Mencari Anak Laki-Laki

Cerita Pendek

Mencari Anak Laki-Laki

Cosmas Kopong Beda - detikHot
Minggu, 30 Jan 2022 10:15 WIB
ilustrasi cerpen
Foto: iIustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

"Bangsat!" suara Geroda Lobo kali ini benar-benar tinggi menutup suara tangisan istrinya. Bentakan itu disusul dengan tamparan yang membuat Nora terpental ke dinding bambu dapur dan terjatuh di atas tumpukan kulit kemiri yang diisi di karung goni.

Nora tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak berdaya di hadapan suaminya yang bertubuh kekar dan tinggi. Ia berusaha bangkit dan menghindar, tetapi Bopeng tidak memberinya kesempatan. Tamparan berikutnya langsung menyusul. Telapak tangan yang keras itu tidak hanya meninggalkan bekas di pipi Nora yang putih, tetapi juga membuat bibirnya berdarah.

Lepang Igo dan Arkian Sape hanya bisa menangis menyaksikan adegan itu. Kedua anak tersebut terpojok di sudut dapur, meringkuk di antara meja makan dan rak piring. Geroda Lobo sama sekali tidak mengindahkan tangisan kedua anaknya. Adapun Arkian Sape tidak berani lagi mendekati ibunya setelah usaha sebelumnya berbuah pahit. Ia terkena tamparan nyasar sang ayah yang membuatnya terpelanting ke kolong dipan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Setelah perjalanan rumah tangga dengan Nora kandas, Lobo menikah lagi dengan perempuan lain dari kampung tetangga tiga tahun kemudian. Usia mereka terpaut delapan tahun. Pesta pernikahan tersebut berlangsung meriah sepanjang siang hingga malam. Untuk membiayai hajatannya itu, Lobo bahkan harus menjual sepetak tanah miliknya. Orang-orang sekampung datang memberi selamat. Setelah selesai resepsi, acara berlanjut ke joget-joget. Muda-mudi, emak-emak, dan bapak-bapak, turut meramaikan tenda pesta.

ADVERTISEMENT

Joget-joget yang awalnya direncanakan akan berlangsung hingga matahari terbit harus berakhir pukul tiga di tengah-tengah dentuman lagu Dende Reo. Tuan pesta terpaksa menghentikan hura-hura tersebut lantaran dua kelompok pemuda yang mabuk bikin ribut di dalam tenda. Tiga di antara pemuda-pemuda yang membuat onar itu masing-masing mendapat luka ringan di tangan, juga kepala. Meski demikian, semuanya berakhir damai secara kekeluargaan keesokan paginya.

***

Perangai Lobo rupanya tidak bisa berubah meski usia kandungan Ina Burak sekarang sudah tiga bulan. Kebiasaan berjudi, mabuk-mabukan, dan pulang larut malam, yang membuat rumah tangganya dengan Nora hancur tetap melekat di dalam dirinya. Sebagaimana Nora dulu, Ina Burak juga kerap kali mengingatkan sang suami, tetapi bukan Lobo namanya kalau ia mau menyimak nasihat baik dari orang lain untuk dirinya atau bahkan untuk anak kandungnya.

"Tidak baik pulang malam terus. Nanti ada roh jahat ikut masuk rumah dan ganggu si kecil!" kata Ina Burak sekali waktu saat Geroda Lobo pulang dalam keadaan yang oleng, menggedor-gedor pintu, dan masuk ke dalam rumaj seolah-olah tidak punya dosa.

"Kau percaya itu? Tolol! Setan mana yang berani, hah?" seperti biasa suara Lobo tinggi memecah kesunyian yang melingkupi Lewotolok. Orang-orang sekampung dalam lelap, sedang didatangi mimpi-mimpi buruk atau baik. Sebagian dari mereka mungkin akan terjaga karena suara Geroda Lobo, terutama tetangga terdekat. Mereka akan berusaha mencari sumber suara itu dan pasti segera tahu suara itu milik Lobo.

Tentunya Ina Burak tidak banyak bicara lagi setelah dibentak demikian keras. Ia tahu apa yang akan terjadi andai ia terus saja mencerocos. Karena itu ia langsung menutup pintu dan kembali ke tempat tidur. Adapun Lobo yang diserang kantuk berat pengaruh alkohol tergeletak begitu saja di ruang belakang di atas tempat tidur bambu tanpa kasur.

****

Anak pertama Geroda Lobo dan Ina Burak lahir dengan selamat pada awal April, beberapa hari setelah siklus seroja yang ganas menerjang Lewotolok, mendatangkan banjir bandang yang merusak rumah-rumah warga dan menewaskan lima keluarga. Beruntung ketika banjir itu terjadi Lobo sedang berada di rumah mertuanya bersama sang istri. Desa mertua Lobo adalah satu dari dua desa yang tidak tertimpa nahas-hanya kerusakan kecil pada atap-atap seng rumah akibat angin kencang- kontras dengan pemandangan sembilan desa lain di Kecamatan Ile Seburi.

Rumah Geroda Lobo juga lolos dari lubang jarum. Letaknya yang agak sedikit tinggi di sisi terluar kampung membuat rumah mungil itu hanya terkena percikan lumpur yang lewat di sampingnya. Meski demikian, sepeda motor butut miliknya lenyap ke lautan lumpur, terkubur bersama puing-puing lainnya. Saat malapetaka itu datang, motor butut sial itu sedang terparkir di rumah tetangga yang meminjamnya, yang tepat berada di jalur banjir bandang.

Lobo berusaha melindungi perasaannya setelah tahu bahwa anak yang baru saja lahir perempuan. Ia tahu bahwa apa yang diharapkannya sekarang belum terkabul. Namun, jika menunjukkan muka kecut di hadapan kedua mertuanya dan sang istri tentu tidak baik juga. Sebejat-bejat dirinya di mata mereka selama ini, ia tetap tahu bagaimana cara menempatkan diri dalam situasi yang seharusnya disambut dengan kebahagiaan itu.

Karena tidak punya persiapan, Lobo sedikit bingung saat disuruh mertua untuk memberi nama si kecil yang saat ini ada di depannya. Dalam budaya Lewotolok, satu-satunya yang berhak memberi nama untuk anak-anak yang baru lahir adalah ayah kandung dari sang anak. Pengecualian untuk tradisi ini hanya terjadi jika sang ayah meninggal sebelum si anak lahir. Dalam kasus seperti itu maka yang berhak adalah sang ibu.

Geroda Lobo diam beberapa saat. Dalam hati kecilnya ia berkata jika yang ada di hadapannya laki-laki, maka ia tidak bingung karena pasti nama almarhum ayahnya akan ia warisan ke si bayi. Namun, kenyataan sekarang berbeda. Tidak mungkin ia memberi nama ibunya ke si bayi sebab sampai saat ini ia sendiri tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya.

****

Bukan satu kali atau dua kali saja Nora disuruh ibundanya untuk membuka hatinya bagi laki-laki lain, terutama beberapa yang pernah datang menyampaikan niat dan bersedia merawat Arkian Sape dan Lepang Igo sebagaimana anak kandung sendiri. Namun, permintaan sang ibu tidak pernah diindahkan. Entah karena trauma dengan masa lalunya bersama Geroda atau hal lain, tidak ada yang tahu. Janda dua anak itu tetap pada pendirian. Ia merasa dirinya sanggup bekerja untuk menyambung hidup mereka.

"Saya tidak akan menikah lagi, Ibu!" jawaban yang sama selalu diberikan Nora setiap kali sang ibu memintanya menikah lagi. Bila ada pertanyaan lain, Nora biasanya diam saja. Ia tidak pernah memberikan alasan apapun apabila sang ibu bertanya 'kenapa tidak mau menikah lagi?' Hanya senyum atau membelokkan arah pembicaraan. Di dalam pikiran Nora sepertinya tidak ada apa-apa lagi, apalagi laki-laki.

"Lobo saja sudah menikah lagi," kata Ina Neneng.

Seperti seorang pengkhotbah, Ina Neneng lalu menyampaikan semua nasihat baik tentang pentingnya Nora harus menikah lagi. Bukan hanya persoalan kebutuhan biologis, tapi ia harus mencari teman hidup yang mungkin bisa meringankan beban dalam perjuangan menafkahi kedua anaknya. Apalagi mereka sekarang sudah masuk sekolah dasar yang tentunya membutuhkan penghasilan tambahan untuk memenuhi keperluan penting.

Tapi, rupanya hati Nora semakin tertutup rapat berbanding lurus dengan banyaknya ceramah yang ia dengar dari sang ibu. Hatinya tidak luluh. Pendiriannya untuk tidak menikah lagi seperti tembok beton raksasa yang berdiri kokoh. Ia sepertinya tak ingin ketenangan yang dengan susah payah ia bangun, dihancurkan lagi oleh makhluk yang bernama laki-laki.

Sampai saat ini, Nora merasa masih sanggup untuk menghidupi kedua anaknya hingga dewasa, juga memenuhi semua kebutuhan hidup dan sekolah mereka. Jika ia benar-benar kesulitan saat jenjang sekolah anak-anaknya meningkat, ia akan merantau dan bekerja sebagai asisten rumah tangga di luar negeri sana. Itu semua sudah direncanakannya. Merasa bahwa dirinya bodoh karena hanya mengantongi ijazah sekolah menengah, Nora tidak mau kelak anak-anak juga demikian. Ia punya keyakinan nasib anak-anaknya akan jauh lebih baik dengan pendidikan setinggi mungkin.

****

Puncak pertengkaran Nora dan Geroda Lobo terjadi dua hari setelahnya. Perseteruan yang terjadi malam itu menjadi titik kehancuran rumah tangga mereka. Menjelang subuh yang sunyi, saat Lobo masih pulas tertidur, Nora membawa pergi kedua anaknya secara diam-diam. Arkian Sape yang sudah bisa berjalan, membawa senter dan berjalan di depan, sedangkan Nora menggendong Lepang, menjunjung buntalan yang berisi pakaian, dan menjinjing satu keranjang penuh berisi sendok makan dan beberapa peralatan dapur yang menurutnya penting harus ikut bersamanya.

Mereka melewati jembatan yang reyot dengan hati-hati sebelum menuju ke jalan raya yang belum dilapisi semen atau pun aspal. Jalan masih basah dan becek oleh hujan yang turun tengah malam tadi. Berulang kali Nora mengingatkan Arkian agar berhati-hati dan menyuruhnya mengambil sisi jalan yang tanahnya lebih keras dan jarang dilintasi kendaraan. Jalanan yang diapit belantara singkong itu benar-benar senyap dan gelap. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan baru langit mulai terlihat kemerahan, tanda matahari akan terbit.

Ibunda Nora baru saja bangun dan sedang berusaha menyalakan api ketika ia dikejutkan dengan kehadiran cucu-cucunya. Ia tidak perlu bertanya untuk mengetahui alasan kenapa mereka bisa sepagi itu datang. Lebam di bagian pipi Nora dan kantung matanya yang membengkak sudah cukup bagi Ina Neneng untuk mengetahui apa yang terjadi pada anak dan cucu-cucunya. Ina Neneng langsung memeluk cucu-cucunya dan menyambut mereka dengan berurai air mata. Perasaannya terpukul melihat kondisi mereka yang kurang tidur dan awutan.

****

Perasaan Geroda Lobo semakin pedih setelah anak keempatnya bersama Ina Burak lahir. Kali ini ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana bisa meluapkan isi hatinya. Keinginan untuk mendapat anak laki-laki tidak terwujud lagi dan sepertinya tidak akan pernah. Agak sulit bagi Lobo menerima kenyataan yang dihadapinya saat ini, tapi ia tahu betul siapa yang membuat semua ini menjadi demikian menakutkan.

Bisa dikatakan bahwa kelahiran Bulu Tewo Lolon menandai babak baru kehidupan Lobo yang jauh lebih sukar dan akhir dari kebahagiaan kecil yang belakangan sudah bisa dirasakan bersama Ina Burak. Masa lalu Lobo bersama Nora sudah berangsur-angsur raib setelah sekian tahun, tapi kehadiran Bulu pelan-pelan menghidupkan kembali memori terkelam yang pernah menodai satu bagian di kehidupannya.

Lobo menjadi semakin murung dan rutinitas hariannya kini mulai dibayang-bayangi ketakutan. Keberanian yang ia miliki di usia 20-an tahun runtuh sudah. Ia keliru karena menganggap mimpi buruknya dengan Nora sudah sirna. Kenangan pahit itu kini bangkit kembali dan menciptakan suatu dunia baru yang justru jauh lebih menyeramkan. Lobo dipaksa untuk merenungi kembali semua perbuatan-perbuatannya yang tidak manusiawi terhadap Nora.

Untuk melampiaskan kecamuk yang tersimpan di dalam jiwanya, Lobo mulai mabuk-mabukan lagi, kebiasaan yang sempat ia tinggalkan semenjak anak keduanya dengan Ina Burak lahir. Ada saat tertentu ia ingin segera menyelesaikan perjalanannya di dunia ini. Dari waktu ke waktu ia terlihat semakin menderita karena memikul beban berat dari masa lalu. Ia sadar dirinya telah membuat satu kekeliruan besar yang membuatnya menjadi seperti sekarang.

****

Kira-kira menjelang siang Lobo terbangun dan menyadari bahwa Nora dan kedua anaknya tidak ada di rumah. Rumah sepi dan berantakan. Piring makanan yang masih kotor berserakan tak karuan di tempat cucian dan halaman penuh dengan dedaunan serta ranting-ranting kering. Lobo memanggil-manggil nama Arkian Sape, tapi tidak ada sahutan. Ia keluar rumah dan celingukan kemudian bertanya kesana kemari, tapi tak satupun dari tetangga mengetahui.

"Mereka mungkin ke Kali Besar," kata Mbah Welis menduga-duga.

Lobo langsung membawa sisa-sisa rasa kantuknya menuju Kali Besar. Ia mengendarai motor tuanya dengan gegas melewati belantara singkong dan segera sampai di rumah mertuanya di Kali Besar. Mendengar suara motor yang sangat dikenalnya, Nora langsung keluar menunggu di halaman. Nyali Nora meningkat 100 kali lipat karena sekarang ia berada di rumah orangtuanya.

Lobo belum sempat memarkir motornya dengan sempurna ketika Nora dengan suara tinggi mengumpat.

"Kau tidak tahu malu, Binatang! Kau berani datang kemari. Jangan berharap kau bisa membawa kami pulang. Aku tidak akan pernah sudi kembali ke sana! Dan kau harus ingat ini, Jahanam! Kau kawin sampai seribu kali pun tidak akan memperoleh anak laki-laki, kecuali kamu bersetubuh dengan ibumu. Itu pun kalau kau bisa tahu siapa ibumu. Anak laki-laki satu-satunya sudah bersamaku ini. Sampai kulit burungmu lecet pun jangan berharap dapat anak laki-laki lagi!" kata Nora seperti kesetanan.

Lobo baru saja mau membujuk Nora ketika bapak mertuanya muncul di depan pintu menenteng kelewang.

****

Selusin anak telah lahir dari rahim Ina Burak. Tapi, tidak satu pun dari mereka laki-laki seperti yang diharapkan Geroda Lobo untuk ahli waris seluruh tanah dan harta yang ia miliki. Selain ke mana tanah-tanah dan hartanya itu akan dilimpahkan, Lobo juga sadar garis keturunannya selesai sudah. Sebagai anak laki-laki tunggal, senasib dengan almarhum ayahnya, maka garis keturunan Lobo dalam sistem budaya patriarki yang kental di Lewotolok dianggap selesai. Sukunya dianggap musnah.

Lobo mulai menyerah sejak Ina Lagadoni lahir, putri kedua belas ia dan Ina Burak. Usaha untuk mencari anak laki-laki sudah dianggapnya sia-sia belaka. Sama mustahilnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, mukjizat itu datang 31 tahun kemudian, tepat Ina Burak berusia 72 tahun. Secara mengejutkan ia melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dengan berat hampir tiga kilogram tepat pada malam Natal.

Keesokan pagi berita kelahiran itu menjadi heboh. Selama ini tak ada tanda-tanda kehamilan pada Ina Burak karena memang ia sudah tidak berhubungan intim dengan Lobo sejak putri terakhir mereka lahir. Amit-amit apalagi sekarang ia sudah nenek-nenek, punya 25 cucu dari 12 putrinya.

Menyambut kedatangan sang putra yang didamba-dambakan, Lobo langsung memotong seekor babi dan seekor kambing dua hari setelahnya. Ia tidak peduli dengan segala gunjingan yang didengarnya. Ia mengundang orang sekampung untuk menggelar pesta kecil-kecil di rumah sepanjang siang sebelumnya malamnya ia bermimpi didatangi seorang kakek tua.

"Hendaklah kau menamai anak itu Yesus," ujar si kakek dalam mimpi itu.

(Terima kasih kepada Lepang yang menginspirasi lahirnya cerpen ini)

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com




(mmu/mmu)

Hide Ads