Cerita Pendek

Cahaya dari Utara

Riadini - detikHot
Sabtu, 17 Des 2022 10:00 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Aku kadang berpikir, adakah salju di surga? Salju putih yang hadir bersama hawa dingin dalam suhu mendekati titik beku. Salju bertumpuk empuk yang membuatku merasa nyaman untuk menjatuhkan tubuhku di atasnya. Aku sering membayangkan bermain lempar bola salju dengan anakku kelak.

Rasa mual mendesak dari perutku. Bertahan 18 jam di udara dengan tiga rute transit ternyata melelahkan. Rasa lapar mulai menyerang. Aku bersedekap, menghalau hawa dingin yang menggigit.

"Hello Madam, welcome to Kittila! Do you need a taxi?" bapak berambut pirang tersenyum ramah menyapaku. Aku mengangguk dan dengan cepat kusodorkan alamat hotelku padanya. Senyum hangat kembali terpancar di mukanya. Sigap, ia mengajakku menuju mobilnya. Setelah memberikan kartu kredit padanya, kurebahkan badanku yang lelah di kursi mobilnya.

"Thank you, Miss Ki...lau? Where do you come from?" tanyanya sambil berusaha menyebutkan namaku.

"It's Kilau. I am from Jakarta, Indonesia," jawabku.

Bapak itu bernama Johan. Keramahannya masih ia tunjukkan di sepanjang perjalanan. Sambil mengemudikan taksi, ia menceritakan berbagai aktivitas di kota kecil yang indah ini. Kota yang seharusnya kukunjungi enam bulan yang lalu. Aku menguras tabungan untuk membeli tiket dan memesan hotel berbentuk igloo khas kota ini, sebagai kejutan untuk Bara, suamiku. Setelah kami menikah, aku ingin mengajaknya untuk bulan madu di sini. Namun apa daya, setelah hari pernikahan kami, Bara tidak bisa libur.

Beragam proyek sudah menanti dikerjakan. Tiket pesawat yang sudah dipesan masih dapat dibatalkan. Namun untuk penginapan khusus ini, aku hanya dapat memindahkan tanggal kunjungan agar biaya pemesanan tidak hangus. Aku pindahkan tanggal itu setiap bulan, dengan harapan Bara dapat segera meluangkan waktunya untuk berlibur sejenak denganku. Hal yang sepertinya tidak mungkin terjadi.

Kulempar pandanganku ke jendela. Hamparan salju tebal menutup barisan pohon pinus sejenak memberikan ketenangan di hatiku. Kupejamkan mataku dan kembali teringat jelas kejadian seminggu lalu. Pertengkaran dengan Bara, yang membuatnya akhirnya pergi dari rumah kecil kami. Ia belum kembali hingga aku bertolak ke bandara untuk terbang ke kota ini. Sikap diamnya membuatku memutuskan untuk tidak memberi kabar padanya mengenai kepergianku. Pun kepada keluargaku atau keluarganya. Bahkan hingga saat ini, ponselku masih padam. Tidak terbersit niat dalam diriku untuk mengaktifkannya. Aku hanya ingin sendiri, ditemani salju putih kesukaanku.

Bara bukanlah seseorang yang baru kukenal. Empat belas tahun yang lalu, ayahku memutuskan untuk kembali ke Tanah Air setelah berkarier lama di negeri Paman Sam. Aku terpaksa ikut "pulang" ke negeri yang bahkan belum pernah kutinggali sejak aku lahir. Aku harus pindah sekolah dan memakai seragam putih abu-abu, sebuah situasi yang tidak kusukai kala itu. Seusai Bu Lastri mengenalkanku kepada murid kelas 2A, beliau menyadari bahwa bangku di sebelah lelaki berkacamata yang sibuk membaca majalah fotografi itu adalah satu-satunya bangku kosong di kelas. Itulah pertama kali aku mengenal Bara.

Entah mengapa sejak itu kami selalu bersama. Mulai dari sebangku di SMA hingga kuliah di jurusan yang sama. Hanya selepas kuliah kami menempuh jalur karier berbeda. Namun karena terbiasa bersama, kami seperti sulit terpisahkan. Sebagai teman pertamaku di Jakarta, aku terlalu terbiasa bercerita apa saja dengannya. Begitupun Bara, yang walaupun cukup populer dan banyak kawan, namun dia nyaris tidak memiliki sahabat.

Aku mendengar semua mimpi dan cita-citanya. Aku membantunya membuat website untuk usaha fotografi yang dirintisnya selepas lulus kuliah. Aku juga yang memilih hadiah ulang tahun untuk Rena, kekasihnya sejak duduk di bangku kuliah. Pun saat Rena memutuskan hubungan dengannya, aku pula yang menjadi tempat seluruh keluh kesahnya.

Begitu pula dengan Bara. Dia adalah satu-satunya orang yang mendukungku melanjutkan studi S2 di luar Indonesia. Bara mengantarku wawancara beasiswa dan menjadi orang yang paling pertama bersorak ketika tahu aku berhasil masuk ke universitas yang aku impikan. Bara langsung datang ke rumah dan memelukku yang tersedu-sedu ketika kekasihku, Dio, memutuskan hubungan semalam sebelum aku bertolak ke Boston.

Tahun lalu aku dibuatnya terkejut setengah mati ketika Bara tiba-tiba melamarku. Enam bulan lalu kami menikah dan bulan lalu, kami bertengkar. Sebuah pertengkaran pertama yang membuat kebersamaan kami yang sudah belasan tahun lamanya menjadi terasa begitu menyakitkan.

Semua itu berawal ketika tanpa sengaja aku menemukan pesan berbalas antara Bara dan Rena di ponselnya. Aku terkejut, ternyata Bara masih menyimpan rasa penasaran yang begitu dalam kepada Rena. Aku tahu betul, mereka putus hubungan kala itu karena Rena mempermasalahkan pilihan Bara menjadi fotografer. Aku melihat langsung Bara yang terpukul ketika perempuan yang dipacarinya sejak kuliah ternyata sama sekali tidak mendukung cita-citanya.

Aku mengira sejak saat itu mereka benar-benar tidak pernah berhubungan lagi. Namun ternyata tidak.

"Sejak kapan kalian ngobrol lagi?" tanyaku sambil menatap Bara dengan tajam.

"Bulan lalu," jawab Bara. "Rena mengontak kantorku saat mencari jasa pembuatan video profil untuk kantornya. Dia tidak tahu kalau kantor fotografi yang dia hubungi adalah milikku," sambung Bara lagi.

"Dan sejak itu dia mulai rajin mengontakmu lagi? Setelah selama ini dia remehkan pekerjaan kamu itu?" ujarku sinis.

"Dia bangga padaku. Itu katanya," jawab Bara pelan.

"Oh, dia bisa bangga begitu saja tanpa mengikuti seluruh perjuanganmu?" ucapku penuh emosi.

"Kamu kenapa sih, Kilau? Aku hanya rutin makan siang bersamanya, itu saja!" sahut Bara dengan nada mulai meninggi.

"Makan siang bersama termasuk di hari Sabtu dan Minggu?" cibirku.

"Itu karena kamu selalu tidur siang setiap kuajak pergi, Kilau! Kamu tidak mengerti apa kalau aku juga ingin jalan-jalan denganmu di hari libur begini. Tapi kamu selalu mengeluh lelah, mual, pusing, dan segala macam alasan lainnya!" jawab Bara membentakku.

Saat itu aku menyadari bahwa untuk pertama kali dalam hidup aku menyimpan sebuah rahasia dari Bara.

"Kamu tahu, Kilau? Sepertinya aku terlalu cepat ketika memutuskan untuk menikah denganmu," ucap Bara sambil menatapku dalam.

Saat itu juga, aku memutuskan untuk menyimpan rahasia ini sendiri, selamanya.

***

"Hyvaa ruokahalua, Kilau," ucap Anna sambil menyajikan sepiring ikan salmon masak jamur untukku.

"Kiitos, Anna," jawabku sambil tersenyum.

Sejak Pak Johan mengantarku ke kota kecil ini, aku mendadak jatuh cinta dengan suasananya. Alih-alih menuju hotel, aku menyewa kamar kecil yang terletak di atas sebuah kafe rumahan milik pasangan suami istri, Alex dan Anna.

"Sebaiknya kamu pindah ke Helsinki saja, Kilau," ucap Anna sambil memandangku yang sibuk menikmati ikan salmon buatannya. "Terlalu lama di sini, bisa menghabiskan tabunganmu," sambungnya sambil tertawa.

Aku pun ikut tertawa. Anna benar, walaupun kecil, kota ini merupakan tempat berlibur para turis kaya dari seluruh Eropa. Kalau saja Alex dan Anna tidak berbaik hati memberikan tarif khusus untukku tinggal, mungkin dalam hitungan hari tabunganku sudah ludes.

Anna tersenyum sambil menepuk bahuku. "Segera kau gunakan hotel igloo itu. Aku jamin kamu akan berhasil menemukannya," ucapnya sambil mengedipkan mata. Aku tersenyum. Anna tahu betul apa yang kucari. Mungkin dia benar, aku harus kembali ke tujuan awalku berkunjung ke kota ini.

Esok hari, aku sudah berada di sebuah pondok kecil yang seluruh atap dan dindingnya terbuat dari kaca. Tumpukan salju putih kesukaanku terlihat jelas dari balik dinding kaca yang mengelilingi seluruh pondok. Kurebahkan badanku yang kini mudah lelah di kasur empuk. Pandanganku terlempar sejenak menatap langit lepas yang tampak jelas dari atap kaca sebelum akhirnya tertidur.

Hari telah gelap ketika aku membuka mata. Aku pun terduduk di kasur ketika menyadari perutku merintih lapar. Ah, lagi-lagi aku lupa kalau ternyata aku tidak sendiri. Aku berusaha bangkit untuk mencari makan malam, ketika kusadari sepercik cahaya hijau menyeruak dari atap kaca pondok. Segera aku berlari keluar tanpa menghiraukan udara dingin yang menggigit. Terhampar di hadapanku langit malam berhiaskan cahaya hijau yang saling berkelebat dengan indahnya.

Mataku tak dapat lepas memandang hamparan warna hijau, biru, dan gelapnya malam berpadu jadi satu. Aku terduduk di atas gundukan salju tebal. Memori saat Bu Lastri mengenalkanku dengan Bara menyeruak kembali.

"Kamu pernah lihat ini?" tanya Bara saat aku baru duduk di sebelahnya. Bara menunjukkan gambar di majalah yang sedang dibacanya. Gambar semburat cahaya berwarna hijau dan biru yang tampak saling bergradasi mewarnai langit malam. Aku menggeleng.

"Ini aurora. Northern lights. Cahaya di utara. Kamu harus pergi ke negara di utara bumi jika ingin melihatnya. Suatu saat nanti, aku harus bisa ambil fotonya!" ucapnya berapi-api.

Air mataku menetes. Ah Bara, seandainya kamu tahu, aku jadi mencari tahu negara apa saja yang ada di utara bumi. Betapa ingin, aku bisa melihat cahaya ini bersamamu.

"Kilau..."

Aku terkejut mendengar seseorang memanggilku di tengah hutan pinus berselimutkan salju. Kulihat sosok itu. Sosok lelaki berkacamata yang selalu mengisi ruang hidupku belasan tahun lamanya. Bara, bagaimana ia bisa ada di sini? Sebelum sempat aku bertanya, Bara sudah memelukku.

Aku hanya mampu terdiam hingga Bara melepaskan pelukannya. Bara mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku menangis melihat benda yang ia keluarkan. Rahasiaku yang ingin kusimpan sendiri selamanya.

"Aku temukan ini di tempat sampah. Kilau, kenapa kamu tidak bilang padaku?" tanya Bara. Kulihat benda itu sekali lagi. Benda yang saat itu menjawab seluruh pertanyaan atas badanku yang mendadak mudah lelah dan mual. Sebuah test-pack dengan dua garis biru. Teringat kembali saat aku ingin segera menyampaikan kabar bahagia ini pada Bara, namun yang terjadi adalah pertengkaran kami.

"Kilau, jangan pernah lagi kamu menyimpan rahasia dariku. Janji?" ucap Bara menatapku. Aku mengangguk dan menangis. Bara memelukku erat, dan saat itu aku tahu bahwa memang kami harus bersama selamanya.

"Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" bisikku perlahan ketika kami sedang memandang aurora bersama. Bara hanya tersenyum menatapku. Kemudian ia mengelus perutku dan berkata, "Kita beri dia nama Aurora."

Kami tersenyum dan sepakat. Aurora, cahaya dari utara yang datang untuk menerangi langkah kami berdua, selamanya.

Jakarta, Agustus 2022

Riadini geologist dan ibu rumah tangga



Simak Video "Video: MONSTA X Bakal Comeback dengan Formasi Lengkap, Kapan?"

(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork