Ibu tak henti-hentinya mengirimkan sumpah-serapah untuk Lusia pada hari-hari bahagia maupun sedih kami. Telah kukabarkan sejak mendiang masih dalam keadaan koma di sebuah kamar rumah sakit. Tapi, bahkan Lusia tidak menampakkan batang hidungnya sampai pada hari pemakaman bapak. Pun terhadap rencana pernikahanku yang kutulis dalam berbaris-baris pesan mulai dari tanggal, tempat, dan tema resepsi dengan pertimbangan andai sekarang ia sudah bekerja, bisa menyesuaikan dalam hal cuti dan pemilihan busana. Tapi berakhir sebagai centang biru muda tanpa sebuah huruf atau emoticon pun ia membalasnya.
Meski aku tidak mengikuti sumpah-serapah ibu dengan nada lebih berapi-api, aku mengikuti dalam hal rasa kecewa yang dimilikinya. Lima tahun aku dan Lusia berbagi ranjang yang sama sejak kedatangannya dengan wajah takut-takut pada sebuah hari sepulangnya aku dari sekolah lanjutan pertama. Rambutnya diikat dengan karet gelang biasa, tanpa hiasan pita atau sebuah bando yang mengunci poninya dari juntaian tak rapi di sebagian dahi.
Aku ingat betul, ketika itu Lusia memakai rok lipat berwarna coklat tua. Mirip seragam sekolah anak-anak di tingkat dasar yang dipakai pada hari Jumat dan Sabtu. Aku ingat, karena sehari sebelumnya baru saja membongkar almari lama dan menemukan beberapa baju masih layak pakai yang sedianya hendak diberikan ibu pada ART kami yang bekerja paruh waktu. Perempuan paruh baya itu memiliki dua anak perempuan. Seorang di antaranya berusia sepuluh tahun dan duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Aku juga ingat, karena ketika itu Lusia melakukan gerakan berulang terhadap rok coklat tua yang dikenakannya. Ia meremas-remas ujung rok itu dengan terus menunduk. Sesekali ia mengangkat wajah, bersitatap pandang denganku atau ibu. Lalu menunduk lagi. Kembali sibuk dengan remasan pada rok coklat tua. Di antara kami berempat di ruang tamu, hanya bapak yang banyak bicara. Termasuk menjelaskan, di mana Lusia akan tidur nanti selama tinggal di rumah kami.
Sebelumnya, aku hanya pernah dua kali melihat Lusia.
Yang pertama, pada hari meninggalnya simbah putri dan Lusia bersembunyi di balik pantat Bulik Rubina. Dalam sebuah cerita ibu, Bulik Rubina melepaskan diri dari ikatan keluarga setelah hubungannya dengan seorang lelaki ditentang habis-habisan oleh simbah putri. Tapi Bulik Rubina enggan memutuskan lelaki itu, memilih kawin lari, hidup di sebuah desa yang jauh, lalu lahirlah Lusia.
Berikutnya, ketika tiba-tiba Bulik Rubina datang ke rumah kami. Suami meninggalkannya demi perempuan lain yang lebih muda. Sementara ia hanyalah perempuan rumahan yang menggantungkan nasib kepada kepala keluarga demi tetap bertahan hidup.
Kedatangan Bulik Rubina jelas bagaikan bara yang membakar sekam di dada ibu. Bukannya mengulurkan uang senilai yang disebutkan Bulik Rubina dan berjanji akan dilunasi setelah diterima kerja di pabrik sepatu, ibu justru memanjang-manjangkan urusan. Karena ia ada di kubu simbah putri dengan segala pakem primbonnya. Bulik Rubina punya weton Senin Pon. Senin bernilai 4 dan Pon 7. Menjadi neptu 11. Lelaki itu Sabtu Kliwon. Sabtu bernilai 9 dan Kliwon 8. Jika kedua neptu digabung, dalam hitung-hitungan Jawa akan bermakna 'pegat'. Mereka akan bertemu banyak masalah dan tidak akan awet dalam hal perjodohan.
Bulik Rubina pergi dengan menggandeng Lusia. Tanpa sepeser pun uang di tangannya. Dengan jelas kurekam luka di wajah keduanya dari amping pintu tempat aku mengintip.
Lalu Bulik Rubina meninggal, dikabarkan tetangga kami yang berkunjung ke rumah familinya yang ternyata bersebelahan dengan kampung Lusia. Semalaman bapak berunding dengan ibu dan besok siangnya Lusia sudah duduk menunduk di ruang tamu. Bapak yang menjemputnya. Juga mendaftarkannya sekolah, meski tidak di sekolah yang sama denganku. Aku mengosongkan satu sekat almari agar Lusia bisa memindah isi ransel yang dibawanya.
Sikap ibu mulai melunak. Bagaimana pun Lusia adalah keponakan satu-satunya karena ia dan Bulik Rubina hanya dua bersaudara. Apalagi Lusia adalah seorang gadis yang sangat rajin. Ia selalu bangun paling pagi, jauh sebelum ayam jantan meniup peluit yang tersamarkan sebagai kokokan panjang. Mengupas bumbu. Mencuci piring kotor bekas makan malam. Mengisi air sampai tandon penuh. Mencuci baju-baju seisi rumah dan menambahinya pewangi beraroma rose pada bilasan terakhir sehingga Bik Sumi hanya tinggal menjemurnya saat datang pukul delapan nanti.
Pada sebuah malam menjelang tidur, Lusia bercerita bahwa ada seorang pemuda di sekolahnya yang menyukainya. Entah bagaimana caranya, sebuah surat begitu saja ada di tas cangklongnya. Pemuda yang ia puji sikapnya semanis Robert Pattinson dalam film Twilight yang menjadi favoritnya.
"Lusia yang naif. Tidak semua lelaki sebaik yang ia imajinasikan. Apa ia lupa bagaimana ibunya yang malang itu bisa terjebak oleh ayahnya hanya bermodal kata-kata dengan tambahan pemanis, tapi lupa diberi pengawet. Mudah luntur dalam waktu yang singkat," gerutu bapak setelah kuberitahu, dalam sebuah makan malam tanpa keberadaan Lusia yang disuruh ibu pergi ke toko dan belum kembali sampai suapan terakhir kami.
Lusia juga bercerita tentang teman sebangkunya yang bernama Suzan. Ia punya tiga adik yang masih kecil. Ayahnya seorang pengayuh becak yang sering kali menyerah di hadapan tunggakan buku-buku pelajaran, iuran listrik, dan kiloan beras. Sampai kemudian Suzan bertemu dengan lelaki bernama Alzipco.
"Kau tahu, Rhein..." kata Lusia dengan bulatan mata mengembang serupa balon gas terisi udara, "...lelaki itu melunasi uang kontrakan rumah Suzan. Membelikan berkarung-karung beras kualitas terbaik. Keluarga Suzan tidak akan kelaparan dan kesulitan seperti hidup mereka selama ini."
Sebagaimana aku sebelum-sebelumnya, di hadapan cerita Lusia aku layaknya bocah ingusan menuju tidur yang butuh dibekali sebuah dongeng agar tumbuh sebagai mimpi indah. Aku mempercayai seluruh kata-kata Lusia sepenuh keyakinanku pada matahari yang selalu terbit di awal pagi.
"Lelaki itu sering datang di Minggu pagi. Untuk kemudian tinggal selama satu hari penuh di rumah Suzan. Ia baru pulang pada Minggu malam. Semua orang di rumah Suzan paham, ketika lelaki itu datang, mereka harus menyingkir untuk sementara. Ke toko mainan dengan banyak uang yang ia berikan, ke pasar untuk membeli barang-barang kebutuhan ukuran seminggu, ke mana saja. Sebuah tempat yang jauh dari rumah."
"Kenapa?" untuk pertama kalinya aku menggunakan hak bertanya.
"Karena Tuan Zipco tidak suka dengan bunyi gaduh dari adik-adik Suzan yang memperebutkan mobil-mobilan. Tidak suka dengan suara televisi yang diputar ibu Suzan dengan volume kencang."
"Tuan?"
"Iya. Tuan Zipco adalah anggota partai yang punya kursi sebagai wakil rakyat di tingkat daerah. Suzan mengenalnya kala ia mengikuti lomba putri-putrian di mana lelaki itu salah satu jurinya."
Mataku melotot. Mengerjap-ngerjap. Melotot lagi.
"Kau harus mengunci mulutmu kali ini dari Pakde Zainal!" Lusia berkata sembari mengulang adegan melototku, macam preman pasar menarik iuran keamanan.
Sampai pada sebuah hari, Bapak memanggil seorang tukang untuk menyekat dapur menjadi dua bagian. Sebuah di antaranya disulap menjadi kamar baru Lusia. Tak ada lagi cerita-cerita pengantar tidur yang kudengar setelah Lusia berpindah ke belakang. Aku mengolok-oloknya, "Sesosok zombie sering mengintai anak gadis malam-malam."
"Tidak apa asal ia menyamar sebagai Dewa Hermes. Aku akan dengan sukarela memberikan darahku." Tawa Lusia membuktikan ketidak-gentarannya.
Aku tidak tahu lagi tentang kelanjutan cerita Kristen Stewart naif dengan Robert Pattinson-nya. Tidak tahu apa-apa lagi tentang Suzan, tentang lelaki partai berusia paruh baya yang menyimpannya, juga tentang rahasia apa pun. Sungguh. Sampai Lusia tak ditemukan di kamarnya dengan almari baju yang kosong, aku sama sekali tak mengerti kenapa dan ke mana perginya seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang baru saja menamatkan SMA-nya.
Yang aku tahu, nomor telepon Lusia masih sama. Aku berulang kali menghubunginya dan nomor itu masih aktif cuma tidak diangkatnya. Semua pesanku terkirim dan ia membacanya. Hanya saja, ia memutuskan untuk tidak membalasnya.
***
Ba*in*an itu kembali mendatangiku. Tentu ia tak perlu mengingatkan dengan mulut busuknya, karena aku bahkan sudah menghapalnya. Hutang budi. Dan aku harus membalasnya. Jangan coba-coba buka suara, karena toh tidak ada yang akan percaya. Karena di mata istri dan anak gadisnya, ia adalah lelaki yang serupa biksu, atau pendeta, seorang alim dan saleh.
Tetapi kupastikan, ini akan menjadi malam terakhirnya menyentuhku. Menerima tawaran menjadi g*nd*k, mungkin lebih baik. Suzan, aku datang.
Kupeluk buku diary yang kutemukan di kolong almari dengan begitu banyak halaman yang telah dikudap rayap, selayaknya aku tengah memeluk dan menenangkan gadis piatu kecil yang dipungut dari kampung nun jauh di sana untuk dijanjikan memiliki keluarga baru dan kehidupan yang lebih nyaman.
Catatan:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
weton: hari lahir
neptu: nilai dari sebuah weton yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai hari dan pasaran
Pasini tinggal di Karang Malang, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data, cerpennya tersiar di sejumlah media cetak dan daring
(mmu/mmu)