Sang Pewaris

Cerita Pendek

Sang Pewaris

Sasetya Wilutama - detikHot
Jumat, 31 Mar 2023 15:54 WIB
ilustrasi cerpen
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Kali ini bapak benar-benar sakit. Melihat kondisinya sekarang, aku hampir tidak percaya jika tubuh tinggal tulang yang terbujur lemah itu bapak. Padahal lima tahun lampau, bapak masih seorang primadona.

Bapak dulu bintang andalan di grup Reog "Singo Teruno". Jika memainkan topeng Singo Barong atau Dadak Merak, bapak seolah menjelma makhluk dari dimensi lain berkepala harimau bermahkota bulu burung Merak yang sedang mekar. Gahar tapi mempesona.

Sulit membayangkan, bagaimana topeng yang berbobot lima puluh kilogram itu diangkat dan dimainkan hanya menggunakan kekuatan gigi. Bahkan seringkali seorang penari kuda lumping naik di atas kepala harimau sambil menari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bapak mewarisi kehebatan almarhum kakek yang juga primadona reog. Sayang tak satupun anaknya yang mengikuti jejaknya. Jika beliau tanggapan pentas, tidak pernah mengajak atau melibatkan kami.

"Bapakmu itu disantet orang, Sur." ucap emak seolah putus asa

"Apakah bapak punya musuh?"

"Tanyalah bapakmu!"

Tapi aku tidak bertanya hal itu ke bapak. Aku yakin penyakitnya bukan karena santet. Bapak tidak pernah kelihatan punya musuh dan beliau terlalu tangguh untuk dilumpuhkan dengan cara itu. Aku lebih yakin penyakit bapak karena gaya hidupnya yang sembrono.

ADVERTISEMENT

Seringkali bapak tidak pulang beberapa hari karena pentas reog di berbagai tempat. Jika tak ada jadwal pentas, beliau suka begadang dengan teman-temannya sampai hampir pagi. Sering kulihat bapak menenggak beberapa botol minuman keras.

Hal ini tidak pernah kuceritakan ke emak. Ada semacam perjanjian tak tertulis sesama lelaki, bahwa apapun kenakalan lelaki di luar rumah tak perlu diceritakan di rumah. Selain itu frustrasi yang mendalam ikut memperparah penyakit bapak.

Saat pandemi lalu bapak kehilangan sumber penghasilannya. Selain harus kehilangan pekerjaan sebagai tenaga keamanan di tempat hiburan malam, undangan pentas kesenian reog juga lenyap selama lebih tiga tahun. Pemerintah sangat membatasi mobilitas warga dan menolak ijin semua pertunjukan seni yang mendatangkan massa. Ini hal yang sangat berat bagi para pelaku seni, termasuk bapak.

Kini, usai pandemi, ekonomi mulai bangkit. Pertunjukan Reog dan kesenian lainnya mulai ramai. Kuceritakan kabar baik itu ke bapak agar bangkit semangatnya untuk sembuh. .

"Minggu depan ada reog di kelurahan. Bapak harus sembuh agar bisa nonton dan main lagi."

Ada nyalang dan rona gembira di pandangan bapak. Mulutnya tampak bergerak-gerak, mengucapkan kalimat. Aku harus lebih mendekat ke wajahnya agar lebih jelas kutangkap apa maksudnya.

"Kamu harus ajak aku ke sana." Itu kalimat yang kudengar.

Tapi menyesal juga memberitakan kabar pentas reog itu. Hampir tiap jam bapak bertanya kapan pentas reog itu berlangsung.

"Makanya bapak harus mau makan biar cepat sembuh dan bisa kuajak."

Rayuanku berhasil juga. Beberapa hari ini makanan yang kusuapi selalu habis. Padahal biasanya hanya dua sendok bapak sudah tidak mau lagi menelan.

Dan, seminggu kemudian lamat-lamat kudengar suara tabuhan, tahulah aku bahwa pentas reog itu sudah berlangsung. Suara tabuhan itu makin lama mendekat, makin keras. Arak-arakan rombongan reog melewati jalan depan rumah. Bapak kelihatan sangat gembira. Seperti ada kekuatan baru, bapak berusaha bangkit, berpegang tembok, mencari pegangan apa saja agar tidak rebah.

Emak kaget melihat tingkah bapak dan tampak marah, mencengkeram tubuh bapak, ditidurkan lagi. "Bapak masih sakit. Nggak usah ke sana!" kata emak.

Tapi bapak meronta, berusaha keras bangun lagi. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku sambil mulutnya bergerak-gerak. Suaranya hampir tak kedengaran karena tertelan oleh bunyi gamelan reog yang terus bertalu-talu. Mungkin bapak menagih janjiku tempo hari yang akan mengajaknya nonton pentas reog. Aku jadi serba salah.

"Kamu jangan keluar, Pak. Nggak rela aku!" sergah emak ke bapak. Lalu emak menghardikku, "Kamu gila ya, Sur! Sudah tahu bapakmu kondisinya seperti itu malah kamu ajak nonton!"

Bapak terus meronta. Matanya tampak marah memandang emak. Tapi emak tidak peduli, terus menekan tubuh bapak agar tidak liar meronta. Kalah tenaga, bapak tak lagi meronta. Tapi air matanya deras, menangis seperti anak kecil yang kecewa karena tidak dibelikan mainan.

"Aku ini sayang sama sampeyan, Pak. Kelak jika benar-benar sembuh, sampeyan boleh nonton atau main reog lagi," kata emak.

Tapi bapak tidak mau mendengar. Begitu tenaganya pulih lagi, ia meronta dan berusaha turun dari ranjang.

"Kasihan bapak. Mungkin jika dibolehkan nonton malah bisa sembuh," kataku pada emak. Bapak terus meronta. Emak mendengar kataku, disamping kewalahan dan mungkin juga mulai lelah menahan beban tubuh bapak.

"Baiklah. Tapi sebentar saja." Akhirnya emak mengalah.

Bapak kelihatan girang. Kugendong tubuhnya di punggungku dan kubawa keluar menjemput tetabuhan reog di lapangan. Kerumunan penonton memadati lapangan kelurahan. Melihat bapak di gendonganku, si pimpinan grup tergopoh menjemput.

"Pandemi sudah berakhir, Kang. Waktunya eksis lagi. Cepatlah sembuh dan sampeyan harus main lagi," kata si pimpinan itu sambil menepuk-nepuk pundak bapak. Aku ikut tersanjung. Nama bapak masih berkibar di komunitas seniman reog.

Berada di tengah sesama seniman itu, bapak merasa sangat bahagia. Aku bisa merasakan kegembiraan bapak walaupun tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. Musik gamelan terus bertalu, entakan irama kendang jadi lebih dinamis.

Penari reog meliuk-liuk sambil mengangkat beban topeng Dadak Merak melalui giginya, dikitari atraksi salto penari Bujangganong. Mataku terus menatap dengan kagum kekuatan penari Dadak Merak itu sampai tak sadar ketua reog sudah ada di depanku,

"Menarilah untuk kesembuhan bapakmu" katanya sambil memasangkan topeng Bujangganong ke wajahku.

"Lho, aku tidak bisa menari, Pak."

"Kamu bisa, sudahlah, asal menari saja. Biar bapakmu senang. Kamu ini pewaris. Pasti bisa!"

Aku menoleh ke belakang. Bapak mengangguk angguk sambil tertawa.

"Menari, menari. Ya, kamu pewarisku," kata bapak. Walaupun lirih tapi aku mendengar suaranya.

Ragu aku melangkah. Pandanganku jadi terbatas karena wajah tertutup topeng. Jika bukan semata ingin menyenangkan hati bapak, tidak mungkin aku mengiyakan perintah sang pimpinan reog. Dan aku mulai menari, entah gerakan apa dan bapak tetap di gendonganku.

Suara terompet berpadu dengan entakan kendang dan angklung. Aku terus menari mengikuti irama. Semakin lama suara terompet itu seperti mengandung kekuatan mistis tertentu yang menyedot jiwa. Di balik topeng, aku melihat pimpinan reog tertawa dan mengacungkan dua ibu jarinya.

Aku terus menari, hanyut oleh suara terompet yang meliuk-liuk dan hentakan jiwa yang seolah lepas dari semua beban. Kurasa topeng ini mulai basah. Dan, saat musik berhenti tiba-tiba dan pimpinan reog mendekapku, tahulah aku bahwa tarian telah berakhir.

Si pimpinan reog mencopot topeng dan mengelap mataku yang basah oleh air mata, kemudian membantu menurunkan bapak yang masih lekat di gendonganku. Wajah bapak nampak tersenyum tapi pucat seperti kapas dan setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Saat kesadaranku pulih kembali, kusadari berada dalam iring-iringan panjang menuju jalan pulang. Seseorang memapahku dan tak ada satu pun yang bersuara. Pimpinan grup menggendong tubuh bapak yang diam tak bergerak. Iring-iringan itu terus berjalan mengantar sang primadona dan sang pewaris pulang. Tiba tiba kusadari bahwa aku adalah sang pewaris.

Surabaya, 2023

Sasetya Wilutama kelahiran Surabaya, 31 Agustus 1963; menulis dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia




(mmu/mmu)

Hide Ads