Nama Nano Riantiarno tak bisa dilepaskan dari dunia panggung teater Indonesia. Sejak dekade 1960-an, pria bernama lengkap Nobertus Riantiarno itu punya kecintaan tersendiri bagi dunia keaktoran dan teater.
Pria kelahiran Cirebon itu sudah aktif main teater setamatnya dari bangku SMA. Dia melanjutkan studi di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Nano Riantiarno bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer pada 1968.
Tiga tahun berikutnya, dia mendirikan Teater Koma tepat pada 1 Maret 1977. Teater Koma dikenal sebagai salah satu kelompok teater tertua dan paling produktif yang aktif berkarya, setiap tahunnya ada dua produksi yang dipentaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film layar lebar perdana karya Nano Riantiarno berjudul, CEMENG 2005 (The Last Primadona) diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia pada 1995. Sebagian besar naskah teater yang dipentaskan Teater Koma adalah garapannya.
Tahun lalu, Teater Koma baru saja merayakan ulang tahun yang ke-44 dan menggelar festival secara online selama 4 bulan berturut-turut. Dalam sebuah wawancara dengan detikcom, Nano Riantiarno menuturkan sulitnya menggelar pementasan teater yang konsisten sebanyak dua kali dalam setahun.
![]() |
"Apalagi dengan setting, kostum, dan semua ciri khas Teater Koma di atas panggung. Kami punya standar tersendiri, dan itu membutuhkan biaya yang besar," ungkap Nano.
Bersama sang istri, Ratna Riantiarno, yang juga dikenal sebagai aktris senior Tanah Air, keduanya membesarkan nama Teater Koma. Jika Nano adalah 'otak' di balik suksesnya kemegahan sebuah panggung mahakarya teater, maka Ratna adalah dalang di balik lancarnya produksi dan segala perintilan Teater Koma.
Kiprah Nano di panggung teater bukanlah isapan jempol belaka. Saking cintanya dengan dunia teater, dia berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi sejak 1975 silam.
Nano Riantiarno juga berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pada 1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan.
Pada 1987, ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Setahun berikutnya, dia diundang ke New Order Seminar, 1988, di tempat yang sama di Australia. Pada 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria. Tercatat ada empat pertunjukan multimedia kolosal yang makin melambungkan namanya yakni Rama-Shinta (1994), Opera Mahabharata (1996), Opera Anoman (1998), dan Bende Ancol (1999).
![]() |
Sejumlah penghargaan juga sukses diraih Nano, salah satunya adalah Sampek Engtay (2004) masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama.
Nano pun tidak ketinggalan dibredel ketika era Orde Baru. Berkali-kali naskahnya dilarang edar, namun Nano bersama Teater Koma kian menunjukkan taringnya.
Kini Nano Riantiarno telah tiada. Dia tutup usia di umur 73 tahun dalam puncak keabadian-Nya.
Selamat jalan maestro seni teater Indonesia. Nano Riantiarno telah berpulang ke dalam puncak 'kejayaannya' sebagai tokoh teater.
(tia/pus)