Akhirnya aku berpetualang lagi, menghirup aroma gempita kota dunia di malam hari. Berjalan kaki dengan penuh kebebasan, berpendar-pendar lepas di bawah lampu-lampu neon dan papan iklan raksasa yang genit.
Terkadang, kesendirian justru membuatku lebih berani karena bebas mengikuti isi hatiku. Tidak ada yang menghakimi. Kegilaan sesaat hanya akan tinggal di sini dan akan menjadi rahasia antara aku dan Shinjuku.
Aku lalu membiarkan diriku tersesat, masuk ke dalam lorong-lorong paling temaram di Shinjuku. Konon, jika kamu bersungguh-sungguh menyerahkan nasibmu pada lorong-lorong kecil berliku di kota ini, langkah kakimu akan serta merta terhenti di depan Kedai Tengah Malam. Kedai termasyhur di antara para pengembara malam.
Lihatlah, aku benar-benar sudah berada di sini! Menghadap ke Master yang berjubah biru keabuan dan terlihat sedikit lusuh, celemek putih terikat dengan simpul pita yang kuat di pinggangnya.
Aku memberikan senyum yang paling tulus, memohon hal yang sama. Master membalas dengan senyuman yang tipis dan muram, tapi dia tetap tampan di usianya. Semoga saja malam ini akan menjadi semakin aneh dan penuh kejutan supaya menjelang pagi aku bisa meninggalkan Shinjuku dengan sedikit atau banyak mencuri gemerlapnya.
Aku juga tidak berlama-lama menatap ke segaris ranting tipis di bagian kiri wajah Master, yang menjulur turun dari atas alis lalu melewati kelopak mata dan melengkung tegas di bawah tulang pipi. Aku tidak pula mau membayangkan, keajaiban apa yang membuat biji matanya selamat dari sabetan pisau kodeba maha tajam itu.
Aku lalu tiba-tiba saja menjadi gelisah dan berdegup-degup. Ternyata aku menjadi tamu tengah malam yang paling pertama. Seolah malam ini sengaja dipersembahkan untukku. Aku cepat-cepat menaruh tas ransel kecilku di kaki kursi setelah sebelumnya mengeluarkan sesuatu dari kantong paling depan.
"Bentoel, Master..." Aku menyodorkan sekotak rokok Bentoel Biru dengan cara paling hormat yang bisa kulakukan, meniru kebiasaan-kebiasaan mereka dalam bersikap dan berlaku kepada satu sama lain.
Ingin kutambahkan, ini rokok kesukaan ayahku. Dan sekali-kali jika ayah sedang berbaik hati, aku dibiarkan menghabiskan separuh dari sebatang rokok yang sudah dihisapnya. Ketika itu aku masih berumur empat belas tahun. Tapi tentu saja aku tidak ingin membuat Master berpikir tentang betapa tuanya dia di mataku.
Master tampak heran dan kagum sekaligus senang namun tetap terdiam lalu akhirnya mengulurkan tangannya menerima rokok jaman dahulu kala itu.
"Terima kasih, aku pernah mencoba rokok ini. Puluhan tahun yang lalu di Bali." Master kembali menatap dengan caranya yang penuh makna, "Aku tahu kamu akan makan apa saja yang bisa kumasakkan. Minumlah dulu, aku sudah memanaskan sake." katanya lagi lalu berbalik ke bagian dalam dapur.
Senangnya, aku mulai merasa diterima di sini. Aku lalu menghabiskan semenit dua menit untuk memutar kepalaku dari kanan ke kiri, merekam apa yang bisa kurekam dengan segala kebebasan yang kumiliki. Master pastilah tidak akan keberatan.
Kedai kecil tua yang hangat, walau tidak ada yang ditata dengan rapi dan mengabaikan semua unsur-unsur keindahan. Jika menurut kepada istilah di Indonesia, kedai ini mencoba bertahan tanpa belaian perempuan. Tidak ada yang berlebihan, kecuali bahwa kedai ini benar-benar ada untuk orang-orang seperti aku dan pelanggan-pelanggan setia Master lainnya.
Bandul emas di jam dinding kayu itu masih mengayun dengan sempurna. Juga poster Miyuki Chidori dengan huruf kanji besar mencolok yang tentu saja tidak kumengerti artinya -tergantung abadi di dinding yang sudah menguning.
Kecantikan alami Miyuki Chidori, penyanyi enka berkimono merah marun yang lembut itu seolah ikut menanti kedatanganku. Matanya bersinar tabah dan bersahaja. Samar-samar aku mendengar alunan suaranya yang syahdu dan merana...
Aku pergi ke mana pun hidup membawaku
Kuserahkan segalanya kepada nasib
Aku mengembara di jalan berliku
Dan menikmati setiap momennya
***
Aku sengaja duduk menghadap langsung ke Master, berjarak beberapa langkah saja dari singgasana kecil tempatnya meracik makanan-makanan lezat yang selalu disajikan dengan aneka bumbu kisah kehidupan penikmatnya. Peralatan-peralatan dapurnya pun terlihat tua, sumpit-sumpit dan sutil-sutil kayu, beberapa sikat-sikat wajan dan kuali penyok menyeruak begitu saja. Dinding dapurnya penuh cipratan minyak dan jelaga kecoklatan perlahan mulai membentuk alur-alurnya sendiri.
Aku menuangkan sedikit sake hangat ke gelasku, dan berterima kasih yang dalam untuk itu. Sambil menikmati segala aroma yang menari-nari di udara. Wangi unagi panggang yang manis dan wangi kuah miso mendidih yang gurih.
"Unagi panggang dengan nasi hangat dan sop miso daging babi dengan irisan lobak dan jamur shitake yang banyak. Selamat makan," Master benar-benar mengucapkan selamat makan dalam bahasa Indonesia yang kaku tapi tulus, ketika dia meletakkan mangkuk-mangkuk itu di depanku.
Aku buru-buru mengucapkan terima kasih dengan caraku sendiri, aku makan dengan lahap dan menyeruput kuah miso panas itu dengan nikmat. Temanku di Surabaya selalu mengingatkan, jangan lupa ambil foto makanan --bukti kalau kamu tidak sedang membual. Ah gila, apa yang harus kubuktikan memangnya? Masakan Master memang sangat istimewa karena beraroma masa lalu dan masa kini dan masa yang akan datang!
Marilyn Sang Penari Surga akhirnya datang, membuka pintu geser di belakangku dengan perlahan. Senyum lesung pipit dengan gigi dan bibir yang agak maju langsung menyeruak masuk. Dia sungguh manis dan mungil. Malam ini dia mengenakan atasan polos berwarna biru langit yang tipis. Kulit wajahnya segar dan samasekali tidak terlihat tanda-tanda kelelahan karena menari dari malam membelah subuh.
"Master, malam ini aku hanya ingin minum sake hangat saja. Aku singgah sebentar untuk berpamitan," Marilyn langsung mengambil tempat di sebelahku, "Aku akan tinggal di negeri yang kaya matahari, mungkin setahun atau dua tahun. Pacar baruku kali ini benar-benar serius!" Marilyn seolah-olah juga sedang berbicara kepadaku.
Aku mengangkat gelas sake, ikut berbahagia untuknya. Marilyn menyibakkan rambut lurusnya, "Akhirnya, Marilyn membuka dirinya sendiri! Buka pintunya!" teriaknya bahagia. Kedua tangannya digerakkan di udara, seolah membuka pintu kecil rahasia ke mana saja.
Master berdiri di tengah sambil melipat tangan dan menatap aku dan Marilyn bergantian. Kami bertiga lalu tertawa-tawa tanpa sadar, sesuatu yang rasanya tidak mungkin terjadi dengan Master yang selama ini dikenal dengan kebiasaannya yang hanya menatap kaku dan muram, tersenyum tipis atau melirik datar.
"Marilyn, dia juga datang dari negeri yang kaya matahari dan salju tidak turun di sana." Master menunjuk ke aku dengan dagunya. "Kulitmu coklat alami,"
"Benarkah itu?" Marilyn menjadi sangat tertarik. "Kamu akan pulang dan aku akan datang."
Kami berdua lalu menjadi sangat bersemangat dan berbagi sebatang demi sebatang rokok Bentoel Biru yang maskulin dan tiga botol bir dingin. Mengenang-ngenang yang telah lalu dan usang di jaman-jaman dahulu kala, harapan yang telah pergi dan penyesalan-penyesalan atas keputusan-keputusan bodoh di masa muda.
"Marilyn, kita masih muda dan dalam hidup selalu ada kesempatan!" pekikku tiba-tiba dan Marilyn mengiyakan dan melambai seperti patung-patung kucing putih Maneki-neko yang seksi. Lambaian manja Marilyn itu, sekaligus mengakhiri perjumpaan kami. Dia berlalu begitu saja.
Master yang sedari tadi sudah duduk merenung di kursi kecil di sudut dapur akhirnya berdiri dan kembali sibuk meracik sesuatu, "Kamu harus mencicipi ini, sebelum kamu juga pergi..." katanya penuh misteri. Aku mengangguk saja, menikmati setiap momen magis yang disajikan olehnya.
Kosuzu yang lentur gemulai dan selalu berdandan norak penuh permata palsu, pemilik bar homoseksual di Ni-chome sampai sekarang belum muncul juga. Dia selalu memesan telur gulung yang manis. Padahal aku sungguh ingin berjumpa dengannya, mungkin aku dibolehkan mencoba sepasang anting-anting berbentuk kelopak bunga besar berwarna pink salem yang menjuntai di telinganya.
"Hidup itu seperti Sungai Sumida. Kamu harus rela." Suara yang begitu tenang namun kuat, tersiar begitu saja di udara. "Jangan meremehkan hidup."
Katagiri, penyair misterius berambut hitam sebahu itu ternyata sudah duduk di sudut paling kanan konter kedai. Kulitnya kecoklatan dan tampak bersinar senada dengan kimono santai kinagashi coklat sedang yang selalu menjadi jubah kebesarannya.
Aku terpana, masih berusaha meresapi tiga baris syair pendek yang begitu mengena di hatiku. Seperti tiga ekor kunang-kunang yang terperangkap. Aku harus rela. Hidup lalu mati dan akan tetap hidup dalam kenangan.
Katagiri lalu asyik dengan kesenangan-kesenangan kecil yang diciptakannya sendiri. Seperti kuil-kuil kecil penyembahan, dia menyusun biji-biji kacang dengan rapi di atas meja. Aku mengerti, dia tidak ingin diganggu.
"Bonito serut, ditaburkan di atas nasi hangat dengan kecap. Semoga kamu suka. Makanlah dengan perlahan, sambil menunggu matahari mulai naik." Master sudah berdiri di depanku dan dengan bangga meletakkan semangkuk nasi hangat yang ditaburi serutan-serutan halus keemasan dari ikan tuna yang sudah diasap dan dikeringkan.
"Terima kasih." ucapku perlahan, "Aku memang harus pergi ketika matahari pertama mulai bersinar.
"Ya, pulanglah. Kamu sudah dirindukan di sana."
Aku mengangguk, menelan linangan air mataku yang bercampur pulennya nasi hangat dan asin gurih bonito serut.
***
Menjelang pukul enam pagi, Kosuzu dan Ryu muncul bersamaan dari depan pertigaan lorong. Master kebetulan sedang berada di luar kedai, berdiri menyamping dan melipat tangan seperti biasa, mematung dan memandang ke arah lorong yang berlawanan
"Master, apakah kedai sedang sepi?" Kosuzu berceloteh dengan manja, pemerah di pipinya mulai luntur.
Master tidak menjawab, tapi lalu bertepuk tangan yang lembut namun tegas, sekali dua kali.
"Master, kucing abu-abu itu sudah pergi. Ayo masuk ke dalam, tiba-tiba saja aku benar-benar ingin mencoba Nasi Kucing...dengan taburan bonito serut yang banyak!" Ryu melepas kacamata hitamnya dengan gaya Yakuza yang dingin dan flamboyan.
Master tersenyum, "Nasi Kucing..."
***
"Kathrin, ayo bangun! Moga-moga hari ini kamu kembali bersemangat. Makan bubur dulu dan minum obatmu." Lina menarik ujung celana piyama Kathrin yang berwarna abu-abu lembut dan berbahan dingin. "Aku juga beli rawon dan telur asin di warung depan rumah, ayooo!"
"Lina, tidak usah terlalu ditanggapi. Adikmu itu, hanya pura-pura sakit." suami Kathrin duduk dengan santai di teras belakang rumah. "Sudah lama sekali sejak dia mulai menulis, dia termakan tulisannya sendiri. Dia bahkan pernah menulis ulang dongeng Upik Abu menjadi Upik Labu. Nah, semalam dia tiba-tiba saja mengeong dan mengaku dirinya seekor kucing yang tersesat!"
Lina tiba-tiba saja merasa sangat lelah. Entah kapan ini akan berakhir. "Dia hanya butuh didengarkan,"
"Jangan kuatir, besok-besok dia akan menjelma menjadi perempuan peramal sakti atau bahkan menjadi laki-laki tidak berdaya yang ditinggal pergi kekasihnya. Semua tentang tulisan-tulisannya yang tidak laku itu!"
Di dalam kamar, Kathrin bisa mendengar suara tawa suaminya yang nyaring dan menjengkelkan.
Catatan:
kodeba: pisau yang dirancang untuk memotong ikan dan mencincang halus
enka: salah satu genre musik pop Jepang berupa balada bernada sentimental yang secara unik mengekspresikan luapan perasaan orang Jepang
kinagashi: kimono santai yang dipakai sehari-hari oleh laki-laki
Ada kesamaan nama, karakter dan latar tempat dalam cerpen ini dengan Midnight Diner, serial TV Jepang. Saya mencoba menjadi seorang penonton yang masuk ke dalam salah satu episode khayalan saya sendiri.
Caroline Wong sarjana perhotelan lulusan UK Petra Surabaya, besar di Rantepao, Tanah Toraja
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com
Simak Video "Video: Kak Seto Spill Surat Cinta dari Film 'Sahabat Anak' "
(mmu/mmu)