Rahasia Besar

Cerita Pendek

Rahasia Besar

Indrian Koto - detikHot
Sabtu, 19 Mar 2022 09:15 WIB
ilustrasi cerpen
IIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Rahasia besar apakah yang ingin kau sampaikan padaku?

Syukurlah, kukira kau tak lagi percaya pada kawan lamamu ini. Sudah lama kita tak duduk satu meja. Aku lebih banyak mendengar namaku. Kau tampak makin menakjubkan dengan segudang rahasia dan pengetahuan baru yang kau miliki.

Aku nyaris tak mengenal dirimu. Bukan hanya dari wajahmu yang bersih-rapi, juga tubuhmu yang makin berisi. Aku mendengar banyak cerita tentang kau yang bekerja untuk misi tertentu, untuk sekelompok orang tertentu. Pindah dari satu orang ke orang yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain. Semua serba rahasia, serba tak terduga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bertemu denganmu hari ini sudah lama kurencanakan.

Oh ya, namamu sangat dikenal di sini, bahkan para penjaga di luar sana menjadi demikian lunak ketika aku mengatakan telah ada janji denganmu. Dan kau tahu, tidak ada pemeriksaan apa-apa untukku.

ADVERTISEMENT

Kau tentu ingat, aku pernah aktif di teater ketika mahasiswa dulu. Setidaknya mereka tak perlu ragu-ragu bahwa kita sebenarnya tidak ada janji, hubungan kita pun bukanlah seakrab yang aku ceritakan pada mereka.

Ya, jika aku tak bisa meyakinkan mereka tak mungkin aku begitu saja bisa masuk ke ruang ini dan duduk semeja denganmu kini. Terima kasih untuk nama besarmu. Subhanallah..

Ah ya, silahkan kau bercerita.

Jujur, aku sudah sering mendengar soal banyaknya birokrat dan orang penting dari negeri kita yang datang ke sini, dan ini pula salah satu alasan aku ingin sekali berada dalam ruangan ini, dan sebuah kehormatan tak terhingga pula rasanya aku bisa duduk semeja denganmu dan mendengar penuturan ini langsung dari sumbernya. Apa yang kudengar darimu ini aku seperti berada dalam peristiwa sebenarnya. Kebiasaan pejabat ini memang suka pelesiran, eh, berobat ke luar negeri.

Syukurlah kau masih percaya padaku. Tadinya, mengetahui kau berada di sini saja aku sudah cukup bahagia, dan kini kau begitu saja memberikan sebuah rahasia besar padaku di awal percakapan kita. Sungguh, kejutan yang luar biasa untukku.

Tunggu sebentar. Kau bilang apa? Chip? Astaghfirullah. Orang-orang hebat di negeri kita telah dipasangi chip, dan kau punya andil di dalamnya?

Begini, sejujurnya aku sudah mendengar ini dari mulut ke mulut, juga menjadi pembicaraan serius di antara kawan-kawanku. Mendengar langsung darimu, orang yang tahu betul peristiwa-peristiwa besar ini berlangsung, di mana orang-orang kecil, dan tentu termasuk aku, adalah sebuah selubung kabut. Kau telah membuka selubung itu. Ini sungguh membuatku kaget.

Ngomong-ngomong pekerjaanmu sebenarnya apa, sehingga risiko yang kau hadapi adalah nyawa?

Ah ya, tak perlu kau jawab. Kau suka berteka-teki juga rupanya. Aku menduga sementara ini seperti sebuah sindikat besar yang mendata orang-orang penting untuk kalian manfaatkan. Maaf, maanfaat dalam tanda kutip. Semacam organisasi bawah tanah yang bekerja untuk kepentingan kelompok tertentu dengan menggunakan tangan orang lain, begitu? Maaf jika aku agak berlebihan.

Ah, sungguh luar biasa pekerjaanmu sekarang. Aku tidak menduga kau bisa sejauh ini. Menanam sesuatu pada tubuh seseorang untuk bisa kalian lacak keberadaannya, mengorek semua informasi dan sewaktu-waktu bisa memakai mereka dengan rayuan dan iming-iming. Ah, aku tak menyangka dunia akan secanggih ini. Dulu, ah kau ingat, ketika kita masih berambut gondrong dan suka turun ke jalan, segala sesuatu mengenai ini hanya terhidang dalam fiksi ilmiah. Subhanallah...

Ya, kalian bekerja secara sangat sistematis, nyaris tak berumah tapi jelas sasarannya.

Oh apa? Ya, ya, kopi, kopi, boleh, Bung. Maaf merepotkan. Sementara kau pergi aku mau melihat orang-orang yang sudah, sedang, dan akan menjadi robot kalian ini.

Oh terima kasih, Bung. Ayo kita minum. Ceritamu dan tempat ini membuatku nyaris gila. Bismillah....

Hmmm... Soal chip yang kalian pasang pada orang-orang penting di negeri kita, eh, kami. Silakan Bung lanjutkan, aku sungguh penasaran dengan itu semua.

Dulu, saya kira 33 Capital Tower bukanlah tempat yang nyata. Tapi kamu benar-benar berada di sana dan bekerja untuk mereka. Ya, ya, aku menangkap sedikit mengapa hanya mereka yang terpilih yang kalian butuhkan. Cuma aku belum sungguh-sungguh paham, kawan. Bisakah antum, ah, bung jelaskan bagaimana chip yang luar biasa ini bekerja?

Sebentar, jadi kalian benar-benar berada di belakang peristiwa ladang minyak tersebut? Dan, dan, antun, eh, bung sudah bekerja di sini ketika peristiwa itu berlangsung? Luar biasa. Kode? Dia punya kode 666? Itu bukannya angka setan, Bung?

Luar biasa, simbol kalian luar biasa. Tidak semua orang seperti saya bisa mendapatkan info semacam ini, Bung. Saya tak menyangka ada kalian di belakang perempuan cerdas itu. Ha ha ha... Jika dia tetap di posisi awalnya pastilah kini ia ada dalam penjara. Ya, bisa juga tidak. Kau pahamlah soal hukum yang seringkali bermata tumpul. Soal religius, saya tidak bisa berkomentar, cuma saya ingin mengatakan saat ini, itu yang kurang dari kita.

Iman, Bung. Maaf, maaf saya agak melantur. Tapi sungguh menakjubkan mengenai angka-angka ini. Oh ya, siapa lagi yang akan kalian kerjai, dengan tanda kutip, Bung, dengan chip sialan itu? Ha ha ha....

Subhanallah... 999, ya, ya, ehem, saya tahu beliau ini. Atas dasar ini pula saya ada di sini sekarang. Cuma ingin memastikan, dan kebetulan mendapat info dari kawan-kawan. Jadi kalian pun akan memakai dia untuk tujuan tertentu? Saya seperti sekali merengkuh dayung kalau begitu. Saya mengincar bapak itu untuk urusan pribadi dan saya juga menemukan cerita ini langsung dari, Bung. Luar biasa. Ternyata tak jauh, ternyata ada di sekitar kita juga. Luar biasa.

Tapi ngomong-ngomong apa sih yang kalian incar?

Ya, ya, ya...14 ribu barel cadangan minyak. Saya tahu banyak soal pergeseran sekte itu bung, meski saya tak ada di sana. Ya, ya, kalian juga ada di belakang ini semua? Ini semua demi isi perut bumi? Masya Allah...Masya Allah...Kalian sungguh-sungguh tahu membidik isu. Isu agama akan selamanya sensitif.

Ah, aku tak perlu bercerita banyak, bahkan negara setangguh Amerika dan sekutunya habis-habisan berinvestasi di Timur Tengah dengan menyodorkan demokrasi. Ya, kandungan perut bumi yang mereka incar sekaligus memecah kelompok beragama untuk berperang sesama mereka. Hal yang tak bisa ditutup-tutupi adalah mereka sangat takut ketika kekuatan agama ini bersatu apalagi jika khilafah sampai berdiri. Insya Allah.

Oh iya, silakan diangkat teleponnya.

Ah, bagaimana? Luar biasa bagaimana? Berpesta, ah, tidak, terima kasih. Maaf, saya tidak minum minuman keras. Soal bergabung dengan kalian jelas saya tidak bisa, Bung.

Maaf, Bung. Tanpa harus menyebut nama, saya tahu kau bekerja untuk siapa demi kepentingan apa. Tadi kau bilang bagaimana dengan gamblang kalian masuk ke sistem pertahanan kami yang demikian rapuh. Kalian manfaatkan orang-orang besar yang rakus itu. Bahkan, Bung, tanpa menanam chip sekalipun orang-orang rakus itu tetap saja bisa tunduk pada kemauan kalian.

Saya tahu, dan sungguh, yang lebih saya tidak suka dari ini semua adalah sistem bangsa kita, maaf, bangsa kami. Saya tidak tahu, apakah kau masih butuh bangsa atau tidak. Saya juga tidak terlalu peduli dengan itu. Saya tidak perlu tahu paspormu bergambar apa, tapi bagiku kau tak pantas mengakui negeri boneka itu sebagai negaramu.

Kurasa gelar yang tepat untukmu adalah pengkhianat bangsa. Kau tumbuh dan besar di sana, dengan sistem negara yang demikian kau puja. Nasionalis, kau sebut dirimu dulu. Mana itu semangat patriotismemu? Kita, meski ada dalam ideologi yang berbeda tapi bisa sama-sama turun ke jalan.

Kita memang tak pernah bisa sehaluan. Tapi kukira ada sedikit harapan negara yang menyebut dirinya Demokrasi Pancasila ini mampu memberi kita kesempatan minum bersama tanpa harus memandang ideologi apa pun. Kukira kawan-kawanku benar, bahwa nyaris tak ada harapan. Bumi Allah ini sudah demikian kotor oleh tingkah pejabatnya dan penghianat bangsa seperti kau...

Kenapa mesti menjadikan kehilangan sebagai alasan? Kau kira ada yang sisa dariku kini? Kau kira tak ada yang dirampas negara dariku? Kau kira kami baik-baik saja? Kau kira negara memberi harapan yang banyak pada kami? Jika ada orang yang mengangkat senjata karena agama bukan semata-mata karena kelompok yang menginginkan khilafah harus segera tegak.

Terkutuklah si Kemal Turki itu. Ada banyak alasan orang-orang di negeri kami, negeri tempat kau tumbuh dan besar itu, untuk menyatakan perang dengan negara. Tetapi ada yang dirampas dari kami, dari kita. Kau kira mereka semata-mata berjuang untuk dirinya? Seharusnya kau ingat diskusi-diskusi kita yang panas dengan kawan-kawan dari daerah di situasi panas dulu. Isu-isu nasionalisme lokal itu tetap hidup dan dihidupkan.

Ada memang yang punya kepentingan di tengah kisruh semacam itu. Bahkan dalam perjalanan sejarah bangsamu sendiri selalu ada bangsat-bangsat dan manusia tengik di tiap peristiwa. Tetapi kau, nauzubillah, Bung, apa yang tersisa darimu kini?

Jangan kau sebut-sebut peristiwa '98 lagi jika semangatmu keropos seperti ini. Kau sama saja dengan sebagian besar di antara kita yang menjadi dan terlibat. Apa yang kita teriakan untuk dilawan dulu, adalah apa yang kalian kerjakan kini. Lihat, setiap hari para mahasiswa turun ke jalan. Mereka berteriak dengan semangat kalian --ya, kita-- dahulu, suatu waktu bisa jadi akan menjadi seperti kita kini. Terlunta dan menjadi bagian dari kekuasaan yang pernah kita lawan.

Ideologi taik kucing! Aksi turun ke jalan dimanfaatkan sebagian orang untuk belajar menjadi orator dan jago negosiasi. Kau contohnya. Maaf saya bicara terlalu banyak. Saya tahu kau selalu punya cara mengantisipasi masalah sepele apalagi terhadap kutu seperti saya.

Ngomong-ngomong, kau telah mencampur serbuk sianida di cangkir kopiku yang tandas ini?

Kau benar-benar banyak rahasia dan penuh kejutan. Ngomong-ngomong tadi saya bilang kan sedang mengincar si bapak yang akan kau beri chip itu? Kau ingat tadi kubilang memanfaatkan nama besarmu untuk masuk ke gedung ini?

Aku tidak akan mati oleh racunmu. Bom di tasku ini akan segera melenyapkan kita semua. Kuharap kau masih tahu cara berdoa.

Cerpen ini merupakan respons atas cerpen Wina Bojonegoro, "Dunia Angka", yang dimuat di Media Indonesia Minggu, 27 April 2014. Bisa dibaca di sini: https://lakonhidup.com/2014/04/27/dunia-angka/ atau bisa didengarkan di sini: https://open.spotify.com/episode/4S98dOM8u6owCfVyj8NPvg

Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Lansano, Sumatera Barat; tinggal di Yogyakarta dan mengelola jualbukusastra.com dan Penerbit JBS

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads