Jika aku bisa bertemu kembali denganmu, aku ingin kita bertemu di Vienna Woods. Meskipun aku tahu, kau tak akan datang, kau telah pergi, jauh meninggalkan Vienna, jauh meninggalkan Austria yang sendu.
Aku selalu ingat ketika kau masih di sini bersamaku. "Ayo kita menari bersama di Vienna," katamu meniru syair sebuah lagu dari Leonard Cohen. Maka kita pun menari di tepian Sungai Triesting layaknya sepasang kekasih di orkestra Opera Ball.
Lalu tiba-tiba kau menarik tanganku, mengajakku berjalan lebih jauh. Kita bergandengan tangan melewati Gereja Leonardi, menyusuri pohon beech di sekelilingnya dan menuju Bukit Schopfl. Sampai akhirnya kita duduk berangkulan di pohon oak, menghadap barat ke bebatuan gunung Alpen menunggu senja tiba.
"Aku mencintaimu sebanyak pohon oak yang ada di Vienna Woods ini," katamu.
"Aku mencintaimu sepanjang Sungai Triesting yang ada di Vienna Woods ini," balasku.
Sebanyak apapun pohon oak atau berapapun panjang Sungai Triesting yang ada di Vienna Woods, aku tahu cinta kita tak akan terukur. Mungkin melebihi jumlah semua pohon yang ada di Vienna. Mungkin melebihi panjang semua sungai yang mengalir di seluruh Austria ini. Bahkan mungkin melebihi semua cerita cinta yang ada di dunia ini.
Pernah suatu hari aku melihat kau berlarian di tepian Danau Neusiedler mengejar kupu-kupu. Kau melepas sepatu hak tinggimu dan menaruhnya di dekat sebuah pohon beech. Kau mengangkat sedikit rok terusanmu dengan tangan kirimu sedangkan tangan kananmu mencoba meraih sang kupu-kupu. Jejak kakimu meninggalkan bekas di rerumputan Vienna Woods. Rambut panjangmu tergerai terurai di udara seperti daun-daun pohon oak yang bersemi pada bulan Juni.
Senja belum datang, tapi kau sudah kelelahan. Kau tak mampu mengejar kupu-kupu tersebut dan beralih memelukku dari belakang yang sedang duduk di tepi sungai.
"Cukup kupu-kupu saja yang terbang jauh, kau jangan," katamu saat itu.
Aku tidak akan terbang jauh. Aku akan seperti Vienna Woods, tetap diam dan menunggu kau datang.
Seketika aku memikirkan kembali setiap kata-kata yang pernah kau ucapkan itu. Bagaimana aku tahu? Kau pergi dan entah kapan akan kembali. Hingga hari ini aku masih setia menunggumu di Vienna Woods. Bahkan aku mulai melupakan raut wajahmu, rambut hitammu, dan hangatnya genggaman tanganmu.
Namun di Vienna Woods, entah kenapa semua kenangan dengan mudah muncul kembali. Hanya dengan memandang bunga-bunga yang bersemi di sepanjang Sungai Triesting, seketika semua ingatan tentangmu muncul kembali. Aku merasa masih bisa melihat jejak kakimu yang tertinggal di rerumputan. Namun jejak kaki itu seolah pergi menjauh. Jauh meninggalkan diriku dan Vienna Woods.
Aku juga masih ingat ketika kita bersenda gurau pada awal musim gugur. Kau tiba-tiba berkata, "Aku ingin sekali menikah di Gereja Leonardi di Vienna Woods suatu hari nanti. Aku membayangkan seseorang akan berjalan, datang menjemputku dari arah Viennese Basin, menemuiku di pintu gereja, memegang tangan kananku, dan mengucap janji di sini."
Namun jika aku mencermati kembali kata-katamu saat itu, aku sadar kau tidak pernah menyebut namaku. Aku pun tidak pernah bertanya, dengan siapa kau akan menikah. Saat itu aku yakin bahwa dirikulah yang kau bayangkan, dirikulah yang kau rindukan, dirikulah yang akan bersamamu hingga hari tua dan hidup bahagia di Vienna Woods.
Terkadang aku memimpikan kau datang kembali padaku dan berkata, "Untuk Vienna Woods dan dirimu, aku kembali."
Namun aku tahu dan aku selalu meyakinkan diriku lagi bahwa kau tidak akan pernah datang kembali. Kau telah pergi. Jauh meninggalkan Vienna, jauh meninggalkan Austria yang sendu.
***
Teng!
Lonceng di Gereja Leonardi berdentang. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis bergaun putih berdiri di pintu menghadap ke dalam gereja. Ia memegang seikat bunga di tangan kanannya. Rambut panjangnya terurai menutupi seluruh punggungnya. Gaun putihnya jatuh hingga ke lantai menutupi seluruh kakinya. Ia diam seolah menunggu seseorang. Kekasihnya tentu saja.
Sebuah pernikahan yang kau idamkan, dalam hatiku berkata. Pernikahan di Gereja Leonardi di Vienna Woods. Tempat semua kenangan dan impianmu berasal. Hari ini seseorang di sana akan mewujudkannya. Ah, aku berharap itu adalah diriku. Namun tidak mungkin tentu saja. Harus berapa kali lagi aku meyakinkan diriku bahwa kau telah pergi.
Hingga senja tiba, gadis di Gereja Leonardi terlihat masih sendiri menunggu kekasihnya tiba. Malam semakin dekat. Burung-burung senja terbang perlahan dari arah Vienesse Basin. Rerumputan di tepi Sungai Triesting telah dipenuhi daun-daun yang jatuh dari pohon beech di sekitarnya.
Aku beranjak melihat lagi ke sekeliling Vienna Woods. Aku masih berharap kau datang. Entah sampai kapan. Mungkin selamanya. Seperti gadis di Gereja Leonardi yang juga setia menunggu kekasihnya datang dan akan melangsungkan pernikahan yang indah di Vienna Woods.
Tepat pada akhir senja sang gadis menengok ke belakang tepat ke arah diriku dan tersenyum. Sebuah senyuman yang membangkitkan kenangan di Vienna Woods antara kau dan aku.
Aku tidak akan pernah melupakan senyumanmu itu.
Yogi Gumilar penerjemah, tinggal di Tangerang; cerpennya dimuat dalam antologi bersama 'Antara Praha dan New York' (Tacenda, 2022) dan 'Alisa dan Alasan Mengapa Aku Mencintainya' (Shivviness, 2022).
Simak Video "Sudah Lama Dinanti! Jisoo BLACKPINK Resmi Debut Solo"
[Gambas:Video 20detik]
(mmu/mmu)