saya buka massage dan open BO. Katanya, banyak orang seperti dirinya, dari luar Jawa datang ke Jakarta karena suatu acara, menginap di hotel, dan butuh pijat. Nah, nanti ditawari servis lebih kalau mau."

Danu tidak ingin berlagak bodoh. Dia paham servis macam apa yang dimaksud. Sejak itu, Danu menjadi laba-laba yang masuk ke tali jerat Sogi tanpa bisa menghindar lagi. Hampir seminggu sekali ia menerima kedatangan Sogi. Ia menyukai pijatannya. Untuk ukuran orang yang belajar otodidak, dia terbilang seorang pemijat yang andal. Terlatih dan profesional. Tidak hanya menekan-nekan dan mengelus-elus, tapi benar-benar memijit dengan sepenuh tenaga. Tekanannya kuat tapi tidak menyakitkan. dan, tidak terburu-buru. Setiap habis dipijat badan Danu terasa segar dan ia seperti menemukan semangatnya kembali untuk menjalani rutinitas yang pernah terputus dan harus disambung lagi.

Lalu, tanpa disadari, atau sebenarnya justru sangat disadari tapi tanpa pernah ditimbang dan dipertanyakan lagi, semuanya telah menjadi kebiasaan baru dalam hidup Danu. Sogi datang seminggu atau dua minggu sekali. Lebih dari itu, dia juga teman bicara yang bisa mengimbangi lawan bicaranya. Hingga lama-lama, Sogi telah menjadi seperti teman yang sudah lama sekali menjalin hubungan, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan dia adalah orang terdekat dalam kehidupan Danu saat ini.

Semua berjalan wajar ketika Sogi telah melebihi sekadar tukang pijat yang datang ke rumahnya secara berkala; perlahan-lahan laki-laki itu menjelma menjadi segalanya bagi Danu, hingga membuat Danu berpikir, bahwa barangkali dirinya bisa dikatakan sebagai "Toni kedua" bagi Sogi.

Sogi jadi lebih sering datang tidak lagi untuk memijat, tapi untuk menjemput Danu dan menemaninya nonton film di bioskop, ngopi di kafe, makan di restauran, bahkan lama-lama mulai ada ide untuk berlibur di akhir pekan dan menginap di hotel di luar kota. Semua dengan perhitungan dan bayaran yang sama persis dengan ketika Sogi memijat dan memberinya servis. Tak ada yang aneh bagi Danu.

Di usianya yang sekarang, seorang pekerja kantoran dengan gaji yang mapan, profesional di bidang pemasaran digital, lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang-ruang maya media sosial, Danu akhirnya menemukan cara menikmati hidup tanpa keluhan-keluhan tentang kebosanan, kesepian, dan kehampaan. Ada ruang kosong yang kini telah terisi. Berapapun ia harus membayarnya. Siapa bilang kebahagiaan tidak bisa dibeli? Selama ada yang menjualnya, apapun bisa didapatkan dengan uang. Hidup ini hanya masalah-masalah teknis dan transaksional.

Pandemi kemarin itu mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu yang memang cuma seperti ini. Hanya dua ekor laba-laba di jaring raksasa, pikir Danu. Tidak ada yang pasti, dan semua bisa berubah pada suatu pagi ketika kita bangun tidur. Dua ekor laba-laba di jaring raksasa yang dulu saling asing, kini telah menjadi sepasang yang seolah tak terpisahkan dalam jalinan benang-benang yang mengikat kaki-kaki mereka dengan erat. Dua ekor laba-laba yang telah mengarungi rumitnya jaring-jaring, kini berjalan beriring, menganyam tali-tali baru, menjadi labirin-labirin yang hangat, tempat keduanya saling menjerat.

***

"Mas, Rico dua minggu lagi ulang tahun. Genap lima tahun. Nanti akan ada pesta kecil-kecilan. Mas ke rumah ya. Sekalian saya kenalin sama istri saya."

Danu tertegun membaca pesan itu. Ia sedang menunggu bus di Halte Mampang. Teringat pertemuan pertama dengan Sogi. Ada perasaan gembira yang sulit dijelaskan, tapi Danu menikmatinya. Ia pun segera menjawab dengan antusias. "Mau dibawakan kado apa?"

"Tidak usah repot-repot, Mas...Mas datang saja saya sudah senang."

Dua minggu kemudian Danu benar-benar datang. Sogi tinggal di sebuah rumah yang awalnya dia kontrak, tapi kemudian dijual oleh pemiliknya dan dia beli dengan dicicil. Sampai sekarang cicilan itu belum luas, tapi pemiliknya tidak terlalu mengejar-ngejar. Rumah mungil dengan dua kamar di tengah kampung padat di daerah pinggiran Depok. Ternyata adik Sogi juga tinggal di situ. Dia gadis remaja yang baru lulus SMA dan diterima kerja di gerai tempat dulu Sogi bekerja. Itu juga berkat bantuan Sogi. Sehabis pandemi, Sogi sebenarnya diminta kerja kembali, tapi ia mengajukan adiknya.

Istri Sogi seorang perempuan agak pendek, berkulit putih dengan pembawaan yang ramah dan mudah akrab. Dalam dandanan yang tak berlebihan, ia tampak cantik dan anggun, keliatan bahwa dia memang tahu caranya mendadani dirinya dengan pakaian dan sentuhan make up yang serasi. Siapapun akan tertarik melihatnya.

Danu menjabat tangannya, dan perempuan itu mengucapkan kata-kata bahwa Sogi sudah sering bercerita tentang dirinya. "Akhirnya bisa ketemu..." katanya. Namanya Silvia. Lalu mereka berbasa-basi dan ramah tamah seperlunya, sebelum kemudian dia minta izin untuk kembali mendampingi Rico.

Acara berlangsung meriah. Adik Sogi menjadi pemandu untuk anak-anak. Ada berbagai permainan berhadiah yang meriah. Sogi tidak banyak bicara. Ketika menghampiri Danu, ia berbisik. "Istri saya cantik kan, Mas?"

"Iya, cantik."

Danu melihat ke arah istri Sogi yang sedang mendampingi si kecil. Ada saat ketika ia merasa agak asing berada di tengah kemeriahan acara ulang tahun itu. Siapa dirinya di sini? Apa yang dipikirkan Silvia tentang dirinya? Danu melihat Sogi melangkah ke tengah ruangan, dan duduk di samping Rico. Anak kecil itu tampak begitu riang di tengah kehadiran teman-temannya yang sedang bergembira. Rico tampan, mungil, riang, dan banyak bergerak, dengan baju dan sepatu yang mudah dikenali Danu berasal dari merek-merek terkenal dan lumayan mahal.

Acara selesai menjelang sore. Silvia dan Rico menghampiri Danu. "Jadi, kapan nih Mas kita nginep di luar kota bertiga?" tanya Silvia setengah berbisik.

Danu melirik ke arah Sogi. Lelaki itu tersenyum tipis, nyaris hambar tapi penuh isyarat. Danu segera menyadari, Silvia hanya bercanda. Tapi kemudian Sogi mendekatkan bibirnya ke telinga Danu. "Iya, Mas, sepertinya seru tuh."

Kali ini Danu menoleh ke arah Silvia. Perempuan itu tersenyum lebar. Matanya mengerjap, menatap bergantian ke arah Sogi dan Danu. Untuk pertama kalinya Danu menyadari, Silvia punya mata yang sangat indah. Bulat, dengan tatapan yang tajam; bening, dengan benang-benang transparan seperti sarang laba-laba. Apakah Danu baru saja dijeratnya?

Keterangan:

WFH = work from home, bekerja dari rumah

Open BO = open booking out; berkonotasi dengan dunia prostitusi online

Mumu Aloha cerpennya antara lain terhimpun dalam antologi bersama 'Rahasia Bulan' (Gramedia, 2006) dan 'Perempuan yang Melukis Wajah' (Gramedia, 2018); buku terbarunya sebuah kumpulan kolom berjudul 'Ilmu Mendatangkan Angin dan Hujan' (Diva Press, 2023)



Simak Video "Video: Potret Busana Pernikahan Jeff Bezos dan Lauren Sanchez di Italia"

(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork